Di malam penghujung bulan November 2016, semalam, aku datang ke konser The Temper Trap bersama tiga orang kawan Indonesia lainnya.
Ini bukan kali pertama aku nonton konser The Temper Trap karena sebelumnya aku sudah pernah menyaksikan saat mereka menjadi band pembuka konser Coldplay, sekitar empat tahun silam.
Ada beberapa catatan menarik terkait konser semalam dan berikut adalah poin-poinnya.
#1 Great venue
Konser kali ini mengambil tempat di Enmore Theatre dan semalam adalah kali pertama aku masuk ke dalamnya.
Enmore Theater adalah sebuah bangunan pertunjukan ikonik yang sudah cukup uzur, didirikan pada 1908. Letaknya di Newtown, suburb berjarak sekitar 15km dari Sydney yang terkenal jadi pusat komunitas hippies dan kaum kreatif kota.
Aku langsung jatuh hati pada Enmore Theatre karena tempatnya yang tak terlalu besar dan jarak antara panggung dengan penonton yang diset tak terlalu lebar sehingga kesannya jadi seperti konser akrab.
#2 Punggung!
Yang ini agak personal, berdiri tiga jam di area ‘Dancefloor’ membuat punggungku yang memang bermasalah jadi lebih bermasalah, sakitnya bukan main! Aku memang nggak mau nonton di tribun karena selain berjarak, selama ini aku merasa ada ’emosi’ yang tak tersalurkan dari penampil kepada penonton kalau aku duduk.
Tapi setelah belajar dari pengalaman semalam, sepertinya aku harus kembali untuk mencari tiket tempat duduk kalau nonton konser lain kali. Mungkin ini terkait faktor ‘U’, usia, meski secara faktor ‘U’ yang lainnya, uang, tiket tempat duduk biasanya juga jauh lebih mahal.
#3 Google Pixel jawaranya!
Konser kemarin memang kurencanakan untuk kujadikan ajang perbandingan kualitas foto antara iPhone 7 dan Google Pixel. Eh, sudah lihat video unboxing buatanku untuk iPhone7 dan Google Pixel? Belum, simak di sini dan di sini.
Hasilnya? Iklan yang sesumbar bahwa Google Pixel itu punya kamera lebih baik terutama saat low light memang benar adanya! Dibandingkan iPhone7 untuk saat low light seperti semalam Google Pixel tak tertandingi!
Coba perhatikan dua foto di bawah ini.
Tapi meski demikian, untuk keadaan sinar normal, aku tetap lebih suka iPhone7 karena warnanya menurutku lebih natural dan tidak terlalu bright.
#4 Tash Sultana
Tash Sultana adalah seorang musisi Melbourne yang sedang melejit namanya. Ia jadi opening act dari konser semalam. Orangnya amat biasa dan low profile (kebanyakan artis di sini memang seperti itu, mereka tak haus pemberitaan terutama untuk hal-hal di luar dunia kreatifnya).
Saking low profilenya, ternyata saat aku dan kawan-kawan sedang beli minuman di bar sebelum konser, ia sempat duduk di bangku sebelah sambil minum beer sendirian. Jadi pas dia di atas panggung, aku dan kawan-kawan bilang, “Loh, ini kan cewek yang tadi ada di sebelah kita?”
Tash, dari nama depan Natasha, tampil sangat apik. Karakternya mirip Lorde, penyanyi asal New Zealand yang ngetop beberapa tahun belakangan lewat Royal dan Tennis Court.
Tapi bedanya Lorde hanya sesekali memainkan alat musik, sedangkan Tash tampak sekali bahwa akar permainannya memang instrumen.
Tash tampil seorang diri bermodal gitar, banjo, MIDI controller dan seabrek effect pedal di depannya serta stompbox.
Suatu waktu ia membuat beat menggunakan MIDI controller lalu merekamnya ke dalam looper, kemudian mengisi lini bass menggunakan gitar Fender Telecaster-nya dan dimasukkan ke looper juga lalu bernyanyi, saat interlude, ia sendiri juga yang membesut gitar secara gahar dan semuanya itu dilakukan secara langsung, live!
Tapi meski demikian, ada beberapa sisi yang menurutku perlu diperbaiki dari penampilannya. Sesekali tampak ia kewalahan mengatur looper untuk menentukan mana yang harus direkam dan mana yang harus diputar. Saat Ia juga tampak beberapa kali salah, mengira beat yang ia buat sudah masuk ke loop tapi ketika diputar ternyata belum.
Lalu menurutku yang paling mengganggu adalah, karena begitu banyak pedal berada di dekat stompbox (stompbox bentuknya juga seperti pedal yang ditekan dengan kaki untuk menimbulkan beat berdasarkan hentakan kaki) sehingga beberapa kali saat ia menginjak pedal, hentakannya terekam di microphone stompbox sehingga sound yang dihasilkan agak noisy.
Tapi meski begitu penampilan Tash cukup menakjubkan dan mampu membuatku memutuskan untuk mendownload lagu-lagunya dari Apple iTunes pagi tadi.
#5 Dougy Mandagi adalah koentji!
