Sumur

9 Apr 2015 | Cetusan

blog_sumur

Sumur adalah sumber air keluarga. Bagi orang Jawa sepertiku, sumur adalah hal penting. Dulu sebelum PDAM masuk, ia harus ada di setiap rumah. Ia tidak boleh diperlakukan sembarangan. Tidak boleh ada sampah sedikitpun yang dilemparkan ke dalamnya dan tidak boleh pula ia dimatikan sumber airnya (dikubur, ditutup ulang dengan tanah atau semen). Tak sedikit yang juga lantas menghubungkan sumur dengan dunia gaib, sebagai sesuatu yang harus diruwat atau bahkan tak jarang muncul cerita tentang sumur berhantu?

Entah kenapa tiba-tiba aku ingin bercerita soal sumur hari ini. Mungkin karena terpesona dengan film dokumenter Belakang Hotel yang memuat kenyataan betapa air sumur rumah warga di sekitar hotel yang menjamur di Jogja makin kering karena absorbsi air tanah oleh pihak hotel.

Bisa jadi juga karena waktu pulang ke Klaten kemarin; ketika menengok rumah yang sedang direnovasi lalu jalan mengitari pekarangan dan kulihat sumur rumahku masih tetap bertengger di sana seperti waktu kukecil dulu.

Tapi mungkin juga karena sebab lain entahlah…

Kondisi perumahan di Indonesia hari-hari ini barangkali memang sudah tak lagi mengandalkan sumur. Selain kerusakan alam yang membuat air tanah makin dalam untuk digali dan ditemukan, alasan lain adalah penghematan. Pembangunan sumur makan tempat dan yang pasti makan biaya yang tak sedikit! Solusinya, selain menggunakan PDAM, mereka juga menggunakan sumur bor, pengadaannya lebih cepat dan tidak makan tempat, hanya sekian sentimeter saja penampang bidangnya.

Nggak ada yang salah dengan sumur model ini. Tapi atas nama nostalgia, tentu ada yang menurutku lebih benar?

Model sumur yang kumaksud tentu model sumur yang proses pengerjaannya manual dan memakan waktu lebih lama ketimbang pengadaan sumur bor.

Sumur rumah di Klaten adalah sumur tua.
Ia dibangun tak menggunakan bis beton; entah bagaimana dulu cara membuatnya tapi yang pasti ia disusun menggunakan batu bata!

Sumur ini masih aktif digunakan sampai sekarang. Beda dengan sumur di belakang hotel-hotel di jogja, sumur di Klaten masih tetap punya rata-rata ketinggian air yang sama dengan yang waktu kecil dulu kudapati. Sekitar lima-enam meter lah dan pada saat musim hujan, ia akan naik sedikit.

Namun meski masih digunakan, air sumur tak lagi jadi sumber air yang utama sejak PDAM awal 90an dulu masuk ke kampungku.

Kami tak perlu lagi ?ngangsu? (menimba -jawa) untuk mandi karena tinggal memutar kran lalu air pun mengalir dengan derasnya, sederas uang yang harus kami bayar untuk hal itu pada tiap akhir bulannya.

Oh ya, waktu dulu, istilah ngangsu jadi sedemikian ngetopnya di kalangan pemuda kampung. Karena dulu belum ada istilah gym atau fitness, setiap ada pemuda berlengan besar, kami selalu memperbincangkannya sebagai orang yang terlalu banyak ngangsu!

Dulu ada dua pemuda kampung, Nobus dan mBambung (kini mBambung jadi tukang becak, ngetem di perempatan kampung dan kemarin kutemui serta kuceritakan di sini) , keduanya kebetulan berlengan besar atau istilah Klatennya, ?awak?e pothok tenan!?.

Suatu waktu mereka dipanggil oleh alm. Eyang buyutku. Dengan lugas, Eyangku bertanya, ?Mbung, Bus.. kowe ki kok pothok ki opo kakean ngangsu?? Keduanya cuma ingas-ingis, imbas-imbis lalu nyelonong pergi setelah menjawab, ?Mboten Mbah!?

Tapi kenyataannya ngangsu memang pekerjaan yang memerlukan tenaga. Alm. Papa dan Mama dulu ketika di Kebumen bahkan sempat mempekerjakan orang khusus untuk menimba air memenuhi bak mandi dan bak cuci piring tiap sorenya.

Berkaitan dengan keberadaan sumur, ada cerita menarik.?Suatu ketika dulu, karena Eyang memelihara beberapa ekor ayam di pekarangan belakang, ada seekor yang nahas kecemplung ke dalam sumur.

Suara kecepak-kecepuk-nya membuat salah satu tanteku yang dulu masih tinggal bersama berteriak, ?Bu! Pitike mlebu sumur!?

Kami yang sedang beristirahat siang lantas meriung mengelilingi sumur. Menggunakan ember dan tali timba, kami berusaha menangkap ayam dan mengangkatnya. Tak mudah tapi setelah mencoba beberapa waktu, ayam itupun berhasil kami angkat.

Sayang, si ayam tampak lemas lalu Eyang buru-buru mengeluarkan pisau dari dapur dan menyembelihnya dan kami jadikan santap malam. Setidaknya ia tak mati sia-sia, kan?

Hal lain lagi adalah soal ikan yang hidup di sumur.?Entah siapa yang memulai cerita, tapi yang pasti kami serumah percaya bahwa suatu waktu dulu, sebelum aku lahir, ada yang membeli ikan lalu menyemplungkannya ke dalam sumur untuk ?dipelihara?.

