Kini aku lebih banyak mengonsumsi teh ketimbang kopi.
Kalau mau ditarik panjang ke belakang, aku sebenarnya tak punya tradisi ngopi. Sejak kecil aku lebih dikenalkan ke teh manis di pagi hari oleh Mama.?Ia menyiapkan sendiri secangkir teh celup manis beserta sarapanku, roti tangkup telur ceplok setengah matang.
Setiap hendak ngopi, mereka selalu memperingatkanku supaya tidak mengonsumsinya karena takut jantungan dan susah tidur. Tapi setelah akhirnya aku mendeklarasikan bahwa aku seorang perokok saat aku duduk di kelas 2 SMP, mereka tak bisa mencegahku lagi untuk ngopi dan… merokok hahahaha.
Saat Mama dan Papa mengirimkanku untuk bersekolah di Jogja, 1993, kebiasan itu berlanjut, setiap pagi aku membeli teh panas manis untuk menemani sarapanku. Siangnya pun demikian, juga malamnya. Ngopi hanya kadang-kadang. Kalau kawan-kawan selalu ngopi?kuat-kuat saat menjelang ujian supaya bisa melek hingga larut malam, aku tak demikian. Kopi tak pernah berhasil membuatku melek kecuali rokok dan minuman penambah energi. Jadi, ngopi betul-betul hanya kadang-kadang.
Baru ketika Jogja kebanjiran coffeeshop, sekitar awal tahun 2000-an, aku berkenalan dengan kopi yang bukan kopi sachetan. Hampir setiap malam aku ngopi tapi sebenarnya itupun hanya itu pelengkap suasana saja. Bertemu kawan dan ngobrol sejatinya adalah yang terutama,?artinya, kalau nggak ngopi juga nggak masalah.
Pindah ke Australia, mau-tak-mau aku masuk lebih dalam ke dunia per-kopi-an.
Australia adalah surganya coffeeshop yang non-brand besar seperti Starbucks (hanya ada beberapa outlet Starbucks di sini). Mereka menjual kopi secara mandiri di jalan-jalan hampir di semua suburb. Jumlah mereka amat banyak dan uniknya masing-masing
memiliki pelanggan die hard.
Sehari aku ngopi pernah sampai tiga-empat gelas, kalau nggak flat white ya latte, selalu seperti itu. Apalagi saat aku bekerja di sebuah kantor telekomunikasi kedua terbesar di Australia dimana di dalam kampusnya terdapat tujuh kedai kopi, budaya ngopiku
luar biasa meningkat dan semeningkat pula pengeluaranku untuk membeli cangkir demi cangkirnya.
Tapi makin kemari aku merasa semakin tak mampu untuk mengonsumsi campuran kopi dan susu. Ada rasa eneg dan amat kenyang kalau harus sampai dua kali minum kopi susu dalam ramuan flat white maupun latte. Sementara untuk beralih ke long black
(di Indonesia lebih dikenal sebagai americano) aku tak biasa.
Jadwal ngopiku kini hanya dua cangkir saja. Cangkir pertama adalah sebelum aku berangkat kerja, aku menyeduh kopi menggunakan mesin espresso-ku, lalu cangkir kedua adalah selepas stand-up meeting sekitar jam 10 pagi yang kubeli di coffee shop dekat kantor.

cangkir teh-ku. cangkir ini berbahan baku keramik dari negeri cina, katanya bikin rasa teh makin nendang! katanya…
Sore harinya, jika nggak pengen banget aku nggak ngopi. Aku lebih nyaman dengan teh baik itu teh celup maupun yang masih berupa daun dan rempah.
Dalam sehari aku bisa menyeduh teh hingga tiga-empat kali.
Cangkir teh pertama adalah sebelum snack siang, cangkir kedua setelah makan siang sekitar jam 3 sore. Cangkir ketiga jam 5 sore lalu cangkir terakhir adalah malam menjelang tidur.
Aku suka earl grey,?kadang green tea. Kalau udara sedang dingin, aku memilih teh yang ada campuran jahe-nya lalu disajikan dengan madu bukannya gula karena aku sudah tak mengonsumsi gula sejak beberapa tahun terakhir.
Selain teh dan kopi aku juga mengonsumsi anggur merah (red wine) dalam takaran kecil setiap malam sekadar untuk relaksasi dan konon baik juga untuk kesehatan.
Selebihnya? Aku menggelontor tubuhku dengan air putih alias H2O?banyak-banyak-banyak dan banyak.
Bagaimana dengan kalian? Jangan pameri aku dengan wedang ronde, sekoteng atau wedang uwuh ya… itu cuma bikin aku ngiri aja!
0 Komentar