Sebagai anak yang dibesarkan dalam rahim waktu 90an, Tamiya adalah mainan yang menemaniku dan banyak anak-anak seusia di awal era emas itu. Bahkan waktu duduk di bangku SMPN 1 Kebumen (1990 – 1993), pernah ada masanya hidup bagiku hanya diisi dengan tamiya dan bersekolah. Yang terakhir kusebut itupun hanya sekadar basa-basi karena intinya tetap ngobrol dengan teman untuk membahas Tamiya, onderdil-onderdilnya serta cara memodifikasinya.

Tamiya sebenarnya adalah nama sebuah perusahaan Jepang yang fokus di bidang hobby didirikan oleh Yoshio Tamiya pada 1946. Tamiya yang kusebut di atas dan di sekujur tulisan ini mengacu pada salah satu produk Tamiya berupa replika mobil balap yang memerlukan proses perakitan sebelum bisa dimainkan. Tamiya digerakkan oleh batu batere yang memutar dinamo. Dinamo memutar beberapa mekanik plastik yang terhubung ke empat roda makanya seri produk tersebut diberi nama 4WD, 4 wheel drive.
Meski diproduksi sejak 1982, replika mobil baru populer di Indonesia di awal 1990an. Kemunculannya didukung serial film televisi Dash Yonkuro yang dulu diputar setiap minggu pagi.
Keasyikan bermain Tamiya sebenarnya tak hanya saat merakit rangka dan bodi di awal saja. Bagaimana kita memodifikasi supaya menang ketika diadu di lintas pacuan adalah rabbit hole yang tak pernah ada akhirnya. Waktu itu, hampir setiap pusat perbelanjaan dapat ditemukan ‘lintasan tamiya’ dan perlombaan yang digelar nyaris setiap hari minggu.
Modifikasi tamiya menyangkut hampir segala aspek.
Supaya melaju lebih kencang, dinamo mobil harus diganti dengan yang lebih kencang putarannya. Kalau mobil sudah kencang PR selanjutnya adalah bagaimana supaya tidak terpental ketika menikung di kelokan. Untuk itu kita perlu memodifikasi bemper depan, sayap serta akar (bemper belakang). Tak lupa roda dan ban diganti supaya lebih stabil.
Bagaimana pula ketika mobil melewati fly over (jalan layang)? Jika tidak ingin melayang dan keluar lintasan kita harus mengakalinya dengan memasang pemberat dari timbal yang harus benar-benar kita perhitungkan supaya fungsinya berjalan sebagaimana mestinya. Tapi bagaimana kalau semua aksesoris itu malah membuat mobil tidak maksimal? Ya dikulik! Ya dimodifikasi! Disitulah kenikmatannya bermain Tamiya!
Beruntung… sekali lagi beruntung hobi itu tak berumur panjang! Setelah banyak rupiah terbuang, aku mengakhiri hobi Tamiya ketika hendak memutuskan pindah ke Jogja untuk memulai studi di SMA Kolese De Britto Yogyakarta, 1993.
Lima belas tahun berikutnya, 2008, ketika hendak memutuskan meninggalkan jogja untuk pindah ke Sydney, Australia, ada seorang kawan menawariku untuk membeli mobil Tamiya Super Astute Jr. masih dalam keadaan tersegel. Atas nama kenangan, akupun membelinya.
Kembali terjun dalam rabbit hole tentang modifikasi Tamiya yang tak berkesudahan? Tentu tidak! Keledai pun tak jatuh lebih dari sekali di lubang yang sama katanya.
Mobil kurakit dan kupasang sebagai hiasan sebelah-menyebelah di meja kerja dengan mainan kapal ‘othok-othok’ yang juga akan kuulas minggu depan.
Bagiku, keduanya, adalah saksi bagaimana aku bertumbuh dalam masa anak-anak dan remaja yang menyenangkan dan sangat layak untuk dikenang. Menuliskan dan memotret lalu mempublikasikannya di sini adalah salah satu usahaku untuk memperpanjang kenangan itu…

Wah saya juga suka astute..selain itu dulu saya juga suka dash 1, avante, egress…sekarang di sini ada yang lomba classic mini 4wd..style2 90an..