Pernahkah kamu merasa tiba-tiba kehilangan orientasi tentang tempat dimana kamu saat ini tinggal?
Semacam kamu sedang berpetualang ke gunung, ketiduran di antara rimbun hutannya lantas begitu bangun kamu bertanya dengan bingung “Dimana aku sekarang berada?”
Hal seperti itu terjadi padaku pada hari keduaku di Sydney, 2 November 2008 kemarin.
Setelah tidur lebih dari 11 jam sejak pukul 12 malam, begitu terbangun aku langsung bertanya “Kita ada dimana sekarang?” Tapi tak ada jawaban selain ranting pohon yang melambai-lambai di balik jendela berkelambu di kamarku. Tak seberapa lama kemudian terlebih sesudah melongok di sampingku istri masih terlelap, sadarlah aku bahwa aku telah berada pada rel pilihan hidupku, Sydney.
Lalu segera saja aku bergegas bangun dan mempersiapkan hari liburan terakhir istriku itu dengan sebaik mungkin. Ya, Joyce keesokan harinya sudah harus masuk kantor lagi setelah sebulan berlibur ke Indonesia.
Sebenarnya ada banyak hal yang rencananya mau kami lakukan hari itu. Mulai dari menjemput Simba lalu ke Gereja dan pergi ke rumah Paul dan Rinda hingga malam menjelang. Tapi apa mau dikata, sementara kami bangun baru sekitar pukul 11.00 am padahal jadwal misa di gereja adalah saat itu juga. Maka setelah meminta maaf kepada Tuhan yang tak pernah kasat mata itu, kami berdua pun bersiap menjemput Simba di boarding house-nya.
Meski letaknya yang tak terlalu jauh dari rumah, kami memutuskan untuk menggunakan mobil mengingat polah Simba yang pastinya akan tak keruan excited-nya karena baru dilepas setelah sebulan lamanya “terpenjara” sehingga sangat rawan lepas seandainya kami jemput dengan berjalan kaki.
Usai menyelesaikan tetek bengek urusan administrasi serta membayar cukup mahal ongkos perawatan selama sebulan, Simba pun resmi dikeluarkan dari Castle Hill Veteniary Hospital. Sekilas dari penampilan Simba agak sedikit berbeda dibanding dengan yang pernah saya lihat enam bulan yang lampau ketika pertama kali aku datang kemari.
Ia dulu agak sedikit lebih gemuk dengan bulu yang gondrong, nyaris menutupi seluruh wajah dan tubuhnya. Tapi kali ini ia tampak sedikit lebih singset dengan bulu yang dipendekkan nyaris setengah senti panjangnya.
Lalu akupun iseng bertanya pada istriku “Simba mau kamu masukin army? Kok cepak dan singset gitu?”
“Hey! Enak aja komentar! Simba dibuat kurusan soalnya kata dokter dia kegemukan…”
“Lha terus kenapa harus cepak juga?”
“Kan sbentar lagi summer, kasian dia kalau masih berbulu lebat pasti kepanasan..”
Akupun hanya manggut-manggut sambil menunduk mengelus-elus si Simba yang terus berontak kesana kemari.
Selanjutnya kami segera pulang ke rumah sementara waktu telah menunjukkan pukul 12 lebih dan suhu belum juga beranjak dari angka 21 derajat celcius. Sesampainya di rumah, Simba langsung kami lepas begitu saja di kebun belakang. Selayaknya anjing rumahan yang lama dibawa pergi, Simba pun mulai mengendus ke sana kemari ke tiap sudut pekarangan seperti meyakinkan bahwa kawasan itu tetap menjadi “jajahannya”.
Ah kalau sedang seperti itu jadi ingat Ellen dan Pluto, dua anjing peliharaa orang tuaku di Klaten yang kerap seperti itu ketika pintu ke pekarangan terbuka untuknya.
Dua jam lebih kami habiskan bercengkrama dengan Simba. Joyce mengajariku cara memberi makan padanya, beberapa command yang bisa membuat Simba melakukan hal-hal kecil seperti duduk, berdiri, bersalaman, berak dan kencing. Tak perlu waktu lagi aku bahkan sekarang sanggup berkata bahwa Simba adalah anjing yang sangat lucu dan bersahabat, yang meski tak bisa menggantikan sosok Pluto dan Ellen seutuhnya, tapi setidaknya ia cukup merepresentasikan dua anjing teckelku di Klaten van Java itu.
Sekitar pukul 03.00 pm, aku dan Joyce bergegas kembali ke mobil untuk melaju ke rumah Rinda dan Paul.
Mereka berdua adalah sepasang suami istri berkebangsaan Indonesia yang telah cukup lama tinggal di Sydney.
Belum lama ini, kedua sahabat Joyce itu baru saja dianugerahi anak bernama Geri yang umurnya belum sampai tiga bulan.
Selama perjalanan ke rumahnya aku sangat excited!
Bagaimanapun juga dan meski aku baru dua hari di Sydney, berjumpa dengan sesama Indonesian di perantauan adalah satu suka cita yang luar biasa. Tak sampai satu jam di jalan kamipun tiba di rumah Rinda dan Paul. Rumah mereka tergolong kecil akan tetapi sangat menyenangkan untuk tinggal di dalamnya karena selain bersih dan apik, di seklilingnya ditumbuhi tanaman-tanaman menjalar yang rindang dan menyejukkan.
Di sana telah pula berada Jaya dan Irna, sepasang suami istri yang Indonesian juga dan merupakan sahabat Joyce. Bersama mereka semua aku tak terlalu canggung lagi karena selain kami telah pernah bertemu sebelumnya pada enam bulan lalu, bahkan khusus untuk Irna dan Jaya, selama sebulan yang lalu di Jakarta serta Jogja, kami selalu bersama-sama.
