• Skip to primary navigation
  • Skip to main content

Donny Verdian

superblogger indonesia

  • Depan
  • Tentang
  • Arsip Tulisan
  • Kontak

Summer in July: Urusan perut

8 Agustus 2012 17 Komentar

Apa yang kau cintai dari Indonesia?
Makanannya.

Manusia-manusianya, Don?
Hmmm…

Jadi?!!!!
Ssstttt! Dengarkan dulu penjelasanku.

Aku mencintai makanan-makanan khas Indonesia karena cara mereka memanjakan lidah luar biasa dahsyatnya.

Sementara itu, satu-satunya cara untuk mendapatkan makanan yang benar-benar ‘khas’ Indonesia, dibutuhkan orang-orang asli Indonesia untuk mengolah dan memasaknya. So, tanpa keberadaan mereka, mana mungkin aku bisa menyantap masakan khas Indonesia?

Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa tak mungkinlah aku makan makanan hasil karya musuh-musuhku, jadi kesimpulannya, aku tak bisa untuk tak mencintai manusia-manusia Indonesia!?Pokoknya, selain pemerintahnya, aku mencintai seluruh elemen yang ada di Indonesia!

Pokoknya, selain pemerintahnya, aku mencintai seluruh elemen yang ada di Indonesia!

Lah, pemerintahnya apa bukan manusia?
Entahlah! Tergantung!

Tergantung apa?
Ya tergantung apakah mereka mampu membuktikan bahwa mereka itu manusia atau bukan…

* ?* ?*

Jadi kali ini, mari kita bahas makanan Indonesia saja!

Meski cinta makanan-makanan khas Indonesia, nyatanya dalam liburan kemarin, daya cinta itu tak diimbangi oleh kemampuan perutku dalam mencernanya.

Layaknya kebanyakan mereka yang tinggal di negara maju (meski catatan ini bukan perkara negara maju atau tak majunya), perutku bergejolak begitu menyantap makanan Indonesia. Hal ini berlangsung sejak hari kedua hingga hari-hari pada minggu ketiga (atau bisa dibilang hari-hari terakhir berlibur) di Indonesia.

Serangan demi serangan ditandai dengan perut ‘melilit’ dan diakhiri dengan pembuangan ‘hajat’ di toilet.

Orang bilang aku tak tahan dengan pedasnya cabe yang digunakan entah itu dalam adonan masakan ataupun sambal penyandingnya, tapi aku tak sependapat karena kalau mau cari cabe super pedas di sini pun mudah ditemukan, tak harus pulang ke Indonesia.

Lalu?
Barangkali bumbunya!

“Hosyitt! Ini kan bukan di Australia dimana air krannya boleh diminum secara langsung?!” gumamku.

Bumbu-bumbu yang dipakai untuk mengolah makanan tersebut! Bukannya buruk, tapi karena ‘berbeda’ dengan bumbu-bumbu yang kutemukan dalam makanan di sini, di Indonesia, bumbu ‘panas’ seperti lada dan teman-temannya kerap dijumpai dalam masakan Indonesia.

Meski demikian, di antara sekian banyak peristiwa ‘perut melilit’ saat itu, kucatat dua kali yang saking seringnya ‘serangan’ itu datang, jadi sangat berkesan bagiku.

Pertama terjadi setelah aku menyantap nasi pecel di sebuah warung ternama di Yogyakarta. Padahal dulu, ketika aku masih tinggal di sana, nasi pecel ini nyaris jadi santapan keseharian karena aku memang sangat suka jenis makanan tersebut.

Sajian pecelnya tak terlalu pedas, tapi seperti kubilang tadi, entah bumbunya barangkali yang membuat perutku bergejolak hebat dan akhirnya tak tertahankan untuk buru-buru mencari ke toilet beberapa jam sesudahnya. Atau, selain bumbu, jangan-jangan air yang digunakan untuk campuran sambal adalah air mentah? Siapa tahu!

