Apakah langit..Memang ada diatas kita
Apakah langit..Memang biru biru warnanya
Apakah langit..Memang benar-benar adanya
(Nonsens – Dewa19)
Akhir Desember 2010.
Bersama keluarga, mertua dan kakak ipar beserta keluarganya, aku pergi berlibur ke Maccau, tiga hari lamanya. Karena singkatnya kunjungan, tak banyak yang bisa kami kunjungi selain reruntuhan gereja Santo Paulus, dan Venettian, casino resort yang terletak di distrik Cotai (Cotai Strip) kawasan yang memang diproyeksikan untuk bisnis kasino dan wisata terletak agak sedikit di luar kota.
…siapa yang tahu warna biru langit yang sebenar-benarnya?
Tapi jangan salah sangka, kami ke Venettian bukan untuk berjudi.
Ada banyak spot yang tak kalah menarik ketimbang mempertaruhkan uang di meja judi seperti misalnya San Luca Canal, saluran air buatan yang suasananya konon dikondisikan mirip kanal-kanal di Venesia, Italia. Di situ kalian bisa menyewa perahu lengkap dengan jurumudinya yang mengenakan pakaian dalam style yang juga Italia dan mereka tak hanya pandai mengemudikan kapal saja tapi juga pintar bernyanyi. Jadi bayangkanlah, kalian duduk berdua bersama kekasih di atas kapal ditemani jurumudi yang mendayung kapal pelan-pelan sambil bernyanyi.. plus bonus ditonton orang-orang di sekitar kanal :) Mau? Saya sih ogah! Bonusnya itu yang ngga banget :)
Totalitas pengelola dalam menghadirkan nuansa Venesia di Venettian toh tak hanya berhenti di situ. Untuk lebih menguatkan kesan ‘alami’, San Luca Canal yang berada di dalam ruangan (indoor) itu dihadirkan tiruan langit pada langit-langit atap gedung. Menurutku, inilah bagian yang paling menarik ketimbang bagian lainnya. Keterpikatanku toh berdasar karena orang bisa dengan mudah meniru membangun kanal, menghadirkan boat dan mempekerjakan jurumudi-jurumudi nan stylish di atas, tapi perkara langit… orang meniru membuat langit sebegitu nyata seperti yang ada di Venettian adalah “sesuatu”. Saking ‘alami’-nya, rasaku, kalau kita tak benar-benar memperhatikannya secara seksama niscaya kita akan merasa bahwa kita memang benar-benar ada di bawah langit yang sesungguhnya.
Sempat terbersit tanya, lalu apa yang membuat ‘langit’ itu tampak alami? Selain permukaan langit-langit yang dibuat melengkung, dan pencahayaan yang pas, menurutku yang terutama justru karena warna biru yang dipilih untuk menggambar langit yang terasa begitu nyata.
Sepertinya, proses pemilihan dan pencarian referensi tentang warna biru seperti apa yang harus ditetapkan sebagai warna ‘langit’ adalah proses yang paling menentukan ketimbang proses lainnya. Persoalannya barangkali adalah, siapa yang tahu warna biru langit yang sebenar-benarnya? Ada sekian banyak warna biru yang kita kenal, adakah di sana salah satunya? Kalau ada lalu yang mana, kalau tak ada lantas warna biru seperti apalagi yang perlu diadakan untuk mendefinisikan biru langit yang sejati dan yang terakhir, siapa yang berani mendefinisikannya?
Yang mencoba mereka-reka barangkali banyak termasuk mereka yang lantas memaksakan diri untuk menganggap miliknya sebagai warna biru yang asli meski untuk itu mereka harus pula ‘bertarung’ dengan keyakinannya yang juga tak kokoh atas hal ini.
“…kita lantas mengenal agama yang menghadirkan tuhan yang tak kelihatan dan seperti tak pernah diceritakan keberatan untuk kita beri jabatan ‘berat’ sebagai pencipta alam jagad ini.”
Perkara alam sepertinya memang akan selamanya seperti itu hingga alam ini berlalu atau setidaknya hingga manusia tak ada sehingga tak ada lagi yang mempergunjingkannya.
Ia terlalu luas untuk dikuasai meski sebenarnya tetap memiliki batas. Oleh karena itu pula barangkali manusia lalu mengembangkan tafsir; suatu pedoman berbasis teori yang ditangkap melalui ciri-ciri, bukan keseluruhan luas pengetahuan terhadap sesuatu itu sendiri. Tafsir tentang langit, tafsir tentang luar angkasa, tafsir bumi dan banyak tafsir lainnya termasuk tafsir yang mengatakan bahwa alam ini pasti diciptakan dan bukannya sesuatu yang sudah ada dengan sendirinya.
Untuk yang terakhir, kita lantas mengenal agama yang menghadirkan tuhan yang tak kelihatan dan seperti tak pernah diceritakan keberatan untuk kita beri jabatan ‘berat’ sebagai pencipta alam jagad ini. Sama halnya dengan tafsir-tafsir yang lain, orang lantas mempergunjingkan tafsir agama mana yang paling benar meski nyaris semuanya selalu berdalih yang paling benar seraya menganggap tuhan yang mereka maksud adlaah tuhan yang tunggal dan esa. Padahal, jika kita kembali ke persoalan kebenaran yang hakiki, bagaimana mungkin kita bisa tahu kebenaran tentang sesuatu yang lebih besar dan bahkan konon yang terbesar kalau perkara warna langit saja kita tetap jauh dari ketetapan? Bukankah tak ada satupun yang tahu karena tak ada satupun juga yang mampu melihat keluasan hal yang maha luas yang bernama tuhan itu.