Lalu setiap kami memberi makan ikan itu dengan remah-remah nasi, mereka berlomba memakannya. Menyenangkan apalagi melihat gelombang air yang timbul.

Tapi uniknya, sejak aku lahir hingga sekarang, 38 tahun, belum pernah sekalipun aku atau anggota keluarga lain melihat jasad ikan mengapung karena mati. Reka-reka pikiran pun muncul meruap ke benak tentang misteri ikan ini?

Ada kemungkinan ikan-ikan yang dicemplungkan entah oleh siapa itu memiliki panjang umur.?Mungkin juga ada rongga dari sumur itu ke sumber mata air lain sehingga ikan itu plesir ke sana-kemari dan mati di area lain.?Kemungkinan lain, barangkali mereka mati tapi tak mengapung dan dimakan oleh sesuatu yang lain yang selalu memunculkan diri ketika diberi makan nasi.

Serem, kan? :))

Cerita di rumah Kebumen, lain lagi!
Ketika kami pindah ke kota yang jaraknya sekitar 150km arah barat Klaten, pada awalnya kami tinggal di kontrakan.

Di dalam rumah yang saat itu cukup modern itu, sumur model bis beton ada di areal ruangan dapur. Yup! Sumur indoor, istilah sekarangnya?

Adapun kondisi sumber air tanah di Kebumen jauh lebih dalam ketimbang di Klaten. Sekitar sembilan hingga sepuluh meter dalamnya. Untuk itu, seperti kuceritakan di atas, alm. Papa dan Mama lalu menggaji orang untuk membantu menimba air dan diisikan ke bak mandi dan bak cuci piring setiap sore harinya.

Lalu barangkali karena Papa berpikir atas nama efisiensi, ia memutuskan untuk membuat satu sumur baru lagi di luar untuk disedot airnya menggunakan mesin pompa air otomatis, kami menyebutnya Sanyo dulu.

Aku menikmati betul proses pembuatan sumur tersebut.?Proses diawali dengan ritual sesaji yang menurut mandor sumur harus dilakukan Papa untuk dua intensi; pertama, mendapatkan sumber air terbaik dan tak perlu dalam-dalam menggalinya dan yang kedua, untuk keselamatan para penggalinya supaya tak mati lemas karena kekurangan oksigen di dasar sumur atau karena kecelakaan-kecelakaan lainnya.

Mereka menggali menggunakan pacul, inci demi inci digalinya dan setiap mendapatkan satu meter, sebuah bis beton dimasukkan ke dalam. Demikian dilakukan terus menerus hingga hari ketiga, saat mata air akhirnya ditemukan.

Aku ingat betul momen saat mata air ditemukan. Waktu itu para pegawai sudah memperkirakan bahwa tak lama lagi mata air akan muncul karena tanah yang mereka gali makin terasa basah. Lalu ada momen dimana tiba-tiba, seperti pipa yang pecah, air coklat pekat muncrat dari sudut galian dan para pegawai bersorak.?Sang mandor serta-merta mengambil pompa penyedot air untuk menguras air tanah itu hingga mendapatkan hasil yang bersih.

Sesuai rencana, Papa tak memasang tali, kerekan dan timba melainkan menginstalasi sebuah jalur pipa yang dihubungkan dengan pompa air ke bak mandi. Lebih efisien dan setahap lebih modern meski hasilnya, orang yang biasa jadi buruh timba itu tak dipekerjakan lagi.

Pindah ke rumah baru yang kami beli, Papa memutuskan untuk tak membuat sumur tradisional. Ia menyuruh orang membuat sumur bor yang langsung terhubung ke pompa air otomatis dan instalasi pipa yang menyatu dengan struktur bangunan.

Proses pengerjaannya tak sampai sehari dan ketika aku datang ke rumah sore harinya sepulang sekolah, sumur itu telah jadi begitu saja.

Di Australia sini, meski tak terlalu umum, pengadaan sumur bor juga ada meski untuk itu kita perlu menggunakan jasa specialist bersertifikat yang mahal tarifnya. Kebanyakan dari kami lantas memilih menggunakan jasa PDAM-nya Australia meski tarif penggunaannya kian hari terasa kian mencekik leher.

Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian punya pengalaman unik tentang sumur?x

Rasa prihatinku untuk mereka di sekitar hotel di Jogja dan tempat-tempat lainnya yang air tanahnya terabsorsi untuk kebutuhan kapitalis? Semoga Tuhan mendengar keluh kesah kalian?.

Sebarluaskan!

6 Komentar

  1. Di kampung saya sumur masih digunakan untuk mandi cuci. Untuk air minum menggunakan air pdam dan air isi ulang. Tapi sumur masih tetap bertahan.

    Balas
    • Sama :)

      Balas
  2. Di pantai Kisik Kulon Progo dekat rumah mbahku sana, pertama kalinya saya tahu ada sumur di pinggir pantai dan airnya tidak terasa asin sama sekali. Dan ketinggian permukaan air ke permukaan tanah hanya 1 meter , jadi le “ngangsu” ora marai pothok hehehehe…

    Balas
    • Wah iki perlu ditulis kok bisa air dekat pantai tidak asin :)

      Balas
  3. sumurku letaknya berdampingan dengan jejeran pohon bambu yang ada di belakang rumah mas, suka ngerasa serem kalo harus buang air pas malam.

    Balas
    • berpikir positif, jadi ada yang nemenin pas buang air malam dong :) xixixixi

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.