Ah, bicara tentang air mentah, pagi hari kedua kedatanganku ke Indonesia pun diwarnai dengan mencret-mencret nggak jelas. Penyebabnya? Entahlah.. Tapi seingatku, sekitar pukul satu dinihari, aku terbangun lalu pergi ke kamar mandi dan mengambil gelas, menuang air kran dan meminumnya. Setengah gelas kuhabiskan hingga akhirnya kutersadar, “Hosyitt! Ini kan bukan di Australia dimana air krannya boleh diminum secara langsung?!” gumamku.

Tapi apa lacur, air telah tertelan. ‘Untung’ keesokan paginya, air itu pula yang kukeluarkan meski dengan cara yang tak terlalu lazim, mencret-mencret diawali dengan perut mulas.

Kejadian kedua adalah beberapa saat setelah aku makan sate di sebuah mall di bilangan Senayan, beberapa hari sebelum aku pulang kembali ke Australia.

Waktu itu aku sedang mengadakan acara kopdar dengan para blogger dan penggiat social media Jakarta, dan kami memutuskan bertemu di tempat itu sembari buka puasa bersama.

Alhasil, beberapa jam setelahnya aku yang sebenarnya telah berada dalam taksi harus memaksa pak sopir untuk menepikan mobilnya di sebuah mall ‘yang lain’ hanya sekadar untuk mencari toilet dan membuang hajat di sana.

Kejadian tersebut berulang beberapa kali malam itu bahkan hingga keesokan harinya dan sore hari berikutnya.

‘Untung’ nya lagi, aku tak sendirian!
Tercatat empat teman lain melaporkan hal yang sama bahkan satu di antara kami ada yang harus melewatkan malam itu di sebuah rumah sakit untuk perawatan intensif lebih lanjut!

Namun toh demikian, rentetan kejadian demi kejadian itu tak menyurutkan niatku sama sekali untuk terus melahap masakan Indonesia.

Aku berprinsip bahwa makan makanan ini toh tidak bisa kunikmati sebulan sekali! Jadi, selagi masih ada waktu untuk menyantapnya, kenapa harus menghiraukan teriakan perut? Toh bisa tertahankan dan aku percaya betul pada daya adaptasi tubuh kita dan terbukti pada hari-hari terakhir di Indonesia, perutku telah terbiasa.

Hitung-hitung bukti betapa aku mencintai masakan Indonesia sama halnya aku mencintai manusia-manusianya.

Kenapa? Karena cinta perlu pengorbanan! Aku mencintai masakan Indonesia, maka aku akan terus melahapnya meski perutku telah berubah jadi perut ‘bule’, yang tak lagi mudah menerima makanan-makanan dan air mentah di Indonesia.

I love Indonesia, therefore i love Indonesian food!
Eh, semoga ga kebalik ya!

Sebarluaskan!

Ditempatkan di bawah: Australia, Cetusan, Indonesia, Summer in july Ditag dengan:jogja

Tentang Donny Verdian

DV, Superblogger Indonesia. Ngeblog sejak Februari 2002, bertahan hingga kini. Baca profil selengkapnya di sini

Reader Interactions

Komentar

  1. arya mengatakan

    8 Agustus 2012 pada 2:08 pm

    wis larang, nggawe diare pulak! afu!

    Balas
    • Adiitoo mengatakan

      8 Agustus 2012 pada 2:14 pm

      buahaha .. korban yang dirawat udah komen duluan.

      hiks .. aku pun mencret. cuma, keberadaan ku ketika mencret2 itu sudah di dalam rumah. tapi, tetap saja lemas :(

      Balas
  2. applausr mengatakan

    8 Agustus 2012 pada 2:15 pm

    hahahaha… ini sering kejadian mas.. hati hati typhus.. biasanya kalau dari australia harus jaga diri jangan langsung makan makanan di jalan. Diri ini sudah pengalaman… take care.