Temper Trap yang muncul tepat jam 9 malam tampil matang.
Karakter antar personilnya luar biasa kuat.
Acungan jempol kuberikan pada Toby Dundas, drummer yang memberi warna ketukan berbeda nan apik serta konsisten.
Lalu Jonathon Aherne, sang bassist yang memetik gitar menggunakan ibu jarinya dengan stelan strap bass cukup tinggi hingga ke dada tak hanya memberikan tontongan unik tapi juga permainan bass yang brilian memberikan nuansa pada tempo yang dibangun Toby.
Sedangkan sang gitaris, Joseph Greer, tampil apik meski kulihat semakin kemari, pola permainannya makin mirip dengan The Edge, gitaris U2.
Keluarnya Lorenzo Sillitto (lead guitar) dari Temper Trap sejak 2013 kupikir akan tak tergantikan tapi tebakanku salah. Tak dinyana, justru Dougy Mandagi, sang vokalis yang bekerja sama dengan Joseph untuk membangun sisi melodi band secara baik.
Penampilan malah jadi lebih dinamis karena gitar yang disandang tak hanya jadi basa-basi pelengkap melainkan jadi pemeran penting pada lagu-lagu yang dimainkan. Malah beberapa kali Dougy yang mengambil lead guitar sembari sesekali memainkan MIDI/synth dan perkusi.
Tapi hal yang tak bisa dipungkiri dan aku harus jujur mengatakan adalah, karakter vokal Dougy Mandagi yang amat unik lengkap dengan falsetto yang kuat adalah pembeda Temper Trap dari yang lainnya. Tak terbayangkan jika suatu waktu ia keluar dari Temper Trap, vokalis baru yang mengisi posnya tentu harus bekerja ekstra keras untuk tetap menegakkan panji band yang lahir di Melbourne, Australia lebih dari sepuluh tahun silam itu.
#6 Berani bawain banyak lagu dari album terbaru
Hal yang cukup mengejutkan dari penampilan band yang sekarang bermarkas di London itu adalah, semalam mereka berani untuk lebih banyak membawakan lagu-lagu dari album terbaru mereka, Thick as Thieves (2016) dibandingkan album lama. Untuk orang-orang yang memang memperhatikan album terbaru mereka sepertiku sih seneng-seneng saja…
Mulai dari Thick as Thieves, So much sky, Summer’s Almost Gone hingga single laris Fall Together dibawakan. Sayang, dua lagu kesukaanku, Riverina dan Closer tak dibawakan. Oh ya, Closer adalah lagu yang konon diciptakan untuk mengenang sahabat Dougy, Andrew Chan, narapidana mati kasus narkoba yang ditolak grasinya oleh Jokowi lantas dieksekusi di Nusakambangan April 2015 silam.
#7 Trapped by Sweet Dispotition.
Ya, Temper Trap menurutku terkena ‘trapped’ sekian lama dari lagu andalan yang membawa nama mereka melejit, Sweet Dispotition!
Lagu karya Dougy bersama Lorenzo yang ada di album pertama mereka, Conditions itu dibawakan menjadi lagu terakhir, puncak penampilan mereka, semalam.
Bukan hal yang buruk, tapi perasaan hampir di setiap konser mereka yang kuikuti via Youtube diakhiri dengan lagu tersebut.
Salah? Tentu tidak karena bisa jadi tanpa Sweet Dispotition maka Temper Trap tak jadi seperti sekarang. Tapi sebagai pemerhati sisi progresif sebuah band, aku membayangkan kapan mereka berani untuk tampil tanpa menempatkan lagu itu di penghujung konser? Kapan mereka berani menggebrak justru membawakannya di tengah pertunjukan dengan aransemen yang berbeda sama sekali?
Mungkin nanti, tak sekarang…
#6 Indonesia
Satu hal yang tak bisa dipungkiri kenapa aku menyukai Temper Trap salah satunya adalah karena faktor primordialisme dari dalam diri. Dougy Mandagi adalah seorang asli Indonesia berdarah Manado. Ia cucu keponakan dari pahlawan nasional Indonesia, Arie Frederik Lasut.
Semalam banyak juga kawan lain sesama Indonesia yang datang di konser. Kami tak saling kenal tapi ketika keluar dari venue, mungkin karena persamaan ciri dan karakter wajah, kami jadi saling sapa,
“Indonesia?”
“Ya!”
“Selamat malam!”
Bagiku, Dougy Mandagi, di tengah suhu politik yang panas di Tanah Air adalah sebuah oase dan tempat berkaca bahwa untuk menonjolkan profil anak bangsa yang berprestasi itu tak perlu lewat adu urat dengan demo di jalanan menuntut pada pemerintah maupun berintrik-politik nan licik untuk menggagalkan sesama anak bangsa lainnya. Cukup fokus pada bidang yang kita tekuni seperti Dougy dengan band dan musiknya. Ketika ia dianggap berhasil, orang-orang toh dengan sendirinya akan mencari tahu latar belakangnya, ia berasal dari mana, keluarga mana dan bangsa apa.
Begitu! Setuju?
0 Komentar