Hai, Kristiani!
Sehari menjelang Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa, kita dihadapkan pada dua peristiwa besar…
Pertama, peristiwa dibubarkannya acara perayaan kebangkitan rohani di Bandung. Kedua, gempa bumi mengguncang Pidie, Aceh menelan korban jiwa, puluhan banyaknya.
Masing-masing peristiwa itu hadir dengan tantangannya sendiri-sendiri meski mungkin saja keduanya ada sebagai satu kesatuan? Ah, kita tak punya kemampuan untuk berasumsi demikian…
Sayangnya, pembubaran acara keagamaan kristiani oleh oknum yang mengatasnamakan wakil dari umat beragama lain bukanlah yang pertama kita alami. Dan sayangnya lagi, tak ada satupun yang bisa kita kerjakan untuk mencegahnya. Bukan karena kita ini minoritas tapi lebih karena kalau kita melawan, apa bedanya kita dengan mereka yang melawan kita?
Apa yang jadi bagian kaisar serahkanlah pada kaisar dan perkara ini sejatinya perlu kita hunjukkan pada sang kaisar, sang pemegang rezim supaya ia sendiri yang memutuskan mana yang terbaik.
Jadi biarlah ini jadi homework rejim yang berkuasa. Kalau tempo hari ia bisa dengan digdaya berpayung biru datang ke lapangan bergabung dengan begitu banyak umat untuk berdoa bersama, semoga ia juga berani dan legawa untuk datang ke gereja-gereja yang tersingkir dan terusir. Bukan hanya untuk membesarkan hati, tapi lebih daripada itu untuk meyakinkan bahwa rejimnya adalah rejim keadilan yang tak memandang rakyat dari sisi minoritas dan mayoritas karena bukankah keduanya tak ada beda sejatinya?
Mengenai hal kedua tentang gempa, itu justru yang perlu mendapatkan perhatian ekstra.
Begitu banyak korban jiwa dan lebih banyak lagi yang hidup tapi terkena imbas. Mereka butuh perhatian. Tak hanya doa tapi juga dana dan sumbangan material semampunya kita.
Kita boleh terusik saat acara ibadah tapi mereka terusik dari hidup mereka dan bukankah itu lebih utama?
Aku tak bilang supaya kita tak mementingkan doa karena hidup tanpa doa tak ubahnya seperti tubuh tanpa tulang-belulang. Tapi justru ketika kita sudah punya tulang-belulang yang lengkap dan sehat bukankah itu pertanda kita sudah mampu menggerakkan tubuh ini untuk membantu sesama?
Jadi, berhentilah mengaduh karena membuat gaduh itu tak’kan banyak memberi arti. Lebih baik jika kita membantu bahkan saat orang lain berpikir justru kita inilah yang sebenarnya lebih layak dibantu.
Anggaplah apa yang terjadi hari ini dan kemarin sebagai pinjaman cermin dari Yang Kuasa untuk kita mematut diri, pantaskah kita disebut sebagai pengikutNya, Raja Alam Semesta yang penuh kasih dan cinta? Yang tak berpikir tentang diriNya tapi tentang sesama? Yang mencintai musuh dan memaafkan mereka yang mencelakaiNya? Yang menyerahkan pipi sebelah saat pipi yang lain habis digampar?
Salam dari jauh,
DV
0 Komentar