Surat untuk Susi (Sus, bacalah hanya di saat sela)

3 Sep 2012 | Cetusan

Sus… Susi, ini surat untukmu.?Bacalah ketika sedang ada waktu sela, kalau tak sela ya jangan dibaca.

Baiklah, kita mulai saja.?Uhhmmm, bagaimana kalau kita mulai dari soal bakso, Sus.. Katanya kau kan suka sekali bakso…

Adalah seorang tukang bakso. Suatu waktu tujuh tahun silam ia mendapatkan hidayah untuk tak lagi menjual bakso ber-boraks dan tak lagi pula mau menggunakan penyedap rasa ber-MSG yang bisa dipakai untuk menggurihkan kuah baksonya.

Yah, kamu kan tentu tahu betapa bahayanya borak dan MSG meski sebagai pecinta bakso, aku yakin kau, kita tepatnya karena aku suka juga suka bakso, tak pernah ragu untuk menyantap apapun bumbu bakso itu yang penting enak! Benar kan, Sus?

Nah, suatu saat datang seorang pelanggan yang hari itu pada akhirnya mengubah cerita hidupnya.

“Pak, bikinkan bakso yang enak ya!” Standard, khas pelanggan lainnya.?Tak sampai sepuluh menit kemudian semangkok bakso kuah panas dihidangkan kepadanya.

Baru secuil bakso dilahap dan sesendok kuah disesap, ia berkomentar, “Bah! Bakso apa ini?! Tolong buatkan saya bakso yang lebih enak!”

Suaranya mengoyak seantero warung baksonya yang sibuk siang itu. Namun demikian, si tukang bakso tak menghiraukannya.

Tapi suara itu kian lama kian menggelegar dan si tukang bakso pun terhenyak ketika nada ‘subversif’ diteriakkannya. “Ketahuilah saudara-saudara.. Si Tukang Bakso ini dulu pernah bisa bikin bakso yang berlipat-lipat lebih enak dan kuah yang jauhh lebih gurih dari yang sekarang tapi kenapa sekarang nggak bisa lagi?!”

Si Tukang Bakso gusar. Ia tak mau drama yang dimainkan pelanggan tadi membubarkan warungnya. Sementara keadaan warungnya meriuh, Ia berpikir keras untuk mengatasi masalah itu.

“Ayo, buatkan juga kami yang enak seperti dulu!” mereka saling berebut berteriak satu sama lain, menggebrak meja, mengangkat kursi dan tentu beradu otot kerongongan untuk membuat kegaduhan.

Nasi hampir menjadi bubur kalau saja si Tukang Bakso akhirnya tak memutuskan untuk menggunakan resep lamanya. Dari balik lemari dapur, dengan sangat terpaksa ia keluarkan borak dan penyedap rasa. Dengan berderai air mata, ia mencampurkan keduanya ke dalam adonan bakso dan kuah. Pikiran dan emosinya terperas-peras mengingat perjalanan ‘hidayah’ selama tujuh tahun dimana ia begitu setia pada janji untuk tak lagi menggunakan keduanya demi dagangan yang lebih bersih dan bermutu.

Setelah semua porsi bakso siap, dengan berat hati, ia menyuruh para pelayanannya untuk mengantarkan ke para pelanggan yang kian brutal berperut lapar!

Tak sampai beberapa menit kemudian, suasana pun tenang!
Para pelanggan tampak berbinar-binar dengan celetukan-celetukan tanda kepuasan meruap ke permukaan.

“Nah! Begini dong baru enak!”
“Nggak nanggung rasanya!”
“Besok bikin yang begini lagi ya!”

Sementara si Tukang Bakso hanya diam.
Ia mengambil nafas dalam-dalam. Di satu sisi ia berhasil mengalahkan hari itu meski di sisi lain pada saat yang bersamaan ia mengutuk hari itu terjadi; hari dimana hidayahnya terakhiri dengan tragis.?Seorang pelayan setia dengan mata teduh menatap ‘bosnya’ sambil berkata menghibur, “Yang penting pelanggan puas, Pak! Bukankah itu hal yang kita cari?”

Yang penting pelanggan puas, Pak! Bukankah itu hal yang kita cari?

Dan pikiran tentang pelayan setia itu mengingatkanku padamu, Sus! Ya, kali ini aku memang ingin bicara soal idealisme dalam bekerja dan kaitannya dengan kepuasan perlanggan.

Idealisme adalah sesuatu yang perlu. Tapi menghasilkan sesuatu yang memuaskan pelanggan adalah sesuatu yang sangat perlu.

Ketika keduanya, bisa berjalan dengan baik, itu adalah hal yang didamba semua orang. Tapi ketika keduanya saling bersinggungan dan bertumbukan, kita ditantang berpikir, mana yang harus didahulukan dan si Tukang Bakso tadi adalah contoh terbaik dari persoalan di atas, Sus.

Menurutku si Tukang Bakso tadi adalah orang yang cerdik!?Ia tahu hingga ke titik mana ia harus mempertahankan idealisme-nya untuk tak menggunakan boraks dan penyedap rasa ber-MSG!

