Suatu waktu, lebih dari setahun silam, aku janji ketemu dengan seorang kawan, anggaplah kawan berbisnis, di sebuah kafe di kawasan Strathfield, NSW, Australia. Adapun waktu itu sama sekali aku belum pernah pergi ke sana. Maka keberangkatanku yang menggunakan kereta api itupun kusandarkan pada GoogleMap yang kuakses lewat gadget untuk mendapatkan direction yang tepat serta nomer telepon kawan yang akan kutemui, untuk jaga-jaga kalau aku tersesat, kusimpan di gadget yang sama juga. Kurang lebih 30 menit waktu perjalanan dibutuhkan untuk pergi ke Strathfield dan kubunuhnya waktu itu dengan bermain game dan mendengarkan musik.
Ketika sedang asyik bermain game, tiba-tiba aku dikejutkan oleh alert yang muncul di layar gadget yang menginformasikan bahwa sisa tenaga batere yang bisa digunakan tinggal 10% dari kapasitas semula. Saat itu kira-kira perjalanan tinggal menyisakan jarak dua stasiun ke arah Strathfield jauhnya. Namun toh tak kuindahkan hal itu karena pikiranku sedang benar-benar tercurah pada game dan bukan pada hitung-hitungan sumber daya gadget.
North Strathfield Station, stasiun kereta api terakhir sebelum Strathfield Station terlewati. Aku bergegas menyudahi permainan game, memasukkan gadget ke dalam saku celana, dengan tetap menghubungkan telingaku pada earphone yang memperdengarkan musik daripadanya, lalu berdiri dan berjalan ke arah pintu kereta bersama penumpang lainnya yang juga bersiap turun. Setibanya di stasiun, saat itulah, ketika kulepaskan earphone dari telinga dan kuambil gadget dari saku celana untuk membuka GoogleMap, aku terperanjat kaget karena layar gadget menginformasikan hanya tinggal 4% tenaga batere yang tersisa atau dengan kata lain, tak sampai beberapa lama lagi jika terus kugunakan, gadget akan mati karena batere benar-benar habis.
“Mampus!” pikirku.
“Kekecewaan yang meletup lantas berubah menjadi amarah yang nyata karena harapan untuk mendapati fasilitas umum terjaga seperti ketika pertama kali diadakan pun hanya tinggal harapan…”
Aku lantas mengurungkan niat untuk mencari petunjuk arah lewat GoogleMap karena kutahu jika itu kulakukan, tak sampai beberapa menit, batere akan benar-benar habis dayanya.
Segera kubuka Phonebook dan mencatat nomer telp temanku ke sebuah carikan kertas untuk jaga-jaga kalau batere benar-benar habis. Karena nomer telah tercatat dan gadget masih menyala, aku lantas coba-coba menelpon kawanku tadi. Sayang, ketika nada panggil yang pertama kudengar, kali ini batere benar-benar tak bisa diajak kompromi. Dayanya telah habis menyisakan layar gadget yang hitam, mati! Damn!
“Ah, untung sudah kucatat nomer telpnya!” gumamku menghibur diri.
Etapi… tapi sekarang nelponnya pakai apa?
Otakku mendadak buntu.?Aku lantas duduk dan pelan-pelan berpikir, menyibak kepanikan untuk mencoba berpikir jernih…?OK, skarang alternatifnya ada tiga… pikirku.
Pertama, pinjam telepon ke orang sekitar untuk menelpon kawanku.Tapi itu tak mudah! Kebanyakan orang sini tak gampang percaya pada orang yang tak mereka kenal.
Alternatif kedua, pulang ke rumah saat itu juga!?A-ha, ini pilihan terbaik tampaknya karena aku toh tadi beli tiket return… tapi apa nggak kasihan kawanku yang sudah sangat ingin bertemu hingga melonggarkan jadwal kerjanya yang padat itu??Lagipula, kalau aku melewatkan kesempatan bertemu dengannya, bisa jadi kesempatan untuk bekerja sama dengannya akan terlewat begitu saja sekembalinya aku ke rumah.?Jadi kupikir, alternatif inipun kurang bijaksana untuk ditempuh…
Tinggal satu lagi, dan ini yang terberat.
Ada sebuah telepon umum yang terpasang di dinding stasiun tak jauh dari tempatku duduk. Sebenarnya mudah bagiku untuk mengaksesnya, tapi sekali lagi kukatakan ini justru yang terberat.?Kenapa demikian, simak paparanku di bawah ini…
* * *
“Meski agak ?kikuk?, kubuang upil itu dengan kertas tissueku sambil geleng-geleng kepala…”
Semua bermula dari peristiwa yang terjadi sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu.?Waktu itu, handphone memang sudah ditemukan Martin Cooper (orang yang lantas diakui sebagai penemu mobile phone) namun belum dikomersialkan pada khalayak di Indonesia, terlebih di kota kecilku karena jangankan handphone, instalasi telepon rumah ke rumahku saja belum terpasang karena infrastruktur perusahaan terkait ke daerah tempat tinggalku belum ada.?Sehingga, ketika pada suatu siang sepulang sekolah, Mamaku memberitahukan bahwa di perempatan jalan menuju jalan besar yang letaknya terdekat dari rumahku dipasangi telepon umum, begitu riang hatiku!