Keakraban khas Indonesia lantas terjalin di sana.
Maksudnya? Ya, segala hal yang kemarin dulu selalu kulakukan pun kulakukan di sana.
Mulai menggosip, main game, genjrengan gitar hingga berkaraoke lagu-lagu Indonesia kami lakukan ditemani jajanan yang tak kalah Indonesia-nya yaitu rujak mangga dan bengkoang.
Tak terasa tiga jam lamanya kami berada di sana, dan kamipun berpamitan.
Joyce dan aku mengantarkan Irna dan Jaya ke apartmentnya yang terletak di city.
Akan tetapi sebelum mengantarkan, kami berempat sepakat untuk santap malam dulu di Fajar, sebuah restaurant penjual makanan bercita rasa Indonesia.
Di rumah makan yang suasana dan nuansanya sangat Indonesia itu aku memesan nasi goreng spesial seafood. Sementara Joyce memesan nasi goreng spesial sapi, Jaya memesan Cha Bhun dan Irna memilih menyantap Kwee Tiau Urat Sapi.
Wah yang namanya makan masakan Indonesia di perantauan itu, lidah memang tidak boleh berharap terlalu banyak. Jangan berharap nasi goreng bikinannya itu sama dengan nasi goreng Pak Teguh Beringharjo yang nyamleng ataupun Nasi Goreng Kambing khas Kotabaru Yogyakarta, tapi setidaknya aromanya… baunya saja sudah cukup melepas kangen terhadap negeri Ibu Pertiwi, itu saja dulu!
Tak terasa waktu tinggal menyisakan beberapa jam saja sebelum Senin datang.
Kamipun bergegas pergi dan melesat ke city menuju apartment milik Irna dan Jaya.
Jalanan di city masihlah ramai, meski toko-toko kebanyakan tutup pukul 06.00 pm tapi night club dan restaurant ada juga yang masih buka hingga pukul 08.30 pm saat kami lewati.
Selepas Irna dan Jaya turun dan masuk ke apartmentnya, menyisakan kami berdua di dalam mobil saja.
Aku yang belum boleh menyetir karena belum memiliki SIM Australia begitu menikmati pemandangan city malam itu. Bersama Joyce aku mengobrolkan banyak hal tentang masa-masa yang sudah lewat maupun setumpuk rencana yang menanti di depan sana.
City terlewati dan sampailah kami di highway menuju ke rumah.
Keadaan sekitar begitu temaram untuk tidak dikatakan gelap sementara mobil yang berlalu lalang hanya tinggal satu dua saja. Ketika pembicaraan sudah habis, kamipun membiarkan sepi menguasai keadaan.
“Sepi ya Hon? Kamu bakalan kerasan di tempat seperti ini?”
Joyce mendadak bertanya seperti itu. Seulas senyum terhias di bibirnya.
Aku terdiam, hanya tersenyum dengan mata yang nanar menerawang menangkap ufuk yang telah berlalu di tepian barat. Ah sekonyong-konyong aku seperti sedang berada di tengah riuh rendah suara andhong ditarik kuda di Malioboro sana…
Sekian untuk hari kedua!
Hmm… menangkap kerinduan disini… mas DV, tulisanmu selalu bisa memainkan emosi yang baca! Pengen bisa nulis seperti ini.
Dan tadi pagi saya mis-orientasi dan waktu. Saya lupa, dimana, dan hari apa, ingatnya masih minggu pagi… apa karena badan terlalu lelah?
Hehehe, saya pun sedang belajar Mbak Yoga. Satu hal, sebisa mungkin saya selalu melibatkan hati dalam setiap huruf yang tertulis.
Makasih apresiasinya!
Lu jaoh2 ke sydney cuman ngegosip sama genjreng2 gitar? Elah Don, disini juga bisa *ahuhuhuhu*
*komen gak penting*
Ahuhuhu, bedanya kalau di sini gw genjreng2 bisa dapet fans baru, kalau di Indo loe lagi loe lagi ;)
Meski ngga penting, komen loe teteup gw bales.:D
eh boleh nyetir kok mas tapi minta surat dulu dari konsulat…cuma enakan baca dulu buku or download panduan nyetir dari RTA…
Fajar restaurant di mana ya?
Fajar Restaurant di deket UNSW.
Chan, aku kirim email dan off msg rada penting ke kamu.
Respons dunks!
Seperti yang dikatakan Yoga….saya menangkap kesenduan di tulisanmu. Nggak apa-apa, memang semua harus diawali, nanti lama-lama akan terbiasa.
Btw, up date blog nya jalan terus…jangan-jangan sudah seperti rumusanku…
produktif ngeblog = menganggur, atau
Produktif = stres
Hehehe
The last one, Ibu… stressss hahahahaha….
Doakan kami, selalu!
wah tidak ada foto resto fajarnya?
Di Tokyo resto Indonesia juga sedikit, dan tentunya tidak bisa diharapkan rasanya. Kecuali kita masak sendiri, cukuplah untuk memuaskan rasa kangen pada tanah air.
EM
Mungkin karena di Aussie orang Indo cukup banyak dan lagipula bahan bakunya juga mayan gampang ditemuin so masakan di sini enak-enak :)
Resto Fajar, Kenanga, Ayam Goreng Jakarta dan yang lainnya itu enak-enak..
Malah catering langgananku pun rasanya sangat Indo sekali.
Serasa di rumah heheh :)