Ia orang yang ‘peka jaman’ sekaligus pedagang nan visioner, Sus!?Kepekaan dan refleks terhadap visi yang baik membuat ia berpikir kalau saja ia terlambat untuk menggunakan boraks dan penyedap rasa ber-MSG, bisnis baksonya bisa terancam karena kepuasan pelanggan akan jatuh ke titik nadir!

Padahal kecerdikan maupun ke-visioner-annya dalam bekerja, hari itu hanya terbatasi dinding yang tipis untuknya tergelincir dalam kenaifan.?Kenapa? Bayangkan jika ia tetap kukuh pada hidayahnya, alih-alih akan semakin dicinta pelanggannya, ia hanya akan jadi barang rongsokan dengan stempel ‘naif’ di dahinya!

Sus… kamu masih membaca surat ini kan?

Kamu masih sela kan? Kalau tidak tutuplah surat ini! Aku tak keberatan untukmu melanjutkan lagi membaca ketika kamu tak sibuk lagi!?Tapi kalau kamu masih sanggup membacanya, bacalah kan kuteruskan penjelasanku ini.

Sus, orang-orang di negaramu belakangan ini semakin mengeluh kenapa engkau tak kunjung mampu menyelesaikan masalah demi masalah yang munculnya bagai cendawan di musim penghujan!

Ah, aku sampai tak sanggup memulainya dari mana, tapi comotlah dari apa yang terjadi dua bulan terakhir ini saja.

Soal dugaan kasus korupsi alat uji SIM, kampanye PILKADA yang berujung-ujung pada SARA, pelemparan bom/granat (atau mercon???) di pos polisi di Solo, masalah carok massal di Sampang hingga penembakan terhadap aparat polisi yang lagi-lagi di Solo…

Mereka, orang-orang itu, letih, Sus!

Mereka sangat berharap kepadamu dan sayangnya mereka adalah klienmu! Kukatakan demikian karena merekalah engkau terpilih dan dari pajak merekalah engkau digaji dan mungkin agak naif kutuliskan di sini, tapi pada merekalah nanti kamu harus mempertanggungjawabkan apapun yang telah kau lakukan selama ini.

Ingat, jarak kenaifan dan kecerdasan itu tak sampai sepelemparan batu lho jaraknya!

Mereka berharap kamu bisa menyelesaikan segala persoalan itu dengan brilian nan cerdas, Sus! Dan di sisi lain tentu kamu juga tak ingin dikenang sebagai pemimpin yang naif kan? Ingat, jarak kenaifan dan kecerdasan itu tak sampai sepelemparan batu lho jaraknya!

Kamu boleh membela diri, “Saya mencoba menyelesaikan permasalahan demi permasalahan dalam koridor yang jelas!” lengkap dengan pidato yang berapi-api dan sorot mata yang tajam meski lelah.

Engkau berharap mereka, para rakyat itu mengerti pembelaanmu, tapi… maaf, pernahkah kamu dengar teriakan mereka sebaliknya yang begitu kecewa dan menganggap kamu terlalu berteori dan beridealis dalam bekerja sementara perut semakin tak kuat menahan lapar, hati semakin terliputi ketakutan dan hidup semakin terpinggirkan karena tertindas, Sus?

Tau kamu, dari sini, aku bisa mendengar suaramu semakin kalah lantang dengan suara mereka, pertanda apa ini Sus?

Sus.. Susi..
Aku semakin merasa bertele-tele menjelaskan ini semua kepadamu tapi dalam bahasa yang lebih singkat, aku ingin bertanya, tak beranikah kau mencoba untuk sedikit mengalahkan ego dan idealismemu?

Berkacalah! Tak ada yang buruk dari caramu kecuali bahwa negaramu terlalu majemuk untuk kau terapkan secara paksa fatsun-fatsun politikmu!

Kenapa tak mencoba untuk menjadi seperti Tukang Bakso yang kuceritakan di atas tadi??Sejenak mencomot resep-resep yang dulu sukses dibawakan pendahulumu lalu coba praktekkan.

Percayalah apa yang kukatakan. Seorang pemimpin memang akan dikenang dari caranya berkuasa, tapi lebih dari itu, seorang pemimpin akan dicintai oleh rakyatnya dari bagaimana cara ia menyenangkan mereka, apapun cara yang dilakukannya.

Aku yakin mereka akan diam, Sus! Mereka akan terpuaskan!?Tau kenapa aku yakin? Mereka itu masih mulut-mulut yang sama yang merasakan ‘kesuksesan’ pendahulumu. Indikatornya mudah kok! Kalau dulu mereka diam kenapa mereka sekarang teriak? Pasti ada satu dan lain hal yang menyebabkan!

Memang benar, Sus… kalau ditilik dari kamus humanisme dan demokrasi yang kau pegang, cara-cara itu kadang memang tak ada pakem yang tertulis di sana.

Tapi, misalnya.. misalnya lho ini… kalau kamu harus menculik, memenjarakan, menghilangkan jejak atau bahkan kalau perlu men-dor beberapa orang kalau memang itu akan membawa solusi yang baik untuk masyarakat banyak, apakah salahmu?