Hingga saat ini aku toh masih ingat dan bisa melukiskan bagaimana peristiwa pertama kali aku menggunakan telepon umum itu.?Begini, setelah menepati perintah Mama untuk tidur siang, pada sore harinya Mama yang sudah janji akan membawaku ke telepon umum itu lantas mengajakku jalan ke sana berbekal beberapa uang recehan.
“Kita nelpon Papa ya!” tukasnya ke arahku yang berjalan cepat-cepat karena sudah tak sabar.?Ketika sampai di bilik telepon umum, aku terkagum dengan fasilitas itu. Begitu bersih, begitu tampak kokoh dan… canggih!?Gimana nggak canggih kalau dalam hitungan menit berikutnya, setelah kumasuk ke dalam bilik, mengangkat gagang telepon, memasukkan koin lalu memencet beberapa nomer dan menunggu beberapa saat lantas “Hallo…” Nah, suara Papa terdengar dari dalamnya!
Aku lantas ketagihan karena menelpon melalui telepon umum waktu itu ternyata menyenangkan.?Bukan ke Papa saja, aku lantas mencoba untuk menelpon teman-temanku yang sudah tersambung dengan jaringan telepon di rumahnya. Lama-kelamaan, yang tadinya menjadi ajang coba-coba, akhirnya aku merasakan betul betapa keberadaan telepon umum itu sangat berguna. Beberapa hal penting yang perlu kukomunikasikan dengan teman-teman sekolahku maupun dengan Papa kusampaikan lewat jalur komunikasi telepon lewat bilik itu.
Namun meski demikian, bukan berarti semua berjalan tanpa gangguan sebenarnya.?Beberapa kali ketika hendak telepon, aku menjumpai ada beberapa carik kertas yang tersebar yang barangkali tak terpakai dan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya di bilik telepon. Mungkin karena saking ‘sayangnya’ dengan fasilitas telepon umum itu, aku dengan sukarela memunguti kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Pernah juga, barangkali ini agak sedikit menjijikkan, aku menemukan serpihan mirip upil yang entah disengaja atau tidak ditempelkan begitu saja oleh pemiliknya di gagang telepon. Meski agak ‘kikuk’, kubuang upil itu dengan kertas tissueku sambil geleng-geleng kepala, apa salah dan dosa bilik telepon umum ini sehingga harus menerima perlakuan yang menjijikkan begitu.
Itupun belum seberapa…?Ketika mulai kudapati grafitti entah itu dengan spidol, cat maupun goresan benda tajam di sekujur bilik telepon umum, meski tak senang, tapi aku toh tetap setia menggunakannya sebaik mungkin.
Hingga saat itupun tiba.?Suatu siang, sepulang sekolah, Mama memintaku untuk telepon Papa mengabarkan supaya ketika pulang sekalian mampir beli lauk karena ia tak memasak sore ini.?Dengan girang karena hendak menelpon, aku lantas berangkat menelpon. Sesampainya di bilik, dari luar tak kutemui tanda yang sebenarnya lebih buruk dari grafitti seperti yang kutulis di atas hingga akhirnya ketika kuangkat gagang telepon… betapa kagetnya aku mendengar nada suara yang berbeda dari biasanya. Ia terdengar begitu keras dan kencang serta tanpa henti padahal biasanya ia bersuara lembut dan dalam beberapa detik kemudian tergantikan dengan nada putus-putus tanda kita harus memasukkan koin recehan ke dalam kotaknya. Aku lantas mencoba untuk memasukkan koin meski belum diminta namun uang itu malah lolos langsung ke kotak pengembalian uang yang ada di bagian bawah kotak telepon.
“Ah, telepon ini rusak!” ujarku.?Aku begitu sedih, dengan langkah gontai dan muka murung, kuberjalan balik ke rumah dengan pesan kepada Papa yang tak tersampaikan.
Keesokan paginya, ketika istirahat siang di sekolah, salah satu teman yang kepadanya kuceritakan tentang kejadian telepon umum itu berujar, “Tenang, Don! Kalau ngga salah di sebelah gedung KUA itu juga ada kok telepon umum!”?Aku kembali sumringah mendengarnya!
