Dear Alvin…

24 Jul 2014 | Cetusan

blog_suratterbuka

Dear Alvin, apakabar?
Semoga surat ini menemuimu dalam keadaan tak kurang sesuatu apapun.

Ide untuk membuat surat terbuka ini mudah ditebak, Vin, datang dari keriaan kampanye Pilpres lalu dimana orang beramai-ramai menulis surat terbuka entah itu lewat facebook maupun blog.

Vin,
aku suka banget acaramu, Just Alvin, yang disiarkan di MetroTV seminggu sekali itu!

Meski tamu-tamu yang kamu hadirkan adalah selebritis, tapi kesan yang muncul dari menonton acaramu itu jauh dari kesan yang kudapat ketika menyaksikan infotainment murahan yang menurutku semakin membosankan.

Istilahnya, kamu berhasil menguak sisi manusia para selebriti sementara barisan infotaintment itu hanya mampu menyorot kebadutannya saja yang penuh artificial.

Tapi tentu surat ini kukirim bukan untuk memberikan pujian saja, Alvin.
Utamanya, aku ingin memberi ide yang semoga cemerlang berdasar pada apa yang kusaksikan di salah satu episode terbarumu yang bertajuk, Sign of Change.

Aku tertarik dengan intro yang kamu bawakan di episode itu (Clip utuh tayangan ini dapat disaksikan di bagian bawah tulisan ini -red).?Aku mencatatnya demikian kira-kira,

Keyakinan adalah suatu yang sakral,
suatu tidak kasat mata tapi mampu dirasakan secara jelas.

Tidak ada yang mampu mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap kebesaran tuhan
dalam agama apapun.

Hati akan bicara jujur terhadap apa yang diyakini
dan jalan menuju kebesaran Tuhan tidak pernah dapat diduga.

Pesanmu itu sungguh menyejukkan, luar biasa!
Apalagi kalau kita menilik kenyataan sekarang ada begitu banyak orang gontok-gontokan membawa-bawa panji agama.

Bintang tamu yang kau hadirkan di episode itupun mengesankan, ada Sandy Tumiwa, Natali Sarah, Jono dan Wahyu serta si cantik Davina.

Aku menangkap ada semangat yang luar biasa dalam memeluk keyakinan para seleb tadi. Mereka yang berasal dari agama lain, datang ke agama yang baru membawa semangat yang menggebu-gebu untuk bersama-sama meyakini kebesaran Tuhan.?Tapi sekali lagi, sebenarnya yang paling harus kusemati apresiasi justru adalah dirimu, Vin!?Kamu berhasil memancing hal-hal ?sakral? tersebut menjadi aktual tapi tetap otentik melalui mereka malam itu.

Beda kelas lah dengan infotainment-infotaintment murahan.?Beberapa kali ketika kupergoki siaran mereka menyiarkan hal yang kurang lebih sama, selebritis yang pindah agama, mereka hanya mampu menarik esensi tingkat rendah seperti misalnya,

?Oh, si artis pindah agama karena pacarnya beragama X!?

Atau,??Oh, si ST itu pindah kembali ke agama asalnya karena terlibat sengketa hutang!?

Jauh, Vin! Kamu unggul jauh dari mereka dan itu adalah kenyataan tak terbantahkan.

Sebagai presenter keren yang sampai diberi spot acara oleh stasiun televisi yang tak kalah kerennya, kuyakin tentu kamu dan tim juga telah melakukan semacam studi kelayakan tentang episode itu termasuk di dalamnya kemungkinan, ?Acara ini kira-kira bakal bikin sembilu nggak ya buat mereka yang ada di agama yang ditinggalkan??

Awalnya aku berpikir ?Iya! Pasti ini bikin luka banyak orang yang agamanya ditinggalin nih!??Tapi aku mencoba berpikir sambil menelaah kata-katamu yang kukutip di atas dan rasanya tak mungkin.

Agama itu kan bukan soal kubu-kubuan.?Interaksi antar-agama juga bukan layaknya interaksi dua capres dalam Pemilu dimana yang lebih banyak dukungannya akan menang. Interaksi antar-agama menurutku justru interaksi antar-pemeluk agama itu sendiri terhadap Tuhan, yang sakral, dan terhadap sesamanya yang lebih bermakna sosial.

Tapi sayangnya sedikit Vin yang memiliki isi benak seperti kita, aku dan kamu yang mampu berpikir sedalam itu.

Ada banyak lain masih menganggap agama itu perkara kubu, perkara menang kalah bedasarkan jumlah angka pemeluk.

