Salah satu pengalaman unik saat tinggal di Jogja dulu adalah memelihara ular.?Waktu itu, sekitar tahun 1995-1996, aku duduk di bangku kelas 3 SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Memelihara ular karena ikut-ikutan
Memelihara ular saat itu belum se-booming sekarang sehingga ketika aku dan beberapa kawan berpikir untuk memelihara, banyak orang memandang sebagai sebuah hobi yang nyeleneh, nekad? pokoknya bikin dahi orang berkernyit.
Aku lupa siapa yang memulai hobi itu di Wisma tapi yang pasti aku ikut-ikut memelihara setelah Yudith, sahabatku, memeliharanya. Ia punya beberapa koleksi ular yang disimpan di kotak-kotak plastik di kamarnya. Karena aku sering main ke kamar Yudith, aku yang semula takut dan geli pada ular pun lama-kelamaan jadi terbiasa, memegang dan mengelus-elusnya.
Pak Min
Suatu hari, Yudith mengajakku untuk pergi ke rumah penjual ular tersebut, Pak Min namanya. Rumahnya ada di sekitar Candi Prambanan, 10 kilometer ke arah timur dari Jogja. Kami berdua berboncengan naik sepeda motor Crystal Silver milik Yudith.
Rumah Pak Min tak terlalu jauh dari kompleks Candi Prambanan. Setelah lewat gapura Kabupaten Klaten, kami belok ke arah kanan (Selatan) lalu masuk ke beberapa gang sebelum sampai di rumahnya.
Pak Min ternyata tak hanya mengoleksi ular. Ia juga menjual daging serta empedu ular. Daging untuk dimasak, empedu ular untuk dipakai sebagai obat.
Orangnya ramah dan ketika aku memperkenalkan diri sebagai orang Klaten (meski saat ngobrol dengan Yudith ya tetap pakai Bahasa ngapak ala Kebumen – Purwokerto) kami jadi semakin akrab.
Bahkan uniknya, setelah ditelusur jaringan perkawanan kami, aku kemudian sadar bahwa waktu aku masih tinggal di Klaten (sebelum 1984), Pak Min pernah datang ke rumahku karena Ibuk (Eyang Pranyoto) memesan empedu ular untuk obat penyakit asma-nya Mbak Yo (Tante Yohana).
Waktu itu aku bahkan ingat ular dibawa dalam keadaan hidup ke Klaten lalu disembelih di pekarangan sebelah rumah. Empedunya langsung dimakan Mbak Yo dan dagingnya kami masak. Aku juga masih ingat ketika memasak, Mama begitu kaget sampai berteriak karena melihat potongan daging yang dipikir sudah mati itu tetap menggeliat saat dimasukkan ke wajan yang panas!
Petunjuk memberi makan ular
Kehangatan Pak Min siang itu membuatku memutuskan untuk membeli salah satu koleksinya. Padahal waktu berangkat ke rumahnya aku tak terpikir untuk memelihara sama sekali.
?Tapi nanti cara memberi makannya gimana? Berapa hari sekali?? tanyaku pada Pak Min.
?Oh gampang kok, Mas! Tinggal beli daging ayam dicacah lalu dimasukin ke mulutnya lima potong, tiga hari sekali.? jelas Pak Min.
?Hmmm.. masukinnya pakai apa?? tanyaku gamang.
?Nganggo pinset, Don!? tukas Yudith.
Pak Min lantas mempraktekannya. Seekor ular dipegang, Ibu jari dan telunjuk tangan kiri dipakai untuk membuka mulut si ular, pinset di tangan kanan yang menjepit potongan daging ayam dimasukkan ke mulut si ular.
?Wah, kok susah?? tanyaku.
Tapi entah kenapa siang itu aku teryakinkan. Lagipula, kalaupun susah toh nanti aku bisa belajar pada Yudith.
Sore itu, aku memasukkan ular peliharaanku ke dalam karung beras dan kumasukkannya ke dalam tas ranselku. Kami pulang ke Wisma.
Sesampainya di Wisma, Yudith memberiku pinjaman sebuah kotak plastik untuk tempat hidup ularku.
?Dit, nanti aku dibantu ya untuk kasih makan?? Dan Yudith pun mengiyakan.
Ular dalam kotak plastik itupun kubawa ke kamar. Kuletakkan di atas meja kecil di sebelah meja belajarku.
Warna ular ini kecoklatan. Diameternya sekitar lima senti dan panjangnya tak sampai satu meter.
Aku lupa jenisnya tapi yang pasti kata Pak Min, ular ini tidak agresif dan bisanya pun tidak mematikan. Aku terngiang-ngiang perkataannya, ?Pokoknya nggak nggigit, Mas. Kalau njenengan nggak mukul kepalanya, ular ini nggak menggigit.?
Ular dalam kotak plastik
Saat yang tak kuduga pun tiba.
Malam harinya ketika hendak tidur, ular yang semula diam saja itu tiba-tiba menggeliat. Berputar-putar di kotak plastik dan sesekali mematuk-matukkan kepalanya ke dinding kotak .
Aku yang sedari siang merasa nyaman kali itu jadi tak tenang.
Aku merasa ketakutan sendiri!
