Bagi kedua orang tuaku, dan barangkali juga orang tua kalian yang seumuran denganku, kelas penjurusan A1 alias Fisika dalam kurikulum 1984 ibaratnya langit adalah yang paling tinggi derajatnya sementara Biologi (A2) apalagi Sosial (S3) dan Bahasa (A4) adalah tingkatan-tingkatan lebih rendah selanjutnya.

Barangkali Papa berpikir demikian karena latar belakang pendidikannya dulu adalah ekonomi dan perbankan maka dia pengen anaknya mengambil jurusan yang berbeda tapi tidak asal beda. Hal ini terbukti waktu aku bilang kalau aku pengen kuliah seni musik, buru-buru dia bilang, “Arep dipakani opo anak bojomu mengko, Le?” Padahal seni kan beda dari ekonomi, yes?!
Belum lagi beberapa role models di keluarga besarku seolah mengindikasikan bahwa pilihan untuk masuk kelas A1 memang jadi nomer satu.
Maka sejak SMP, sejak mulai dikenalkan mata pelajaran Fisika, aku berusaha keras untuk menyukainya. Usahaku berhasil karena nilaiku lumayan tinggi.
Waktu masuk semester pertama kelas satu di De Britto, nilai Fisika ku tetap tinggi meski Kimia apalagi Matematika ku bisa dibilang pas-pasan. Jadi ketika di semester dua nilai-nilaiku merosot karena perhatianku mulai pecah pada kegiatan-kegiatan sambilan bersama teman-teman, nilai akhir yang menentukan penjurusan di kelas dua tetap bisa menyelamatkanku untuk berada di cita-cita orang tuaku, masuk jalur A1.
Bangga? Jelas!
Meski sebenarnya kalau mau dipikir sekarang, apa yang membanggakan ketika sebagian besar dari angkatanku lolos masuk kelas Fisika semuanya?
Senang? Banget!
Meski aku jadi mikir melihat kenyataan bahwa ternyata sebenarnya nggak semua anak berlomba-lomba masuk kelas Fisika! Ada beberapa anak yang terbilang paling pandai di kelas tapi malah masuk jurusan Biologi apalagi Sosial. Anak-anak yang untuk masuk ke kelas Fisika pun mereka sebenarnya bisa!
Salah satunya adalah Michael Angga, teman seangkatan yang juga tinggal di Asrama Ampel 2 meski kami jarang berbincang. Dia pintar dan juara kelas tapi kenapa tidak masuk Fisika? Kenapa masuk kelas Sosial? Aku jadi bertanya, sudah benarkah caraku dan cara orang tuaku berpikir yang menempatkan kelas Fisika lebih dari kelas-kelas lainnya? Kalau benar, kenapa ada yang tidak sejalan?
Di saat yang gamang itu, salah satu temanku yang lain bilang, “Anak (kelas) Fisika emang bisa bikin jembatan untuk nyeberangin orang dari satu sisi sungai ke sisi sungai yang lain, Don! Tapi… anak (kelas) Sosial bisa bikin jembatan untuk menyeberangkan kelas ekonomi bukan hanya orang tapi masyarakat bahkan warga negara keseluruhan dari yang semula kere jadi makmur dan kaya!”
Aku sempat berpikir untuk mengubah jurusan yang sudah kupilih. Belum terlambat tapi ketika melihat daftar anak-anak yang ada di sana aku mengurungkan niat. Nggak semua, tapi banyak dari mereka adalah anak-anak yang suka bikin usil dan traumaku atas rasa tertekan karena dikerjain di bulan-bulan pertama di Jogja kembali belum juga hilang sepenuhnya…
Hingga akhir masa studi di De Britto aku sangat jarang berbincang dengan Michael Angga.

Tapi lebih dari dua puluh tiga tahun kemudian kami bertemu. Aku sudah tinggal di Sydney, Australia dan Mike bersama keluarganya berlibur ke sini. Sore itu kami banyak berbincang tentang masa lalu di sebuah warung ramen di pusat kota Sydney.
Mike memiliki karir gemilang dalam dunia perbankan. Hal itu membuatku semakin yakin bahwa apa yang diyakini Papa dan Mamaku tentang penjurusan kelas dulu tidak salah tapi tidak sekadar dan sebatas itu saja untuk seseorang bisa sukses dalam karir.
Harus ada visi yang jelas tentang kenapa seseorang ada di jalur yang dipilih, harus konsisten juga yang pasti tekun dan hey…. bukankah Tuhan bekerja dibalik semuanya terlepas dari apapun jurusan kelas yang diambil?
*Tentang Jogja, adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.
kalau dulu menggunakan semester ya Pak? zamanku tahun 90 sampai 2002 masih menggunakan catur wulan
aku SMA taon 93-96 dan pake semester.
Template webnya baru ini, bagus dan simple.
cocok sekali untuk share artikel blog.