Menanggapi kenyataan itu, Vin, aku punya usul bagaimana kalau kamu membuat acara seperti Sign of Change, yang disiarkan setiap mendekati hari-hari besar agama lainnya yang diakui di Indonesia?

Bagaimana kalau nanti menjelang Natal, kamu membuat acara yang sama tapi tentu dengan tema yang agak sedikit berbeda yaitu mengungkap sign of change dari mereka yang pindah agama dari apapun ke Nasrani?

Lalu ketika menjelang hari Galungan, kamu juga bikin acara serupa lagi tentang mereka yang pindah agama dari apapun ke Hindu?

Diulang lagi saat menjelang Waisak. sign of change tentang mereka yang hijrah ke Buddha dan yang terakhir menjelang peringatan Tahun Baru Imlek, geber juga acara yang sama, tentang mereka yang memutuskan pindah ke Kong Hu Cu?

Seru, kan?
Karena itulah Indonesia, Vin.
Memandang Indonesia setidaknya hingga saat ini memang harus memandang pada keutuhannya tanpa terpilah-pilah agama, ras, suku dan golongan.

Memandang Indonesia itu, kalau analoginya guru SD menjelaskan kepada muridnya, seperti memandang kue lapis yang manis.

Kamu tak bisa hanya memakan lapisan tertentu dan nyuekin yang lainnya. Istilah matematisnya barangkali, Indonesia itu harus dipandang sebagai kesatuan integral, bukan parsial.

Mungkin.. ini masih mungkin, ada yang berkomentar menanggapi ideku ini, ?Susah, Bro! Bukan gue-nya yang nggak mau tapi mana ada yang berani ngaku pindah agama??

Tapi, setiap ada yang berkomentar seperti itu, aku berani membawa bukti bahwa setidaknya di hadapanmu, Alvin, orang seperti Sandy Tumiwa, Davina dan kawan-kawan lainnya yang kau datangkan kemarin itu, mereka tampak berani dan tegar dalam mengemukakan keputusannya.

Mungkin, duh ini mungkin lagi, ada yang menimpalinya, ?Yaelah! Beda perkaranya.. dari agama apa ke agama apa, Bro!??

Sedih nggak sih Vin membaca itu barusan??Mereka yang mungkin berkomentar seperti itu barangkali tak menyimak acaramu dan kata-katamu yang kutulis ulang di atas yaitu bahwa tidak ada yang mampu mempengaruhi keyakinan seseorang terhadap kebesaran Tuhan dalam agama apapun? agama apapun!

Untung semua itu baru mungkin karena kuyakin di Indonesia perkara pindah agama itu adalah perkara yang tak perlu dibesar-besarkan.

Tapi meski demikian, kalaupun kemungkinan demi kemungkinan di atas itu menjadi kenyataan, kita perlu menghadapinya, Vin.?Rasa berani toh tak bisa tiba-tiba dimunculkan kalau memang takut sudah menjadi sesuatu yang akut. Jadi mari kita fasilitasi ketakutan itu dengan memberi perlindungan.

Bikin saja acaramu nanti, di tiap-tiap ?Sign of Change? itu disetting berbeda. Misalnya, posisi kamera diletakkan di belakang bintang tamu jadi mereka nggak terkena expose kamera?

Atau wajahnya ditutup kain dengan lubang hanya di mata dan hidung saja??Atau diredupkan cahaya kameranya?

Tapi yang jelas, jangan lupa untuk melakukan proses digital untuk penyilihan suara supaya begitu keluar dari studio acara, mereka tetap merasa tenang, nyaman dan terlindungi bukan karena masyarakat telah dewasa sayangnya, tapi lebih karena masyarakat tidak tahu bahwa yang bicara barusan di acaramu adalah dia. Naif memang, tapi sayangnya itulah proteksi terbaik bagi sebuah rimba yang bernama masyarakat.

Kamu juga tak perlu menyebut agama asal sebelumnya apa pada saat wawancara, tak perlu? sama sekali tak perlu kalau yang ini menyangkut keamanan dirimu sendiri barangkali…

Nah gimana, Alvin?
Keren kan ideku barusan? Ayo Vin, kamu pasti bisa.

Kamu brillian dan kuyakin implementasi ide sederhana ini akan tampak megah dan hebat selama kamu memiliki niat…

So, kabar-kabar yah, Vin!
Tak lupa aku ingin mengucapkan selamat melanjutkan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan dan selamat mempersiapkan hari raya Lebaran bersama keluarga di rumah.

Kalau main ke Sydney, bilang-bilang nanti kutraktir kopi sembari menikmati senja yang indah di tepi Opera House?

