Aku sendiri lupa kapan pertama kali ke Jogja.?Tapi kalau ditanya kapan pertama kali aku bisa mengenal Jogja sebagai sebuah ruang yang menyenangkan dan berisi bangunan dan manusia, cerita serta cinta? hal itu terjadi di tahun 1988. Waktu itu aku masih tinggal di Kebumen, sebuah kota kecil berjarak sekitar 110 km di sisi baratnya.?
Semua bermula dari hasil keur/kir dokter mata yang mengharuskanku untuk mengenakan kacamata minus. Di Kebumen bukannya nggak ada toko kacamata, tapi karena sejak dulu Papa selalu suka ?barang bagus?, ia mengajakku untuk membeli kacamata di Jogja. Baginya barang-barang yang dijual di Jogja pasti lebih bagus dari yang dijual di Kebumen.
Kami belum punya mobil waktu itu. Untuk pergi ke Jogja, kami naik ?travel?, Bumen Jaya namanya. Kantor biro travelnya terletak di perempatan Jl Pemuda – Jl Pramuka – Jl Garuda, Kebumen. Kebetulan, anak si pemilik biro travel itu teman sekelasku di SD Pius Bhakti Utama Kebumen, Chandra Meylani namanya.
Jl Perwakilan
Hari itu hari minggu.
Perjalanan menggunakan travel dari Kebumen ke Jogja ditempuh dalam waktu tiga jam. Sampai di Jogja kira-kira jam 11 pagi dan kami langsung turun di kantor biro travel yang letaknya di sebuah rumah makan kecil di sudut Jalan Perwakilan, Yogyakarta.
Dulu aku tak tahu kenapa nama jalan itu adalah Jalan Perwakilan. Panjang jalannya barangkali tak sampai satu kilometer dan kupikir diberi nama perwakilan karena di sana ada kantor perwakilan biro travel yang kunaiki. Naif banget ya hahaha?
Sampai sekarang pun aku tak tahu kenapa namanya begitu, tapi barangkali? barangkali karena letaknya tak jauh dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah – Daerah Istimewa Yogyakarta maka diberilah nama jalan itu sebagai Jalan Perwakilan.
Bukannya kebetulan, toko kacamata yang kami tuju letaknya juga ada di jalan itu, Akur Optic namanya. Untuk ukuran besar-kecil toko waktu itu, Akur Optik bisa dibilang cukup besar. Ada banyak etalase-etalase kaca memamerkan frame-frame kacamata terkini. Sang pemilik adalah seorang tinggi kurus, usianya waktu itu bisa dibilang sudah setengah baya, berhidung mbangir dan sepertinya berdarah Timur Tengah.
Ia tak banyak bicara. Selalu berada di belakang meja kasir, sibuk membaca apa yang ada di depannya dan sesekali memencet-mencet kalkulator berukuran besar. Kalau ada yang datang untuk membayar, matanya melirik dan senyum pun mengulas di bibirnya.
Sementara yang melayani kami pagi itu adalah seorang pria berparas bersih dan bertubuh agak gempal.
?Untuk anaknya, Pak?? tanyanya kepada Papa.
?Iya, anakku dan aku sekalian mau ganti, Mas??
Aku tak diberi banyak pilihan waktu itu.
Bagi Papa, frame kacamata yang cocok bagiku adalah yang berwarna emas dan melengkung mirip kacamata Ebiet G. Ade, penyanyi kesukaan Papa dan Mama pun mem-favorit-kannya.
Padahal aku maunya yang berbingkai hitam tapi bagi Papa itu dianggap kurang mbois. Ya udah, gak ada yang perlu diceritain kan kalau semua sudah ditentukan seperti itu? :) Papa sendiri membeli Rodenstock, merk yang waktu itupun sudah terbilang cukup mahal, buatan Jerman.
Tak seperti sekarang,
waktu itu proses pemasangan lensa ke frame memakan waktu kira-kira seminggu-dua mingguan. Buat Papa (dan juga buatku) hal itu tak jadi soal karena berarti kami punya alasan untuk bisa kembali pergi ke Jogja seminggu kemudian.