Kok muter-muter terus, ya? Kenapa gak diam kan sudah malam?
Berusaha untuk tak memikirkan, tapi setiap dengar patukan kepalanya ke dinding kotak , ketakutanku makin bertambah.
Gimana kalau nanti malam saat aku tidur dan ia berhasil membuka kotak? plastik itu lalu menggigitku? Atau katakanlah tidak menggigit tapi lantas ia lepas dari kotak? dan bersembunyi di antah-berantah, menanti saat yang tepat untuk menyerangku?
Atau kubuang saja?
Tapi kalau kubuang, apa kata Yudith nanti? Malu aku!
Aku semakin panik!
Kepanikan itu lantas membuatku memutuskan sesuatu: memasukkan kotak plastik berisi ular itu ke dalam almari yang ada di bawah meja belajar lalu kukunci. Aku berpikir dengan mengunci maka meskipun lepas, ia tak kan bisa menembus kuncian laci!
Dan malam itu, adalah malam terakhir aku melihat wujudnya.
Siang hari berikutnya, ketika hendak kutengok, aku tak mendengar suara patukannya. Jangan-jangan sudah lepas dari kotak? AKu mengurungkan niatku. Di malam hari, sebaliknya yang terjadi, patukan-patukan kepalanya ke kotak plastik selalu kudengar. Hal ini meyakinkanku untuk menengok si ular keesokan harinya. Begitu kejadian berulang-ulang.
Malam hari ketiga, suara patukan-patukan itu lenyap. Aku jadi was-was. Jangan-jangan si ular telah lepas dari kotak plastiknya?
Hari ketujuh, sepulang sekolah, tiba-tiba kurasakan bau busuk meruap di kamarku.
Apa ini?
Aku tahu ini pasti karena ular itu mati. Ingin kubuka almari untuk memastikan tapi? ah bagaimana kalau tidak mati? Bagaimana kalau ia sudah bebas dari kotak? plastik karena bukankah dalam beberapa hari terakhir sudah tak ada suara patukan-patukan kepalanya lagi?!
Aku pusing dengan pikiranku sendiri.
Hari berikutnya, suatu siang di depan kamar kost ada seorang tukang bangunan yang dipekerjakan pemilik Wisma untuk menggali pipa. Sepulang sekolah, aku memberanikan diri untuk minta tolong kepadanya. ?Pak, boleh minta tolong??
?Ya, Mas??
?Nganu? ini saya minta tolong nanti saya bayar tapi jangan bilang-bilang ke Pak Sur!?
Ia mendekat, ?Gimana, Mas??
Akupun lantas menceritakan semuanya. Lalu diakhir cerita aku meminta, ?Tolong dicheck ya, Pak. Kalau sudah mati langsung dikubur saja, saya nggak mau liat! Takut!?
?Ka.. kalau belum mati?? tanya si tukang.
?Ya?. dibawa pergi!? jawabku.
Si Tukang itu kuijinkan masuk sekitar jam 3 sore saat dimana biasanya Pak dan Bu Sur tidur siang. Jika ketahuan tentu aku akan kena marah dan si tukang itu barangkali akan berhenti dipekerjakan.
Mati dan membusuk
?Mas, sampun mati! ?Pun bosok! Nganti nggandha niki! (Mas, sudah mati! Sudah busuk! Sampai bau! –jw)?
Aku tak mau tahu? Dari jarak cukup juah, aku memberi isyarat menggunakan telunjuk, memintanya membuang jasad si ular tadi. Kepada si tukang aku memberinya uang lima ribu rupiah sebagai upah.
Beberapa waktu lamanya, beberapa anak di Wisma ikut memelihara ular sepertiku dan Yudith. Semuanya berhenti setelah dua kejadian yang akan kuceritakan setelah ini.
Kejadian pertama, ular peliharaan si Budi lepas dari wadahnya, hilang entah kemana! Kejadian ini membuat seisi Wisma panik. Akupun yang sudah tenang sepeninggal si ular jadi ikutan panik lagi. Beberapa minggu lamanya aku selalu menabur garam di depan pintu, jendela bahkan lubang ventilasi supaya si ular tak mampir ke kamarku.
Kejadian kedua, tangan kanan Yudith digigit ular peliharaannya sendiri. Tangannya jadi bengkak dan iapun harus pergi ke Rumah Sakit untuk dirawat meski tak harus menginap.
Sydney, 27 Agustus 2020
*Tentang Jogja adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.
Yudith memang gitu! Aku pernah diajak yudith ke pak min prambanan (bareng sisca pacarnya waktu itu). Ularnya banyak berbagai jenis dan semua disimpan didalam ruang tengah rumah, bukan di pekarangan. Aku sempat makan sanca goreng dan kobra pedas disana, dan pertama kali dalam hidup melihat kobra yg sudah dipenggal, dikuliti, dibuang isi perutnya, tapi masih bisa melata keluar dari ember! Disitu pula aku lihat yudith pamer didepan sisca bermain2 ular kecil sebesar kelingking yang akhirnya menggigit jarinya sampai berdarah! Wkwkw! Sukurrrr!
Hahahah masih inget aja loe, Tor :)