Sembilan tahun lalu aku menulis posting di blog ini bertajuk, Tentang Jogja yang Semangkin Macet saja dan hari ini aku menulis lagi hal yang kurang lebih sama tapi ?Jogja? kuganti dengan ?Sydney?.
Satu hal yang kuingat betul ketika pertama kali menginjakkan kaki ke Sydney, sembilan tahun silam adalah trafiknya yang sangat lengang.
Waktu itu memang aku membandingkannya dengan Jogja (dan juga Jakarta).
Tapi sekarang, lagi-lagi aku harus membandingkan tapi bukan dengan kota lain tapi dengan trafik kota Sydney sembilan tahun lalu. Hasilnya? Trafik saat ini benar-benar payah!
Separah apa?
Contohnya begini, perjalanan menggunakan mobil dari rumah ke kantor (yang minggu depan akan resmi jadi mantan kantor) yang berjarak 5.2 kilometer, pada jam-jam non-sibuk bisa ditempuh dalam waktu lima sampai sepuluh menit. Tapi pada jam-jam sibuk, paling buruk pernah hingga satu jam karena macetnya trafik yang nggak keruan!
Gila, ya?
Kok bisa sedemikian parahnya?
Biasa lah, kebanyakan orang, kekurangan jalan!
Menurut Peter Phibbs, director of the University of Sydney’s urban planning research institute, the Henry Halloran Trust kepada Sydney Morning Herald, tiada lain penyebabnya adalah melonjaknya populasi Sydney yang tidak diimbangi dengan peningkatan lebar jalan.
Untung pemerintah daerah tidak tinggal diam.?Ruas-ruas jalan terus dilebarkan, aturan-aturan juga dibenahi termasuk pemberlakukan kecepatan maksimum, penyesuaian lampu lalu lintas dan round about tambahan untuk mengatasi kemacetan.
Hal itu disambung dengan peningkatan tarif masuk tol yang berlangsung secara simultan.
Ekstensifikasi jalur kereta api juga digalang besar-besaran dengan penambahan stasiun dan jalur-jalur yang baru yang mampu menjangkau area-area luar dari kota Sydney. Saat ini, beberapa area-area tersebut memang belum terjangkau transport secara layak dan hal itu yang membuat orang yang tinggal di daerah itu banyak memilih menggunakan kendaraan pribadi setiap harinya.
Tapi menurutku ada hal lain yang perlu diperhatikan untuk membuat kemacetan semakin bisa diminimalisir.
Pertama, naikkan pajak kendaraan dan semakin mengetatkan aturan kelayakan kendaraan.
Kenapa? Karena meski kendaraan di sini relatif bisa didapat dengan harga amat terjangkau, tapi kalau pajak dinaikkan tentu akan membuat orang berpikir dua kali saat membeli.
Kedua, pemerintah sebaiknya menurunkan harga tiket transportasi publik. Penggunaan kartu Opal untuk mengupayakan integrasi antara kereta api, bus dan kapal ferry patut diacungi jempol tapi kalau harganya justru dinaikkan secara signifikan, orang lagi-lagi jadi berpikir dua kali, mau pake transportasi publik atau nyetir?
Ketiga, trend pembangunan apartemen di kawasan yang sudah padat harusnya diturunkan. Kenapa? Apartemen mampu memuat jumlah penduduk jauh lebih banyak dari rumah biasa karena pertambahannya bisa dikonsentrasikan pada sebanyak jumlah unit/kamar dan tingkat.
Bayangkan jika satu apartemen terdiri dari 10 tingkat dan tiap tingkat terdiri dari sepuluh unit, maka ada 100 unit baru. Masing-masing unit anggaplah ditempati oleh dua orang dewasa, maka akan ada 200 orang dewasa baru yang membutuhkan mobilisasi tinggi setiap harinya dari dan menuju ke tempat tinggalnya.
Jadi, kalian masih tetep mau niat pindah kemari? Pikirkan sekali lagi.
Jadi semua kota besar memang memiliki masalah ini gak hanya Jakarta :P
Udah paling bener Tokyo, kereta dalam kotanya massif sekali jadi bisa mengurangi ketergantungan warga akan kendaraan roda 4 :)