Tentang Jogja (22) : ‘Nganyari’ Malioboro Mall dan Big Match… eh Big Mac!

10 Sep 2021 | Cetusan

Berdirinya Maliboro Mall di jalan Malioboro adalah sebuah tonggak baru untuk memandang bagaimana berdinamikanya dunia perdagangan retail Jogja sebelum dan sesudahnya.

Berdirinya Malioboro Mall

Malioboro Mall

Jogja sebelum Malioboro Mall adalah Jogja yang lebih arkaik. Beli baju di Ramayana mau makan empek-empek harus jalan kaki ke belakang Ramai. Tapi dengan hadirnya pusat perdagangan seperti mall, beli baju di Matahari, mau makan tinggal naik eskalator ke food court di satu gedung yang sama.

Hadirnya Malioboro Mall bagiku juga menjadi jawaban rasa penasaranku waktu itu tentang bagaimana sih enaknya nongkrong di mall. Sebelumnya aku hanya bisa membayangkan setelah mencecap informasi di majalah Kawanku atau Hai yang menampilkan megah dan asyiknya nongkrong di PI Mall, Jakarta Selatan. (You know what, aku baru punya kesempatan untuk benar-benar nongkrong ke PI Mall sekitar medio 2000-an karena pacarku waktu itu (dan sekarang jadi istri) adalah anak Jakarta Selatan… Kenorakanku waktu itu, begitu sampai di PIM 1, langsung memegang pagar stainless steel-nya dan menggumam, ‘Oh ini toh yang dulu sering kulihat di majalah-majalah itu?’)

Aku lupa kapan tepatnya Malioboro Mall berdiri tapi yang pasti ada di paruh akhir tahun 1993.

Jogja, akhir 1993

Pertama kali aku datang ke Malioboro Mall adalah di sebuah sabtu, hari terakhir sekolah di tahun itu, beberapa hari menjelang Natal. Mood sedang happy-happy-nya karena liburan di depan mata dan aku menyelesaikan semester pertama di De Britto dengan hasil yang membanggakan, rangking V di kelas!

Mama memberiku uang hadiah untuk beli baju Natal atas prestasi itu.

Untuk pulang ke Kebumen, kalau menggunakan travel, biasanya aku naik bus kota Jalur 10 dari muka IAIN Sunan Kalijaga menuju Jl Mataram ke pool Bumen Jaya, tapi kali itu karena special aku menggunakan taksi. Bu Sur, Ibu Asrama, yang kupamiti pun berseloroh, “Woalah, lha kok nggleling men tho kowe, Don!” diikuti suara tertawa kecilnya yang khas!

Sesampainya di Jl Mataram aku tidak langsung ke pool travel. Aku sengaja pesan tiket travel Jogja – Kebumen jam 4 sore jadi aku masih punya waktu sekitar dua jam untuk jalan-jalan ‘nganyari mall’ di Malioboro Mall.

Malioboro Mall sebetulnya belum selesai dibangun utuh. Masih ada beberapa lembar seng yang dijadikan pagar untuk konstruksi tergeletak di sana-sini, kaleng-kaleng cat bekas, kertas karung semen semua belum dirapikan benar. Bahkan lahan parkir masih ‘beralaskan tanah’ meski siang itu sudah ada ratusan sepeda motor dijajarkan di sana. 

Asyiknya nge-mall

Namun apa yang kulihat di luar sangat kontras dengan yang ada di dalam Mall. Ketika masuk ke mall, aku disambut keset super tebal dan nyaman, pintu otomatis yang membuka dan menutup ketika ada yang hendak lewat, sentoran AC yang begitu dingin disertai harum wewangian buatan! Sementara musik berdentum-dentum di sana-sini memenuhi frekuensi yang bisa didengar oleh ribuan pasang telinga yang ada di dalamnya.

Naik ke lantai dua menggunakan eskalator aku sempat melihat ada banyak orang bingung bagaimana cara mengakali supaya lancar naik eskalator. Aku sejatinya juga masih agak bingung dan gugup tapi kutenang-tenangkan supaya nggak terlalu kelihatan. Sesampainya di lantai dua, aku berusaha bersandar di pagar, memegang-megang permukaan stainless steelnya sambil membayangkan oh begini toh orang-orang Jakarta itu kalau nge-mall?!

Setelah puas merasakan experience tersebut aku masuk ke Matahari untuk mencari baju Natal. Waktu itu, baju dan celana warna tanah (khaki) sedang ngetop-ngetopnya. Aku pengen beli kemeja dengan warna itu, sewarna dengan yang dipakai Fatur dan Danny Sprit-nya Java Jive di video klip Kau Yang Terindah.