Urusan kacamata selesai sekitar jam 12:30 siang. Matahari sedang terik-teriknya dan kami berjalan kembali ke kantor Bumen Jaya untuk memesan tiket kembali ke Kebumen.
?Kita jalan-jalan dulu ya ke Malioboro?? begitu kata Papa, aku mengangguk. Kami memesan tiket untuk perjalanan jam 3 sore ke Kebumen.
Jalan Malioboro
Dari Jalan Perwakilan kami menuju ke Jalan Malioboro dan menyeberang untuk berjalan di sisi barat jalan yang monumental tersebut. Sebagai orang Kebumen, aku takut saat hendak menyeberang Malioboro yang sejak dulu memang selalu penuh dengan kendaraan! Tanganku digenggam Papa lalu kami pelan-pelan menyeberang. (Aku paling gak suka digenggam tangan oleh Papa karena tangan Papa waktu itu selalu identik dengan bau rokok!)
Ke arah selatan, kami mampir ke Gunung Mas karena Papa mau lihat-lihat jam tangan. Tapi tak jadi beli karena barangkali uangnya sudah menipis habis untuk membayar kacamata. Keluar dari sana kami melewati Toko Ramai. Aku takjub, toko itu gede bener untuk ukuran waktu itu.
Tujuan kami adalah ke Rumah Makan Cirebon yang letaknya berseberangan dengan Pasar Beringharjo dan tepat di depan Bioskop Indra.
Rumah Makan Cirebon membawa kenangan tersendiri bagi Papa. Sebelum aku dan Mama (Chitra belum lahir waktu itu) pindah ke Kebumen untuk ikut Papa di tahun 1984, setiap akhir pekan, Papa selalu bolak-balik Kebumen – Klaten. Nah, di RM Cirebon, setiap minggu sore sepulang dari Klaten, Papa menunggu travel yang mengantarnya kembali ke Kebumen.
Kami menyantap rawon plus telor asin ditemani wedang tape ketan hangat. Hampir satu jam berada di sana, setelah itu kami kembali ke utara, ke Jalan Perwakilan. Kali itu kami menyusuri sisi timur jalan melewati Pasar Beringharjo, Hotel Mutiara dan Kantor Gubernuran.
Hotel Mutiara
Oh ya, aku paling suka ketika ada di depan Hotel Mutiara!
Kenapa? Karena aku bisa bermain-main dengan pintu otomatis di hotel tersebut. Jadi kalau tak salah ada tiga pintu geser besar di hotel tersebut. Di setiap pintunya terpasang keset berukuran besar juga dan setiap aku menginjak keset itu, pintunya terbuka secara otomatis. Nah, ketika pintu terbuka, biasanya ada mas-mas penjaga pintu yang bersiap menyambut tamu dan berpikir bahwa aku adalah tamunya. Tampangnya jadi cengo? karena kecelik dan girangku bukan main melihat reaksi kecengo-an mereka itu hahaha!
Sesampainya di Jalan Perwakilan kami menunggu jemputan travel di Kantor Bumen Jaya. Karena kami lumayan berkeringat, Papa memesan es teh untuk menurunkan suhu tubuh dan tahu susur untuk kami kudap sambil menunggu travel datang.
Papa membeli koran Kompas dari seorang loper koran yang berjualan bagian depan rumah makan tersebut. Pawakan si loper koran itu tinggi kurus, berkulit legam. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamatanya yang super tebal!
Tiba-tiba aku jadi ketakutan apakah kacamataku nanti akan setebal punyanya? Papa menenangkanku. ?Ukuranmu ora gedhe dadi ra mungkin koyo ngono kuwi??
Oh ya, si loper koran itu cukup awet berada di situ. Hingga sekitar awal tahun 2000an, dua belas tahun sesudahnya, aku masih sering melihatnya wira-wiri di situ masih dengan kulit legamnya dan ? kacamata lodhongnya.
