Nggak selamanya memegang sabuk/tingkat lumayan tinggi di sebuah aliran seni beladiri itu menyenangkan. Waktu duduk di bangku kelas 1 SMA Kolese De Britto Yogyakarta, aku mengalaminya.

Sabuk tertinggi di De Britto? Tetap aja di-bully!
Tadinya kupikir setelah tahu bahwa aku ini memegang sabuk biru di Kempo, kawan-kawan akan merasa jengah dan tidak akan mem-bully aku lagi. Tapi aku salah sangka. Justru kenyataan itu menjadi tambahan bahan bakar untuk memperbesar api yang sudah sejak awal dinyalakan!
Hampir setiap latihan, saat aku memimpin pemanasan dan gerakan-gerakan dasar, banyak orang yang berseliweran meledek dengan celotehan-celotehan meski kesannya sederhana dan sambil lalu tapi kalau didengarkan, lama-lama nggak enak juga.
“Ajar wae pelatihe kuwi!”
“Jap jingin! Poltrokke wae kathoke!”
“Nek wani single, ra sah nganggo kempo-kemponan!”
Yang membuatku lebih merasa frustrasi menghadapi semua itu adalah aku jadi semakin teryakinkan bahwa teori Papa tentang ilmu beladiri yang bisa mengubah sikap penakut jadi pemberani adalah salah besar! Gimana mungkin aku jadi berani kalau ketika dikata-katai, untuk melirik wajah merekapun aku tak sanggup!?
Jalan keluar seorang pengecut: saya!
Sebagai seorang pengecut, aku menyiapkan jurus jitu sebagai jalan keluar. Aku mulai ogah-ogahan melanjutkan Kempo. Setiap hari latihan aku mengelak dengan pergi ke Klaten, bermalam di rumah nenek.
Masuk semester kedua, aku membuat keputusan besar dengan keluar dari ekstra kurikuler Shorinji Kempo di De Britto.
Yudith adalah orang pertama yang kuberitahu dan dia begitu kaget mendengarnya. Tak hanya Yudith bahkan Romo Pamong ikut terhenyak mendengar keputusanku itu. Baginya, aku sebagai pemegang sabuk tertinggi setelah Andre Jemb*t yang sudah duduk di kelas 3, adalah calon kuat ketua ekstrakurikuler Kempo.
Namun tak seorang pun bisa menahanku. Aku tetap menyatakan diri keluar. Aku menggunakan hakku sebagai siswa bahwa aku toh berhak memilih ekstra kurikuler lain. Sementara itu sebagai kenshi, aku memutuskan untuk bergabung di dojo lain.
Sebagai pengganti, Romo Pamong memilih Eko Put, kawan sekelasku yang meski masih sabuk putih tapi ia dipilih. (Aku tak tahu kenapa Romo tak memilih Yudith waktu itu padahal secara ‘hirarki’ Yudith adalah pemegang sabuk tertinggi kedua sesudahku).
Bubarnya Ekstrakurikuler Kempo Dojo De Britto
Meski menyatakan sudah keluar, aku nyatanya tak bisa lepas tangan begitu saja. Ini terjadi karena bahkan saat aku sudah bergabung di dojo lain, para sempai di dojo lain mengarahkanku untuk ikut mengurusi De Britto karena nantinya ketika aku naik ke Kyu I (sabuk cokelat) aku perlu bergabung ke sebuah dojo untuk jadi asisten pelatih, suatu syarat yang waktu itu harus ditempuh oleh pemegang sabuk cokelat sebelum dipromosikan menjadi pemegang sabuk hitam.
Maka sesekali akupun datang ke hari latihan di De Britto. Dan setiap aku datang, bully-bully-an itu ya tetap ada, tak berubah.
Yudith sempat membantuku untuk mengatasi keadaan dengan mengusulkan kepada Eko Put memindah hari latihan jadi lebih malam, jam 7. Kupikir asyik juga karena berarti aku bisa punya alasan untuk bolos jam belajar di asrama hehehe…
Tapi perubahan jam membuat para peserta ekstra kurikuler kehilangan mood. Mereka menganggap untuk datang ke sekolah dan berlatih Kempo jam 7 malam itu terlalu larut.
Maka dari yang semula anggota ekstra kurikuler ada sekitar 20 orang, gara-gara pemindahan jam jadi menyusut menyisakan sekitar 5-7 orang saja. Mereka yang masih bisa kuingat adalah aku, Yudith, Andri ‘Cawet’, Parlin, Eko Put dan beberapa yang lain.
Romo Pamong
Di awal tahun kedua aku di De Britto sebuah peristiwa terkait dengan kegiatan ekstra kurikuler Shorinji Kempo terjadi. Waktu itu Eko Put sudah dipilih sebagai ketua definitif. Suatu siang, aku dipanggil masuk ke ruang Romo Pamong.
Ketika masuk, matanya menatapku tajam.
“Donny, kamu tahu perangkat ekstra kurikuler Kempo dipinjam orang dari luar De Britto?”
Aku terdiam sebentar.
Aku memang mendapat laporan ada seorang yang meminjam perangkat tanding (randori) berupa dua set protektor.
“Iya Romo, tapi dia alumni!”
Sebuah jawaban yang kusadari kini adalah satu kesalahan besar. Harusnya aku berani menjawab, “Oh ya? Itu bukan urusan saya!”
“Alumni tetap saja orang luar! Kenapa kamu ijinkan?”
Selanjutnya yang terjadi adalah perdebatan. Aku mengajukan keberatan kenapa aku disudutkan toh aku bukan ketuanya tapi Romo berkeras bahwa meski bukan ketua, aku adalah yang paling senior dan punya akses untuk berkomunikasi dengan kawan-kawan dari dojo lain terkait peminjaman piranti tersebut.
Debat semakin panas hingga akhirnya muncullah kata-kata yang hingga kini tetap kuingat muncul keluar dari mulut Romo Pamong tersebut.
“Mulai hari ini Ekstrakurikuler Kempo saya bubarkan!”
Persetan, dalam hatiku!
Tapi yang keluar di mulutku adalah sesuatu yang lebih bisa kuterjemahkan dalam bahasa yang lebih manusiawi, “Silakan, Romo. Dojo itu juga bukan punya saya….”
Aku keluar memunggunginya begitu saja.
Hari itu kutandai sebagai yang pertama memulai beberapa urusan yang kerap muncul antara aku dengan Romo Pamong tersebut hingga beberapa tahun sesudahnya.
*Tentang Jogja adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.
0 Komentar