Sepulang sekolah, meski berjalan agak lebih jauh dari biasanya, aku mendatangi telepon umum yang disebutkan temanku tadi dengan harapan bisa kembali menelpon entah itu menelpon Papa atau teman-teman, pokoknya menelpon. Namun alangkah kecewanya hatiku melebihi kekecewaanku sehari sebelumnya karena kudapati bilik telepon umum itu bahkan jauh lebih parah keadaannya ketimbang yang ada di dekat rumahku. Beberapa sisi biliknya telah hancur entah kenapa, graffiti-grafitti memenuhi kotak telepon nyaris menyamarkan bentuknya, selain itu tampak juga memar di beberapa sudutnya barangkali karena dibenturkan benda keras kepadanya dan yang paling parah adalah tak kutemukan gagang telepon di sana selain hanya kabel yang semrawut yang seharusnya tertata rapi menghubungkan kotak telepon dengan gagangnya.
Kesedihan yang kurasakan lantas berubah menjadi kejengkelan. Kekecewaan yang meletup lantas berubah menjadi amarah yang nyata karena harapan untuk mendapati fasilitas umum terjaga seperti ketika pertama kali diadakan pun hanya tinggal harapan, tak berubah ke alam nyata. Aku lalu memutuskan untuk seandainyapun ada bilik telepon umum baru, tak kan lagi memakainya karena untuk apa bergantung padanya kalau tak sampai sekian lama gantungan itupun runtuh?
Waktu lantas bergulir begitu saja. Papa membaca kekecewaanku tadi dan ia lantas memutuskan untuk memasang telepon di rumah meski untuk itu ia harus mengeluarkan dana yang agak mahal karena ongkos pemasangan infrastrukturnya sekalian. Hatiku kembali senang meski bukan karena senang tak ada perusakan fasilitas telepon umum, tapi senang yang ‘egois’ karena aku akhirnya bisa menelpon lagi dan peduli setan dengan bilik telepon umum!
Sejak saat itu, otakku teracuni! Setiap melihat bilik telepon umum, aku menganggapnya sampah, seonggok sampah…
* * *
“…senang yang ?egois? karena aku akhirnya bisa menelpon lagi…”
Di Strathfield Station, sampah itu kini berada di depanku dan menjadi satu-satunya alternatif yang harus kutempuh.?Sementara tu waktu telah beranjak sore, lalu kuputuskan untuk mendekat ke kotak telepon umum itu.?Ada begitu banyak perasaan yang berkecamuk, namun yang paling mengemuka adalah stigma tentang telepon umum yang adalah seonggok sampah, bagiku.
Kurogoh saku celana untuk mengambil lipatan kertas berisi nomer telepon temanku, kuambil sekeping koin 2 dollar dari saku sebelahnya…?Gagang telepon perlahan kuangkat dan aku memilih untuk tidak menempelkannya ke telinga, malas mendengar nada yang tak jelas seperti dulu! Aku langsung memasukkan koin 2 dollar ke dalam lubang, memencet nomer telepon teman tetap dengan tidak mendengarkan nada panggilnya hingga di panel kotak telepon tertulis pesan “Connected”
Aku masih setengah tak percaya dan berpikir bahwa itu hanya satu cara untuk menghibur bahwa seakan-akan telepon itu benar-benar bekerja.?Dengan malas-malasan akhirnya kutempelkan gagang telepon ke telinga dan…
“Hello… hello! Sh*f*y’s speaking!”?Betapa terkejutnya aku dan dengan gelagapan kujawab salam kawanku tadi, “Eh, Hi, Mate. It’s me, Donny Verdian!”
Layaknya sekantong air yang tergantung sekian lama di ranting pohon, ia tiba-tiba pecah dan buraian airnya membasahi tanah pelataran tempat pohon itu berdiri setelah sekian lama.
Leganya, tak terperi luar biasa!
untung telepon umum di sana terawat dengan baik. hp saya pernah mati. akhirnya saya numpang mencharge hp ke salah satu counter hp yang ada di mall. terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli pulsa 5000 perak biar diperbolehkan.
Don.
Setidaknya kan ini jadi pelajaran juga buatmu, bahwa kalau pergi2 jauh pastikan batre HP dalam keadaan penuh, lalu hematlah batre, dan bawalah batre cadangan or mobile charger kalau perlu.
Aku juga penggila telepon umum dulu hahahaha…. selalu menyisihkan uang recehan demi bisa menelepon. Bayangkan bagaimana dulu kita kalau menelepon sambil senyum2 di balik bilik TU. LOL.
Hehehe….dulu, rasanya telepon umum benar-benar menyenangkan, karena untuk pasang telepon kabel di rumah antre nya bertahun-tahun.
Sekarang, ganti telepon kabel nyaris tak terpakai…
Pelajarannya, baterei harus full jika mau ketemu teman.
