Tabur tuai

26 Mar 2012 | 150 kata, Agama, Cetusan

Ketika kita merasa disakiti orang lain dan merasa tak sanggup melawan, hal yang sering kita lakukan adalah menyumpah serapah; berharap tuhan membalas tindakannya dengan hal yang setimpal di masa yang tak terlampau lama di depan.

“Tuhan tak pernah tidur!” begitu penutupnya.
Atau kalau kata Soegiarso Soerojo, Siapa menabur angin, akan menuai badai, dalam bukunya.

Tapi, sebelum menyumpah demikian, pernahkah kita berpikir, jangan-jangan justru kita disakiti karena kita terlebih dulu menyakiti hati orang di masa lalu?
Jangan-jangan kita telah menabur angin sejak dulu dan sekarang adalah saatnya kita harus menuai badai?

Karena kalau demikian, atas dasar ‘angin’ apalagi maka kita meminta tuhan untuk menurunkan tuaian badai baginya, musuh kita, di masa yang akan datang?

Sebarluaskan!

12 Komentar

  1. karma mungkin saja ada.. jadi lebih baik kita instropeksi diri saja…

    Balas
  2. don, aku pernah berpikir mirip-mirip seperti itu. hehe. kadang aku merasa aku yang benar. tapi yah … kadang aku juga masih bingung menentukan mana yang benar dan mana yang salah. (ah, aku kok njur bingung le nulis komentar ki…)

    Balas
  3. maka dari itu pak DV, mari kita “tidak terlalu sakit hati” ketika disakiti, dan jangan pernah “berniat menyakiti” orang lain :)
    karena ya itu tadi, serba rahasia… siapa yang “menabur angin” dan siapa yang “menuai badai” –> apakah kita, atau orang lain?

    Balas
  4. Seperti halnya dalam agama saya mas DV, saya percaya akan yang namanya pembalasan. Boleh jadi kita melakukan sesuatu dimasa lalu terhadap seseorang, dan ada kemungkinan dimasa depan, ada orang lain yang memperlakukan kita sama dengan apa yang kita lakukan.

    Menanam bibit jagung, tidak mungkin hasilnya rambutan mas Donny:)

    Balas
  5. yah .. biar balance.. kita sedang menuai sekaligus ditaburi…PIye? :D

    Balas
  6. mungkinkah kesalahan masa lalu itu dilakukan oleh nenek-moyang kita, yang akhirnya pembalasannya ditimpakan pada kita?

    Di Jepang, kami berbuat baik kepada orang lain, lebih pada “menanam” untuk keturunan kita, bukan langsung untuk kitanya. Karena itulah orang Jepang “memuja” leluhur, karena dipercaya kebaikan yang kita terima saat ini, sebetulnya sudah ditanam oleh nenek moyang sebelumnya kita.
    Ini satu pemikiran yang aku sukai dari Jepang. Bahkan mereka bukan hanya “memuja” leluhur saja, tapi juga alamnya. Alangkah baiknya jika aku mengadaptasi pemikiran itu ditambah “memuja” Tuhan yang kupercaya kan? Lengkap deh ….

    Balas
  7. Lha aku kepikiran begini Om,… pejabat2 yang mendukung kenaikan BBM nantinya menuai apa? kalau cuma tak terpilih dimasa mendatang, sepertinya terlalu enak menebus dosa2 itu.

    Balas
  8. aaahh aku juga sering berfikir seperti ini deh..

    Balas
  9. Betul juga ya mas, jangan2 saat sedang susah sekarang kita sedang menjalani karma kita yang dulu.

    Balas
  10. Sering berkat yang dijanjnikan Tuhan bagi dia belum diterimanya namun diwujudkan/diterima anaknya. Sebaliknya Angin yang di taburnya dituai oleh gererasi berikutnya.

    Balas
  11. Topik yang bagus…jujur, ga pernah kepikir ama gw…bisa aja kan gw yg menyakiti lebih dulu…mulai mikirrrr….hahaha, thanks maz Don!

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.