Tentang Jogja (27): Tetap di Asrama Ampel 2!

4 Agu 2022 | Cetusan

Selain harus masuk kelas Fisika (baca unggahan sebelumnya), instruksi kedua dari Mama dan Papa menjelang tahun keduaku di Jogja sangat jelas, aku harus tetap tinggal di Asrama Ampel 2!

Asrama Ampel 2, kukunjungi di bulan Desember, 2018 silam.

Bagi mereka, menempatkanku di asrama adalah memberikan rasa aman dibandingkan kalau aku tinggal di kost-kostan biasa.

Jaminan aku tidak akan ‘macam-macam’ karena tidak ada tamu yang boleh masuk kamar.

Jaminan setidaknya selama jam belajar dari jam 7-9 malam aku akan berada di kamar (terlepas dari belajar atau ngapain pokoknya pas dicheck aku berpura-pura belajar).

Jaminan bahwa setelah jam 10:30 malam aku sudah akan kembali ke kamar, pintu gerbang digembok dan aku tak bisa keluar.

Padahal, kalau mau menuruti kemauanku, pengennya ya nggak di asrama lagi!

Pengennya sewa kost di tempat biasa yang nggak ada aturan, bebas dan merdeka. Apalagi setelah kupelajari, enam bulan terakhir aku makin kerasan tinggal di Jogja justru karena aku melakukan banyak aktivitas di luar asrama entah itu nge-band, latihan Kempo atau nongkrong membaca buku di toko buku sampai larut.

Waktu aku sodori kenyataan itu ke Mama, bukannya dia senang karena aku sudah makin kerasan, yang keluar justru protes, “Woo, pantesan nilai kamu turun semua mid semester kemarin! Jebul kamu lebih banyak main di luar ya?!”

Pengen kujawab, “Kalau main di dalam takut hamil, Ma!” Tapi kok nggak enak lha… Hahaha! (Piss, Ma!)

Nah omong-omong soal ‘main di dalam’, salah satu hal yang membuatku pengen banget kost di luar ya karena bisik-bisik cerita seru kawan-kawan yang punya pacar dan mereka membawa masuk pacar ke kamar untuk melakukan something-something yang you-know-lah!

“Masa cuma nyabun, Don? Itupun antri kan karena di asrama, kamar mandinya ada di luar? Hahaha!” seloroh temanku yang cuma kujawab, “Asu!”

Segala macam cara kupakai untuk membuat Mama dan Papa luluh dan aku bisa keluar dari asrama di tahun kedua.

Tak lama kemudian akal bulus kudapat, biaya!
Ongkos sewa kamar di asrama waktu itu tergolong sangat mahal dibandingkan sewa kamar di luar.

Fasilitas yang diberikan pun bisa dibilang biasa. Kasur dan tempat tidur serta meja dan kursi belajar. Kamar mandi? Di luar! Makanya temanku tadi ngejek bahwa kalau nyabun harus antri ya karena kamar mandi luar hahaha!

Suatu sabtu menjelang libur panjang di akhir tahun pertama aku tinggal di Jogja, 1994, aku pulang ke rumah orang tua di Kebumen untuk bernegosiasi mengenai hal ini.
“OK, Ma! Aku gelem tetap neng asrama…!”

Wajah Mama melega. “Nah, ngono! Wes percaya wae kowe karo Mama. Aku ki ngerti nek kowe ora neng asrama uripmu bubrah mengko! Neng asrama uripmu dadi teratur iso sinau tenang opo meneh tahun ngarep kowe arep mlebu Fisika, kan?”

Aku mengulum senyum sebentar dan menjawab, “Tur ana sarate, Ma!”
Aku mengajukan syarat untuk tetap tinggal di asrama adalah dengan menyewa kamar ukuran terbesar, berada di baris paling depan dan harus sendirian!

“Hmmm, piro setahun?” tanya Mama.
Ongkos sewa kamar di tahun pertamaku saat itu hanya sekitar 350 ribu rupiah per tahun. Kamar terkecil, berada di sudut asrama dan ditempati dua orang, aku dan Heribertus.

Kamar yang kujadikan syarat dibandrol 800 ribu per tahun! Lebih dari dua kali lipat, kan?

Harapanku waktu itu Mama bakal bilang, “Kok larang! Yo wes golek kamar biasa wae sekitar limangatusan!” Tapi tak kusangka, ia menjawab santai, “OK! Ora popo matur karo Pak Sur dan Bu Sur, minggu ngarep Mama transfer duite…” Aku melihat langit retak siang itu!

Tahun kedua, jadilah aku tetap berada di Asrama Ampel 2, menempati kamar nomer dua.

Ada empat kamar di lantai dasar deret depan asrama. Kamar satu ditempati dua orang adik kelas, Yanri Prastowo dan Danu Primanto. Yanri berasal dari Bantul, Yogyakarta sedangkan Danu yang lantas akrab dipanggil Taek berasal dari Gresik, Jawa Timur.

Tetangga sebelahku yang lain, kamar tiga, sebut saja bernama Oe. Ia berasal dari Jambi. Di sebelahnya lagi, kamar empat ada adik kelas berasal dari Cirebon, Nico. Dia bersekolah di SMA Bopri 1 Yogyakarta.

Sehari-hari aku banyak menghabiskan waktu bersama mereka.
Sesekali aku main ke kamar Yanri dan Danu bermain gitar karena Danu membawa gitar dari rumah. Di waktu lain aku bermain basket di kamar Oe.

Basket? Iya!
Main bola basket beneran bukan game komputer. Oe dulu memasang ring basket kecil di dinding kamarnya dengan bola seukuran agak sedikit lebih besar dari bola tenis.

Pernah suatu waktu ada kejadian seru.
Karena main basket di kamar, saking serunya dari luar terdengar gaduh ah-uh-ah-uh, kan?

Nah, ada seorang kawan yang mengetok pintu kamar. Lalu ketika aku dan Oe keluar hanya mengenakan kaos dalam dan celana pendek dengan wajah ngos-ngosan dan keringat membasahi sekujur badan, kawan yang berasal dari Jakarta tadi curiga, “Njrit! Kalian lagi pada ngapain sih? Berdua di kamar gaduh betul? keringetan dan ngos-ngosan pula? Wah, nggak bener ini!”

*Tentang Jogja, adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. Basket kok di kamar 🤣🙈

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.