Aku menemukan sebuah kemeja khaki lengan pendek. Harganya waktu itu termasuk mahal, 40 ribu rupiah. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi Mama waktu pulang dan menunjukkan kemeja itu. Barangkali ia akan bilang, “Wah apik, Le!” 

Big Match… eh Big Mac McDonalds

Turun dari Matahari, tujuanku adalah McDonalds!

Terlihat antrian memanjang di bibir pintu masuk gerai makanan cepat saji Amerika tersebut sementara meja dan kursi penuh terisi! Dalam hati aku jumawa bahwa diantara sekian banyak yang antri, aku barangkali termasuk salah sedikit yang pernah makan McDonalds sebelumnya di Jakarta!  Ya! Sebelum siang itu, waktu berkunjung ke Jakarta tahun 1991 aku diajak makan di McDonalds Sarinah bersama keluarga Om Agus dan almh. Mbak In. Bahkan aku ingat sampai beberapa bulan kemudian aku masih menyimpan kertas karton wadah kentang goreng (fried fries) nya untuk kenang-kenangan.

Sejak berada dalam antrian, mataku tak lepas dari menu yang terpampang di atas kasir. 

Apa yang harus kubeli? 
Aku mau beli yang paling mahal karena ini hari special!
Lha ya tapi yang apa dan yang mana?

Hmmm…. Big Mac! 
Paling besar! Paling mahal! (Waktu itu harganya 3500 rupiah belum termasuk pajak).

Di depan kasir, dengan penuh percaya diri aku memesan, “Mbak, saya pesan kentang, koka-kola dan… Big Match!”

Ooopsss, aku berpikir, yang benar Big Mek atau Big Match ya?

Mbaknya sempat bengong mungkin hatinya riuh mengataiku karena nyebut nama aja salah! Tapi Si Mbak tak menanyaiku balik dan langsung memencet tombol di mesin kasir. Aku pun membayar tunai meski rasa maluku belum tunai-tunai amat di situ!

Pesanan jadi aku lantas kembali ke pool travel.

Nggak muntah tapi tumpah

Aku sengaja nggak langsung makan Big Match eh Big Mac karena aku ingin… menyantapnya di dalam travel. Pamer ke penumpang lain? Ya iyalah! Donny Verdian gitu loh!

Tapi menjelang jam keberangkatan aku baru sadar ternyata travel sore itu begitu penuh! Aku pasti akan duduk berhimpit-himpitan dan nggak bisa membayangkan seribet apa makan Big Mac di sana?

Sialnya lagi aku dapat tempat duduk di tengah. Awalnya aku hendak mengurungkan niatku untuk makan di dalam mobil. Tapi aku belum makan sejak pagi takutnya nanti malah mabuk karena goncangan kendaraan.

Nggak ada pilihan lagi, setelah lepas dari Wirobrajan, aku mengeluarkan Big Mac dan mulainya menyantap pelan-pelan.

Aku melihat dari jarak dekat bagaimana orang-orang di samping kanan dan kiriku melirik ke arahku.

Barangkali mereka berpikir, Ih, makanan apa ini? Monalisa burger? Tapi kok gede banget burgernya?

Barangkali ada juga yang berpikir, Ih, tajir banget nih anak udah beli McDonalds yang paling mahal! Tapi tajir kok naik travel?!

Atau barangkali ada pun yang sinis bilang, Sombong! Makan Big Mac di depan orang-orang!

Tapi aku tak indahkan pikiran-pikiran itu, pokoknya makan dan makan dan… oh, ternyata kok susah banget makannya!? Big Mac begitu tebal dan aku yang terbiasa makan nasi angkringan harus bergulat dengan ketebalan daging, salad dan roti tiga lapis itu!

Aku memang berhasil untuk tidak muntah siang itu tapi gagal mengendalikan tumpahan salad Big Mac kemana-mana. Hingga akhirnya aku memutuskan berhenti makan dan memasukkan sisanya ke bungkus kertas coklat dan melayangkan pandangan keluar jendela dengan perasaan malu se-asu-asu-nya!

*Tentang Jogja, adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.

Sebarluaskan!

1 Komentar

  1. rombongan bali sekolah arep nganyari malioboro mall, nongkrong sebelah eskalator, diusir satpam, isih nganggo seragam n gondrong2.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.