
Dulu aku pernah bingung kenapa banyak kawan suka sekali menikmati sunset apalagi di pantai? Bukankah itu peristiwa alami? Lama kemudian aku baru sadar bahwa sunset itu perlu dinikmati sebagai perayaan bahwa matahari telah sukses bersinar seharian dan sunset terindah adalah sunset nir-awan. Sunset yang menampakkan matahari hingga ia tenggelam dan menjingga di peraduan perlahan-lahan.
Gonjang-ganjing politik beberapa pekan ini yang membawa-bawa nama Jokowi menurutku adalah sunset yang tak terlalu indah bagi “karir politik” nya. Sembilan tahun karya-karya besarnya yang harusnya bisa kita kenang dengan tenang harus melalui sebuah turbulensi politik.
Adalah benar bahwa akan susah bagi kita untuk membuktikan adanya campur tangan Jokowi dalam lahirnya keputusan Mahkamah Konstitusi tentang batasan umur orang yang bisa dijadikan capres/cawapres senin lalu. Tapi di sisi lain susah juga untuk menghindari hadirnya begitu banyak percakapan di media tentang kontroversi tersebut.
Oh jangan-jangan memang ada campur tangan, kan beliau pernah bilang di muka publik akan cawe-cawe urusan pilpres?
Oh jangan-jangan itu adalah jalan untuk memberi karpet merah bagi anaknya Gibran Rakabuming maju jadi cawapres?
Atau.. oh tuntutan yang disetujui diajukan oleh Almas Tsaiqibbiru, pengagum Gibran, anaknya Jokowi dan tahukah kamu, Almas itu anak Boyamin Salman, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI).
Dan yang paling menohok, nan tak bisa dihindarkan, ketua MK, Anwar Usman adalah adik ipar Presiden Jokowi setelah ia menikahi Idayati tahun 2022 silam. Othak-athik… gathuk, kata orang Jawa.
Yang lebih memprihatinkan lagi, sunset yang tak asik ini menjadikan Jokowi dipunggungi oleh sebagian kalangan yang dulu adalah pendukung garis kerasnya. Ditambah lagi dengan pandainya PDI-P dan koalisi membaca momentum.
Saat percakapan tentang keputusan MK sedang tinggi-tingginya, saat sebagian orang begitu marah dan kecewa, partai banteng moncong putih, PDI-P, yang sekaligus adalah rumah bagi Jokowi dan Gibran itu mengumumkan calon wakil presiden bagi capres Ganjar Pranowo, Mahfud MD. Jokowi yang sedang dinas ke luar negeri tentu tak bisa hadir dan Gibran pun tak diundang.
Mengenai hal ini aku jadi ingat tentang apa yang dikatakan kawan politikus baru-baru ini.
Konon di lingkungan internal PDI-P, ada orang bertanya pada Bu Mega,
“Bu, sampai kapan Ibu membiarkan Pak Jokowi berdansa politik?”
Bu Mega menjawab, “Sampai musiknya habis..”
“Kapan?” tanya orang itu lagi.
“Sampai saya mengumumkan cawapres…”
Dansa politik Jokowi, setidaknya di rumahnya sendiri, memang terhenti di situ.
Jokowi masih punya waktu untuk menyelesaikan masa jabatannya lebih baik lagi terlepas dari gonjang-ganjing ini. Yang jadi masalah, perhatian orang mungkin tak bisa lagi mengamati kinerjanya karena sejak saat ini hingga setidaknya pertengahan tahun depan warga akan lebih fokus mengikuti jalannya Pemilu.
Tulisan ini bukan untuk mengesampingkan prestasi emas Jokowi dalam sembilan tahun terakhir. Bagiku, Jokowi tetap satu dari yang terbaik yang pernah dimiliki Negeri. Catatan ini lebih tentang gerutu orang yang dulu pernah membelanya. Bahwa sebenarnya semua yang moncer-moncer ini seharusnya bisa diakhiri dengan indah seperti kata kawanku Pongki Barata lewat lagunya, “Akhiri dengan indah”,
Ketika selamanya pun harus berakhir, akhirilah ini dengan indah…
Semoga sunset kalian sore ini baik-baik saja…
wong urip kuwi, harus punya kontrol diri