Travel tiba tepat waktu.
Kami duduk di bangku paling belakang sesuai pesanan. Dari arah Perwakilan kami belok ke kiri ke Jalan Mataram. Dari sana kami ke Jl Abu Bakar Ali, menyeberangi Jalan Malioboro, melalui Pasar Kembang lanjut ke Jlagran Lor hingga bertemu Jl HOS Cokroaminoto.
Travel menuju ke selatan, sampai di perempatan Wirobrajan belok kanan ke Jalan Yogya-Wates lalu bablas ke Kebumen. Aku duduk di dekat jendela, lalu Papa yang duduk di sebelahku berkata, ?Kowe ora ngantuk? Nek ngantuk nglendot wae mrene?? Aku menggeleng, mataku mengamati jalan sepanjang perjalanan sore itu.
*Tentang Jogja adalah caraku melawan lupa atas kenangan-kenangan indah yang terjadi selama aku tinggal di Jogja sejak 1993-2008.
Wah, saya yang di Jogja aja sudah lupa kapan terakhir ke Malioboro, Mas… :D
Beberapa kali kutengok superblogger.id dan masih nongkrong “BERHARAP PADA TITIK NORMAL YANG BARU, AKAN SETIDAK NORMAL APAKAH HAL ITU?”. Agak gelo karena belum ada tulisan baru darimu.
Setelah makani asu2ku, kutengok dan kutemukan kisahmu “Tentang Jogja (1): Jalan Perwakilan ? Malioboro”. Asik membacanya, senikmat diriku ketika nyuprut cokdbrew setiap pagi.
Senang rasanya kau-giring imajinasi kami tentang Jogja, sekalipun aku masih setia di sini, Jogja dab :). Kisah cintamu bersama almarhum Papa. Ini hiburan tersendiri bagiku. Sering aku mendengar kisah muridku yang punya kenangan tak indah dengan bapak mereka, namun dirimu gulirkan aroma mesra anak lanang dan Papanya. Matur nuwun Maskuuh. Kutunggu kisahmu “Tentang Jogja (2): … ” yang mengalir nikmat bagai coldbrew yang baru saja kutegak.
Siap Pak Guru.. salam buat Mbak’e :)
Di Jalan Perwakilan, zaman Indonesia masih membajak kaset dari rekaman LN, tapi dipajaki pemerintah, ada toko kaset lengkap. Namanya Popeye.
Sekarang kalau saya ke Yogya selalu pangling. Lagi pula kalau musim libur, Malioboro sampai Ahmad Yani itu penuh.
Ehm, banyak orang menyebut Jalan Mangkubumi (Jalan Tugu Kidul) – Jalan Malioboro – Jalan Malioboro itu sebagai Malioboro ?
Iya.. Popeye di Perwakilan (lantas pindah ke Mataram sebelum akhirnya tutup) dan KotaMas di Malioboro sisih utara. Lucunya, sebelum tutup, seingatku, Popeye dikerubungi lapak-lapak cd /vcd/dvd bajakan .. kalau ingat ceritamu saat pembajakan kaset dilegalkan di 80an, sepertinya Popeye kena tulah ya :)
Soal pembajakan yang dilegalkan itu aku ingat betul. Sebelumnya, Papa beli kaset Richarc Clyderman cuma 2 ribu perak, setelanh dilarang pembajakan itu aku mesti beli kaset Europe (Final Countdown) seharga 8 ribu!
Beda banget mesti ketimbang yang sekarang, Mas? Mesti dulu di Jalan Perwakilan belum ada Hotel Ibis. Malioboro Mall kayaknya juga belum.
Mas DV menangi lihat Jogja pas sepeda lagi rame-ramenya kah?
Beda banget, Mas :) Ibis dan Malioboro Mall belum ada :) Aku menangi jaman sepeda lagi rame-ramenya. Menyenangkan sekali waktu itu. Mereka tak hanya bersepeda tapi juga ber-surjan, ber-blangkon…