Oleh karenanya, ketika pada suatu sore di sebuah siaran televisi luar angkasa ada seorang kepala pemerintahan provinsi di sebuah negara nan indah di sebuah planet yang jauh dari tata surya ini mengabarkan bahwa secara formal ia melarang sebuah kelompok tertentu untuk mempercayai tafsir mereka hanya karena ia anggap tafsiran itu tak pas dan cenderung merusak tafsir yang dianut pribadinya…. ah betapa dangkal kedalaman otak dan hatinya dalam menyikapi perbedaan yang ada.
Ia lupa bahwa tafsir demi tafsir yang muncul dan berbeda-beda itu sebenarnya tak kan meremukredamkan tafsir lainnya selama ia dibebatnya menggunakan hati karena justru bukankah dari keragaman tafsir itulah tangan kita seperti menggapai-gapai kebenaran hakiki yang sebenarnya tak kan pernah tergapai itu?
Aku berharap pejabat itu tadi berumur panjang, memiliki uang dan segera bisa berkunjung ke bumi.
Sesampainya di sini, ia bisa belajar pada Maccau, pada Venettian. Karena di sana, tak semua ruangan memiliki atap yang sama sehingga kalaupun ia tak setuju denganku tentang betapa ‘alami’ nya langit tiruan yang dihadirkan di atas San Luca, ia bisa pindah ke ruang-ruang tertentu yang tak langsung beratapkan ‘langit’ Venettian dan tenggelam larut dalam hiburan lainnya. Kalaupun pada akhirnya sungguh-sungguh tak kerasan, ia juga diperbolehkannya keluar dari pintu keluar dengan seorang pemudi Cina berkaki jenjang, bertubuh seksi serta berparas cantik yang dengan tersenyum mengatakan, “Thanks for your coming! See you next time!” dan bukannya bermata merah dan marah mengutuk “Kafir! Keluar!”
Aku sih gpp klo cuma ditonton. Kan kitanya gak ngapa2in kan hehehe… cuma dinyanyiin saja.
Don, fotonya mana? Tidak boleh ambil foto ya di dalam?
Foto sengaja tidak kupasang karena aku memang sedang tidak ingin mengekspos langitnya.
Langit Venettian hanya kupake untuk penyampaian pesan :)
Langit itu biru karena pantulan laut ataukah langit yang memantulkan birunya ke laut?
Entahlah.. :)
Tidak asal menafsirkan ya mas? pejabat yang keras dan hanya menasfir apa yang dia tafsir tanpa mau mendengar apa kata orang pasti ujung-ujungnya teriak seperti kalimat terahir :D Kafir! Keluar!
Tepat sekali!
Pengen liat fotonya, foto ‘langit’ itu..
Ke sana aja, Sob :)
Satir! Keren :)
Sama ama kak Zee, aku gpp cuman ditonton doank mah. Gak peduli omongan orang, PDA pun boleh. Eh? :))
PDA ki opo? Mbok BB or iPhone aja :)
how nice. kebenaran hanya terungkap pada akhirnya. kalo ngga mengganggu, kenapa dilarang? biarkan saja bebas kan?
Bebas.. eh betul :)
pengen liat pak mas donny foto2 disana, dari cerita diatas bener2 menarik kayaknya… :D
O ya?
fotonya mana, pak?
di baskom :)
yaahh..begitulah. orang cenderung menganggap apa yang diyakininya paling benar, dan orang lain salah. padahal belum tentu juga to? sing penting kiy kelakuane..mo dia percaya ini kek, itu kek….monggow…sing penting ora ganggu wong liwo, rukun, tentram, damai.
btw, aku pengen byianget delok langit buatan e kuwi, mas. mbok diupload poto ne :)
Yak tul! :)
Awal baca posting ini, aku kira kisah perjalanan. Eee … mburi-mburine kok jebul mikir tentang Tuhan dan agama yang susah banget …
Aku setuju, tafsir tentang agama, khususnya kitab suci, bisa berbeda-beda. Tergantung pada keluasan pengetahuan dan pemahaman penafsirnya atas apa yang ia tafsirkan, bahkan juga tergantung pada zaman dan tempat dimana dia hidup. Tetapi, tetap ada ‘batas’ di mana perbedaan tafsir itu bisa ‘diterima akal’ (bisa sama-sama benar), atau memang sudah keluar dari ‘batas’ itu. Khusus tentang menafsirkan isi kitab suci, kita tidak boleh menafsirkan hanya ayat per ayat, karena ada ayat-ayat yang bersifat kontekstual. Kita harus menafsirkan ayat-ayat dengan mencari hubungannya dengan ayat-ayat yang lain. Nah, ini hanya bisa dilakukan oleh penafsir yang benar-benar memahami bahasa yang dipergunakan dalam kitab suci tersebut, faham konteks dan bukan hanya teks … (weleh, komen ku kok dadi koyo ngene? :D )
Yo wis, sing jelas aku juga nggak setuju ada orang/kelompok yang menghancurkan kelompok lain karena alasan perbedaan tafsir. Kecuali kelompok yang beda itu mengganggu atau mengancam …
Walau tulisanmu ini jane serius…tapi sebenarnya aku pengin lihat langit Venetian ang kok gambarkan. Punya fotonya..mbok ya di up load.
Soal tafsir, setiap manusia memang berbeda-beda …..tergantung pemahamannya masing-masing, namun mestinya hidup saling menghormati.
langit = cerah
hadeh abot..abot, tur mocone lewat hape, gek ra klebon lapen sisan..