Tentang Jogja (23): Nonton di Empire 21 atau Regent 21?

16 Sep 2021 | Cetusan

Empire 21 dan Regent 21 adalah dua nama bioskop yang letaknya sebelah-menyebelah di Jl Urip Sumoharjo alias Jl Solo. Keduanya dulu dikenal sebagai gedung pemutar film-film box office Hollywood berlabel 21 yang mula-mula di Jogja. Kehadirannya, terutama Empire, adalah penanda akhir daur hidup bioskop-bioskop lawas Jogja yang sempat jaya di era 70-80an semacam Ratih, Senopati, Widya dan… Royal, bioskop mungil nan tak kalah usangnya yang berada tepat di seberang jalan.

Bukan penggemar ‘nonton’

Aku sendiri sebenarnya bukan penggemar nonton film di bioskop. Waktu kecil aku selalu menangis ketika diajak Mama dan Papa nonton. Aku takut berada dalam ruang gelap. Bukan hanya takut hantu tapi lebih dari itu, kalau tiba-tiba terjadi gempa bumi lantas bagaimana caraku untuk melarikan diri dari gedung. Udik ya? Bagiku sih unik hahaha!

Aku juga trauma dengan G-30/S/PKI yang menyeramkan itu. Film propaganda itu dulu pertama kali diputar di bioskop baru sesudahnya di televisi. Papa dan Mama mengajak nonton di Bioskop Star waktu kami masih tinggal di Kebumen.

Waktu itu kalau tidak salah aku masih duduk di kelas 1 SD dan sepanjang film yang terlalu panjang itu, aku berkeringat dingin, ngumpet di ketiak Mama dan berulang-ulang bertanya, “Isih suwi, Ma?” Mama menjawab, “Sik to Le, lagi seru iki…” sementara Papa sibuk makan kwaci sambil menganalisa jalannya film… habis jenderal ini lalu jenderal siapa lagi yang diculik…

Jadi waktu pindah ke Jogja, 1993, dan banyak kawan di asrama menawariku nonton bareng di Empire ataupun Regent, awalnya aku menolak apalagi setiap akhir pekan aku memilih pulang ke Kebumen.

Tapi lama-kelamaan pertahananku runtuh juga. Banyak kawan cerita kalau waktu nonton mereka bertemu dengan banyak cewek-cewek stece (Stella Duce 1 Yogyakarta). Mataku pun berbinar-binar membayangkan… ya hanya bisa membayangkan aja sih!

Pertama kali nonton di Empire

Film pertama yang kutonton di Empire adalah Fugitive (1993). Aku dan teman-teman nonton pertunjukan jam 7 malam. Berangkat dari Asrama sekitar jam setengah enam kami nyegat bis kota dari IAIN Sunan Kalijaga lalu turun di dekat pos polisi pertigaan Demangan, jalan kaki sekitar seratus meter saja jauhnya. Empire berada di lantai atas sebuah gedung baru sementara lantai bawahnya ditempati toko swalayan Hero. Waktu pertama kali masuk ke sana aku begitu terheran-heran, kenapa bioskop harus semewah ini? Lantai marmer, tangga yang begitu lebar dan lampu kristal yang mewah di tengah-tengah ruang tunggu. Sofa empuk warna merah beludru…

Bukan cuma itu, mereka yang datang… kenapa harus berpakaian kece nan trendi? Bukankah nonton film itu berada di ruangan gelap dan tak kan keliatan oleh orang lain setrendi apapun kamu?

Perbedaan harga tiket Empire dan Regent

Harga tiketnya kalau tidak salah 3500 rupiah per pertunjukan. Seribu rupiah lebih mahal dari Regent.

Perbedaan ini awalnya tak terasa tapi ketika makin ketagihan nonton, ternyata besar juga!

Bayangkan, seribu rupiah kala itu bisa untuk ongkos makan sepiring pecel lele plus nasi satu setengah porsi dan teh panas manis! Itupun masih ada kembalian dua ratus lima puluh rupiah banyaknya!