    Balas
  3. sibair mengatakan

    8 Agustus 2012 pada 2:17 pm

    Hahaha ini yang kapan hari setelah kopdar bikin mules-mules sampe ada yang periksa ke dokter itu ya? Masa separah itu sih :|

    Balas
  4. suryaden mengatakan

    8 Agustus 2012 pada 3:46 pm

    aku kok kebayang sampeyan ki koyo wong sing di exile ke kae :-))

    Balas
  5. pety puri mengatakan

    8 Agustus 2012 pada 11:02 pm

    hihi iya lho, mungkin yang “mules berjamaah” itu memang efek makanannya yang terlalu pedas/ gimana. Lha anak2 Indonesia nya sendiri juga ikutan mules :D
    *God bless me, yang nggak suka makanan pedas. Alhamdulillah* :)

    Balas
  6. niee mengatakan

    9 Agustus 2012 pada 1:39 am

    Iyaaa… aku juga cinta masakan indonesia.. karena gak pernah netah lihat makanan.di LN.. ~_~

    Balas
  7. BroNeo mengatakan

    9 Agustus 2012 pada 5:21 am

    chinesse food di beijing & hongkong jg kalah dari chinesse food di Indonesia

    Makanan indonesia emang dahsyat DV!!
    *alasangendut*

    Balas
  8. uyoyahya mengatakan

    9 Agustus 2012 pada 11:50 am

    wah…lama di luar negeri bikin perut kita mesti adaptasi lagi dengan masakan indonesia, ya..

    Balas
  9. Riris E mengatakan

    9 Agustus 2012 pada 1:41 pm

    makanan daerah kelahiran selalu memiliki daya tarik yang membuat kita selalu ingin pulang.

    Balas
  10. Ratrichibi mengatakan

    9 Agustus 2012 pada 9:08 pm

    abis makan bacuk dan keju aroma, mules2 juga gak, mas? XD

    Balas
  11. didut mengatakan

    9 Agustus 2012 pada 10:36 pm

    hahahaha sakke tenan, melas :)) *penggiat makan makan*

    Balas
  12. Bukik mengatakan

    10 Agustus 2012 pada 1:23 am

    Ehm tapi sepertinya dari dua kasus (pecel dan sate), makannya gak di warung pinggir jalan deh……di resto/mall kan?
    Kalau benar gitu, ya sesekali nyoba makan di pinggir jalan, yang kanan-kirinya becek kayak model nasi sambel wonokromo surabaya
    Dijamin……..
    Tambah…..
    Huehehehehe

    Balas
  13. ren mengatakan

    13 Agustus 2012 pada 3:04 pm

    ah, perutmu ga sepreman penampilanmu.. hihihi..

    Balas
  14. Zizy Damanik mengatakan

    13 Agustus 2012 pada 7:00 pm

    Hahah…
    Ya begitulah Don. Perutmu kan sudah terbiasa dengan makanan di sana, jadi begitu kembali ke Indonesia, yang mungkin saja makanannya sama dengan yang pernah dicicipi di sana tapi cara pengolahannya berbeda, maka bergejolaklah perut itu!

    Balas
  15. nanaharmanto mengatakan

    14 Agustus 2012 pada 3:52 pm

    Wah, aku juga pernah ngalamin “keracunan” makanan sampai buang-buang air parah begitu… pernah juga serangan terjadi di dalam taksi yang terjebak kemacetan. Matihhh…
    Akhirnya aku minta stop di resto cepat saji dan numpang bebucal di situ :D

    Beli nggak? enggaakk… hihihi… begitu selesai, celingukan, gak ada yang liat, kabor deh tanpa beli… hihihi…. *sing penting slamet..

    Balas
  16. imadewira mengatakan

    15 Agustus 2012 pada 6:15 pm

    Sama dengan makanan khas di Bali sejenis lawar. Enaknya bukan main, apalagi yang buatan Ajik (ayah) saya.

    Tapi terkadang, kalau sebelumnya agak lama tidak makan lawar, untuk yang pertama biasanya perut saya agak bergejolak, ya begitulah jadi mendadak mau ke toilet.

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

  • Depan
  • Novena Tiga Salam Maria
  • Arsip Tulisan
  • Pengakuan
  • Privacy Policy
  • Kontak
This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish.Accept Reject Read More
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary
Always Enabled
Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.
Non-necessary
Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.
SAVE & ACCEPT