Ingat Kejayaan Kartu Telpon dulu….
Wah,, aku gak pernah ingat pake telpon umum deh,,
rasanya pas aku udah gede telpon umum udah pada rusak semua,,
seringnya dulu nelpon di wartel, tapi bahkan ada beberapa wartel yang gak bisa telpon interlokal *doh*
ahahaha. bisa sangat membekas begitu ya cerita soal telepon umum ini. :D
dulu sekali2nya pake TU di Syd ini juga.. gara2 batere hp entek.. n teringat sakit hatinya ngeluarin duit $1 (waktu itu masih Rp.7000 sekian) cuma buat nelpon ke hp temen ga sampe 30 detik, sampe gelagapan nyari koin buat nyambung obrolan karena yg sen2an cuma nambahin “hidup” berapa detik doang, hahahaha.. masih mbayangin di jakarta , TU cuma Rp. 100-500 -an bisa 3 menit.. hihihi..
haha….berarti “musuhan” mu karo telepon umum wiz bar mas?
ya ngono kuwi..karena pernah dikecewakan kita cenderung menghindari sesuatu yo, mas..padahal belum tentu sesuatu itu mengecewakan semua, dan belum tentu selamanya mengecewakan..seperti lagu dangdut itu lho mas…”tidak semua telepon umum..bersalah kepadamuuuwww…” :P hehehehee…
ojo dipadakke telepon ng endosah tercintah iki karo telepon umum ng ostrali…bukannya under estimated ma endonesah tercintah…tapi piye yo? ya ngunu kuwi lah…pokokmen :D
Disana masih ada telpon umum ya mas, untung jga ya pas di buat tlp bisa…. sekarang si di indonesia susah nyarinya…
Kalau telepon umum dulu saya sih ndak terlalu ya, nah kalau wartel barulah bergitu membekas di benak saya, maklumlah awal kisah pedekate saya sekitar 10 tahun lalu dengan mantan pacar (sekarang istri) lebih banyak via wartel itu :D
Kalau saya mesti bawa batreai cadangan jika mau pergi. Itupun di rumah harus udah di-charge sampe penuh.
Telepon umum, yang meskipun kini telah disediakan menggunakan kartu, jarang, jika tak boleh dikatakan tak pernah disentuh orang, seperti yang disediakan telkom di sekolah kami. Masyarakat lebih menyukai menggunakan hp. Dan, barangkali karena itu, kini, telepon umum yang telah rusak tak diperhatikan lagi secara serius oleh yang berwenang.
Salam kekerabatan.
Telepon umu kayaknya menjadi sejarah …
Jaman kuliah saya bahkan telfon pacar di telfon umum. Kebetulan dekat tempat kos gak ada yang pake. Saya koleksi uang receh, demi bertelfon lama-lama dengany :D
Pelajaran lain selain baterei..kamu tidak boleh lagi mengabaikan “pesan” atau peringatan. :D
Telepon umun di sini makin jarang terlihat. Begitu di dekat rumahku ada telepon umum, anak-anakku yg masih kecil-kecil itu takjub..halah..jadi mau nyobain.
hiii…aku juga banyak pengalaman soal telepon umum…tapi yah jarang yang berbekas…
Ini bukti bahwa pemikiran yang disimpan dan dipercayai sekian lama bisa jadi penghalang untuk berubah. Dlm hal ini berubah untuk mau pake telepon umum..
Untung akhirnya keengganan itu runtuh juga yah :)
tapi sekarang udah cukup banyak telpon umum yang diperbaiki.
ya meskipun sudah tertebak beberapa bulan atau bahkan beberapa minggu kemudian bakal rusak lagi, tapi seengganya telpon umum termasuk salah satu sejarah fenomena telpon yang ada di Indonesia
hehe
Tragis juga pengalaman masa lalumu dengan telepon umum ya Don, sampai ngelap u**l segala :D
Aku sendiri jarang memakai telepon umum. Dulu, yang kuingat adalah, kalau kita mau interlokal, kita harus datang ke kantor Telkom di Kotabaru, ndaftar, dan antri. Antrinya bisa berjam-jam lho! Bener-bener waktu itu interlokal adalah barang mewah yang hanya kita pakai untuk mengabarkan berita yang penting …
Kalau membandingkan dengan sekarang, era handphone canggih, sungguh aku geleng-geleng kepala :)
Ini juga jadi pelajaran buat saya… :(
Periksa batere hape sebelum perjalanan.. :)
Telpon umumnya bisa buat kirim SMS juga loh :D Taunya juga dulu gara2 kepepet abis pulsa hehehe
usaha Wartel ku juga juga sepi sekarang… ^_^
Telpon umum bisa buat lokal thok ato lain-lain kang…? Interlokal, HP, ato bahkan overseas misalnya..?