Atau kalau mau makan ‘Gudeg Kayu’ yang nyam-nyam itu, seribu rupiah masih susuk satus untuk seporsi nasi gudeg ayam telor, teh panas dan kerupuk!

Atau kalau capek dan malas jalan kaki sepulang nonton, kita bisa pakai delapan ratus rupiahnya untuk ongkos taksi sampai ke depan gerbang asrama!

Aku jadi lebih sering nonton di Regent meski nongkrongnya di Empire. Jadi setelah beli tiket di Regent, sambil menunggu, aku jalan kaki ke Hero beli kudapan lalu naik ke atas ke Empire bertemu dan nongkrong bersama teman. Ketika pengumuman, “Pintu teater lima telah dibuka…” dan teman-teman mengajak aku masuk, aku pura-pura pamit ke toilet dulu. Begitu mereka benar-benar masuk, aku lalu turun dan kembali ke Regent untuk nonton film yang sama.

Waktu akhirnya aku punya pacar (1996), aku tak punya pilihan! Masa sama pacar harus bohong? Masa pacar diajak nonton di Regent tapi nongkrong di Empire? Akupun jujur bahwa uang jajanku pas-pasan dan pacarku waktu itu menerima hal tersebut. Ia pun tak keberatan untuk nonton di Regent dan sesekali saja di Empire. Dalam percakapan, kami sering membahas kenapa perbedaan ongkos terjadi.

Empire dan Regent, selain harga beda lainnya apa?

Dari sisi tempat? Keduanya menurutku OK.
Kalau Empire lebih baru ya karena ia berada di bangunan yang lebih baru dari Regent. Kalau Empire berada di atas Hero jadi kita gampang untuk membeli kudapan dan minuman sebelum nonton, ah.. jarak Regent ke Hero juga gak beda jauh kok!

Film yang diputar pun sama!
Empire muter Braveheart, Regent juga. Mel Gibson-nya juga sama, panjang filmnya juga gak dipotong (kecuali pas adegan William Wallace lagi mau gituan sama Isabelle tiba-tiba kepotong dan penonton pun kecewa dan ber-hu-hu-hu…)

Hingga satu saat, aku dan pacarku akhirnya tahu kenapa Regent lebih murah dari Empire. Aku lupa apa judul filmnya tapi waktu itu kita dapat tempat duduk di pinggir dinding yang dilapisi karpet peredam. Film diputar seperti biasa dan semua orang fokus mengikuti jalannya cerita. Lalu tiba-tiba pas lagi hening, pacarku yang duduk tepat di pinggir dinding berteriak histeris. Tikus segede gaban meluncur tanpa permisi dan tanpa aba-aba dari atas ke bawah hanya beberapa senti dari mukanya.

Jangankan aku, bahkan orang-orang segedung pun kaget dengan teriakan itu dan mereka seontak memelototiku.

“Opo kuwi?”
“Ngopo kuwi.. lagi dho ngopo hayo?”

“Mbok ojo ngaget-ngageti, Mbak?”

Hingga “Ada apa, Mbak?” …aku lupa ada enggak yang berteriak, “Diapain, Mbak?”

Sejak saat itu kami nggak pernah nonton di Regent lagi. Kami nggak menyesal karena setidaknya jadi tahu dan membuktikan sendiri kenapa nonton di Empire lebih mahal!

Outro

Gedung Empire terbakar di tahun 1999. Regent menyusul beberapa tahun kemudian, uniknya, juga terbakar. Setelah itu, beberapa tahun lamanya Jogja hanya ‘menggantungkan diri’ pada Bioskop Mataram dan lapak-lapak penjual dan rental VCD/DVD baik yang asli maupun bajakan.

Setelah aku pindah ke Australia, 2008, bekas gedung Empire direstorasi dan muncul Empire XXI sementara bekas lahan Regent tetap jadi ruang kosong parkiran saja. Saat mudik berlibur ke Indonesia, Desember 2018, aku sempat mengunjungi Starbuck Cafe yang menempati area bekas Hero di bawah Empire XXI, ngobrol bersama dua orang kawan lama. Akupun terhanyut dalam nostalgia….

*Tentang Jogja, adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.