Salam dari selatan khatulistiwa,

– DV –

Sebarluaskan!

13 Komentar

  1. Wah, ide yang bagus itu, Mas Donny. Aku setuju! Mudah-mudahan Alvin membaca blog Mas Donny ya dan dia kepikiran serius untuk bikin acara seperti usul Mas Donny. :)

    Balas
    • Amin…

      Balas
  2. Tulisan yang cerdas, Mas! Ada sedikit maksud untuk menggelitik Alvin juga, kan?

    Balas
    • Makasih, Mas.
      Tapi aku nggak merasa cerdas kok dan aku nggak ada niat untuk menggelitik Alvin, aku cuma menulis surat :)
      Hihihi…

      Balas
  3. Brilliant tulisanmu Don…
    Aku belum sebijaksana kamu… soalnya pas nonton episode kuwi rasane mangkel banget…

    Balas
    • Proses menuju penulisan ini juga nggak gampang kok, Jar.
      Kalau tulisan ini kurawi beberapa saat setelah acara, aku juga akan tak setenang ini.
      Aku sengaja mengendapkan ide sampai bener-bener bisa lebih otentik dan baru kutuliskan.

      Puji Tuhan tidak terlalu tampak lagi sisi emosionalnya :)

      Balas
  4. Masalah pindah-pindah agama ini, yang ga terima biasanya salesmannya. Tuhan mah nyante aja. Kebesarannya ga berkurang sedikitpun walo manusia mondar-mandir dari agama satu ke agama lain.

    Balas
    • Top, Bro!

      Balas
  5. Surat terbuka yg mencuri perhatian Don!
    Setidaknya kamu telah mewakili manukers yg males nulis (senengnya becanda yg jorok2 spt biasanya..hehe..).
    Ngomongin agama sama halnya spt menilai cita rasa kopi; Bardhono bilang kopi si anu enak, Gandung bilang kopi seko telek musang uenak, TP bilang kopi yg disaring pakai kaos kaki enak…..macam macam pendapat yg dirumuskan dari kepercayaan masing2 orang. Manusia kemudian mulai membuat rumusan “yg paling baik” bagi dirinya dari rutinitas, kejadian2 dan perjalanan hidup.
    Prosesnya menjadi sangat subjektif.
    Kalau ada yg berkata “Tidak ada agama yg paling benar”, di dalam hati masing masing pemeluk agama pasti ada ketidaksetujuan meskipun tidak ada sanggahan yg terucapkan.
    Perbedaan yg tidak perlu diperdebatkan.
    Apa jadinya negri ini kalau semuanya harus sama…(semuanya harus minum AO, semuanya harus pake kolor diluar, semuanya harus menghirup aibon….).
    Ngomongin preferences keyakinan itu basi banget, sangat purba, jaman orang masih tinggal di dalam goa.

    Usul..kalau boleh…, Alvin diajak ke perkebunan kopi di pedalaman, melihat bagaimana panjangnya proses untuk menghasilkan secangkir kopi yg nikmat. Melihat ratusan ibu ibu menyortir biji kopi sementara anak2 masih mengenakan seragam sekolah tertidur di kolong meja di kaki ibunya. Enam hari dalam seminggu kita bisa melihat pemandangan yg sama.
    Pikir! Mikiro… Hantu blau Tuhan-nya siapa yg ada disana, ada kebahagiaan yg menyemangati mereka untuk bangun pagi dan bekerja di kebun kopi tidak perduli apa agama yg dipeluk oleh orang disebelahmu.
    Proses..
    Proses yg harmoni didalam perjuangan kehidupan adalah agama yg mereka percayai.

    Ayo Alvin! Kamu pasti belum mengenal agama baru yg namanya KOPI.
    Nanti kalau ada yg berpindah haluan dari minum teh ke minum kopi bisa kamu jadikan bintang tamu di acaramu.

    Balas
    • Wahahahaa komen menarik. Harusnya Alvin sekolah di JB ya :)

      Balas
  6. Hhhmmm terharu membaca tulisanmu Don. Semangatnya dan tantangan nya buat acara JA. Jadi pengin nungguin “Sign of Change” berikutnya. Kita sama sama nunggu lo Vin ya Don ya.

    Balas
  7. Gimana caranya surat terbuka ini bisa sampai ke MetroTV ya…
    Setuju banget sama konsep ini, setiap hari raya keagamaan lain ditampilkan acara yang bernada sama.

    Balas
    • Udah sampe kok Chit, udah dibalas langsung oleh admin akun @justalvin di twitter, masalah ditanggapi atau nggak itu bukan urusan kita lagi hehehe :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.