Bawalah dalam rapat dengan bawahanmu, paparkan alasan kuatmu kenapa kamu harus melakukannya dan untuk apa.

Sus… Susi…
Percayalah apa yang kukatakan. Seorang pemimpin memang akan dikenang dari caranya berkuasa, tapi lebih dari itu, seorang pemimpin akan dicintai oleh rakyatnya dari bagaimana cara ia menyenangkan mereka, apapun cara yang dilakukannya.

Nah, kamu pilih yang mana? Kalau aku boleh memilih, aku hanya ingin kau dikenang sebagai seorang pemimpin yang tak naif, Sus!

Sus, Susi… sudahlah! Kusudahi saja suratku yang tak berkesudahan seperti banyak surat yang sudah-sudah!

Segera lipat suratku ini dan kembalilah tidur.
Hari yang panjang menanti padamu besok! Tidurlah yang cukup supaya tak telat lagi dan bisa memulai semua acaramu tepat waktu. Hanya dengan ketepatwaktuan, engkau akan semakin dihargai dan tak ditinggal tidur para pendengar pidatomu, termasuk anak-anak yang tempo hari kau marahi itu…

Sekian Sus… salamku dari selatan khatulistiwa yang mulai menghangat karena musim semi telah tiba…

Sebarluaskan!

12 Komentar

  1. iya mas heran juga, kenapa pemimpin kita kurang integritas kepada rakyat. takut terasing dan menderita kayaknya beliaunya :)
    selamat pagi selamat beraktivitas

    Balas
  2. Saya cuma mau meluruskan aja menurut penelitian-penelitian terakhir MSG tdk berbahaya, berbeda dengan boraks kalo boraks memang berbahaya. Apalagi kalo MSG tsb dikonsumsi dalam jumlah yang wajar. Secara UMUM (kecuali dalam kasus2 khusus) MSG nggak lebih berbahaya daripada lemak dalam bakso/dagingnya itu sendiri :)

    Balas
  3. susi lagi operasi kantong matanya yg makin menggelantung mas, jadinya gak bisa baca2.
    tadi tak intip suratmu langsung dilemparnya ke tong sampah :D

    Balas
  4. wah semoga susi membaca ini dan mengerti ya… malah jangan jangan susi buka pabrik baso tanpa msg & boraks sesuai contoh yang diberikan.. :)

    Balas
  5. Susi lagi mumet. Kalau baca suratmu, barangkali dia jadi depresi. Kalau dia harus dibawa ke psikiater dan mesti minum obat banyak setiap hari, kasihan rakyatnya. Karena uang pajak yang mestinya bisa membuat hidup mereka lebih enak, justru hanya untuk beli obat antidepresan… :((

    Balas
  6. Sudah lama saya ndak pernah liat Susi, setiap liat dia di tivi, saya merasa seperti orang tua yang menelantarkan anaknya. Dia sibuk dengan urusannya sendiri.

    Saya ingin Susi yang dulu, tegas dan bisa menentramkan keadaan.

    Balas
  7. Hola Kang Donny,

    Pas nyoba nyari gambar Munir via Google Chrome, ee… tiba-tiba nyasar di site ini.

    Tapi tetap bersyukur, seenggaknya bisa dapat perspektif baru soal tukang bakso kaitannya dengan model kepemimpinan.

    Mmm.. Sudah dasarnya manusia itu peniru. Kalo aja aksi penolakan boraks dan tuntutan keterbukaan komposisi makanan yang dijual para pedagang digalang abis-abisan oleh massa (pemerintah, media massa, lsm, bahkan pedagang itu sendiri), mungkin pelanggan ndak akan salah kaprah soal enak dan enggak enaknya itu bakso ya, Kang?

    Bagaimanapun, kemanusiaan (memanusiakan manusia) baiknya jadi aspek yang melambari kehidupan kita. Biar kata jaman dulu sembako dijamin ketat, tapi kalo orang ditembakin seenak udel juga omong kosong kan, Kang? Biar kata sekarang orang bebas berpendapat sana-sini, tapi kalo masih ada aja masyarakat yang harus nahan sekarat gara-gara ga bisa berobat kan sama juga bo’ong to, Kang?

    Balas
  8. baca ini baru terkesiap kalau di indonesia masih ada pria bernama susi. aku juga baru ingat kalo sik ‘ono’ koncone susi sing jeneng’e ‘budi’ wakakak… nice post don

    Balas
  9. Seorang pemimpin adalah yang dicintai rakyatnya. Ah, ini seperti pemimpin yg itu ya mas.. hehe

    Balas
  10. iki surat go sebeye to, mas? :P

    Balas
  11. sudah mati nuraninya para petinggi negeri ini mas, tertutup nurani feodal dimana rakyat yang hatus menyembah penguasa bukan sebaliknya dimana pejabat publik yang melayani rakyat.

    Balas
  12. Koyo nonton film komedi nguya nguyu neng ra rerti mangsute hehehehehe salam damai mas don berkah dalem

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.