Jangan sekali-kali kamu mencoba bertanya kepadaku, “Apa kesanmu tentang Jogja?” karena jawabanku kepadamu bisa jadi lebih radikal dari bagaimana para bigot-bigot itu membela agama mereka! Aku akan menjadi sangat subyektif membela Jogja terlebih kalau pembandingnya hanyalah sebuah Jakarta :)
Maklum, lebih dari 15 tahun waktu hidupku (1993 – 2008) kuhabiskan di kota yang istimewa ini dan hal itu cukup membuatku ‘ahli’ dalam mempromosikan Jogja dengan berbagai cara.
“…sejujurnya aku sempat merasa kesulitan untuk kembali merasakan ?keistimewaan? Jogja pada liburan kemarin”
Tapi meski demikian, sejujurnya aku sempat merasa kesulitan untuk kembali merasakan ‘keistimewaan’ Jogja pada liburan kemarin.
Bayangan tentang Jogja yang nyaman sempat terusik dengan berbagai macam hal, mulai dari banyaknya hotel yang dibangun di sana sini, tempat-tempat usaha yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan, orang-orang mudanya yang kebanyakan lebih bergaya ‘metropolitan’ ketimbang mengemukakan keunikannya yang khas, hingga apalagi kalau bukan kemacetan lalu lintas yang sangat mudah kutemui di sana-sini!
Dan, yang kusebutkan terakhir yang tampaknya menjadi ‘sesuatu’ yang paling mengusik.
Sumber kemacetan utama di Jogja menurutku adalah segala keriuhan yang terjadi di sepanjang jalan-jalan utamanya, Jalan Solo, Jalan Malioboro dan Jalan Sultan Agung!?Kemacetan di tiga ruas utama itu lantas membuat jalan-jalan penghubung di antaranya pun tak nyaman lagi dilintasi.
Yang lebih mengagetkan lagi adalah jalan keluar dari Jogja ke Klaten, kota kelahiranku.
Tiga hari pertama di Jogja (12 – 15 Juli) jadwal acaraku berantakan karena kemacetan tersebut. Padahal, tiga hari pertama itu amatlah ‘critical’ karena aku harus hadir dalam rangkaian acara pernikahan adikku, Chitra yang diselenggarakan pada hari-hari itu.
Berbekal pengalaman bahwa jarak Jogja – Klaten yang 23-an kilometer itu, tahun lalu bisa ditempuh dalam waktu paling lama 45 menit, aku berangkat dari hotel satu jam sebelum acara dimulai.
Tapi apa daya!
Ketika mobil yang kami tumpangi sampai di daerah Janti, ‘gerbang’ kota Jogja di sisi timur, mobil sudah tak bergerak selancar sebelumnya! Lebih ke timur lagi hingga ke arah bandara, trafik lebih runyam lagi karena ketambahan mereka yang merging dari akses jalan arteri utara Jogja!
Kendaraan menyemut dan bergerak sangat perlahan dan akupun terjebak macet!
Emosi tak tertahankan, meski kutahu hal itu tak kan memperbaiki suasana. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala dan mengumpat segala macam hal yang bisa dijadikan umpatan.
Tak ada penjelasan yang pasti kenapa kemacetan terjadi selain dari apa yang diucapkan Pak Karyuli, supir kepercayaanku sejak beberapa tahun lalu.
“Sabar, Mas Donny! Ini karena ngepas-i liburan anak-anak saja!” tukasnya.
“Nggak mungkin, Pak! Nggak mungkin kalau cuma pas liburan karena jalan ini toh sudah dibelah jadi dua dengan masing-masing satu arah!” sambutku.
Ia terdiam.
Setelah nyaris 45 menit, kendaraan baru sampai di Prambanan, 10 km dari Klaten dan kemacetan terurai meski itu hanya sekitar 2 kilometer saja. Sesudahnya, menjelang Dusun Taji yang sudah masuk Kabupaten Klaten, kemacetan kembali menumpuk dan teronggok tak tertahankan, skali lagi aku terjebak macet.
“Saya tahu, Pak! Saya tahu sekarang…” sergahku mengagetkan Pak Karyuli.
“Punopo, Mas?”
“Macetnya ini gara-gara kebanyakan lampu lalu lintas!”
“Loh kok bisa?”
Aku lantas menjelaskan berapa jumlah lampu merah dari Jogja menuju Klaten?
Ada 14 lampu lalu lintas untuk mengatur kendaraan di ruas jalan sepanjang 23 kilometer
Seingatku, inilah mereka!
Hitunglah dari Janti, maka di Janti pun sudah ada dua lampu lalu lintas.
Lalu di pertigaan ring road, bandara, di muka kantor Kedaulatan Rakyat, Kalasan, Bogem, Prambanan (ada dua!), Tegal Mas/Taji, Kraguman, Gondang, Bendogantungan, RS Tegalyoso.
Ada 14 lampu lalu lintas untuk mengatur kendaraan di ruas jalan sepanjang 23 kilometer atau kalau dirata-rata, mereka ada setiap kurang dari dua kilometer!
Persoalannya sekarang berapa panjang antrian kendaraan-kendaraan tersebut? Katakanlah panjang antrian hanya 2 kilometer, maka setiap mereka berjalan secara berbarengan, ‘rombongan’ itu akan menemui kemacetan di lampu lalu lintas sesudahnya sementara ‘ekor’ kemacetan masih ada di lampu lalu lintas sebelumnya!
Tak hanya itu! Lama lampu hijau menyala yang hanya sekitar 25 detik tak sebanding dengan lama lampu merah yang sekitar 65 detik!
Jadi bisa dibayangkan, selama 65 detik, berapa kendaraan ‘dikumpulkan’ pada sebuah traffic light dan selama 25 detik, hanya akan ada beberapa kendaraan yang maju ke lampu lalu lintas berikutnya! Tentu jumlah yang tak kan pernah seimbang, bukan?
Perkara lampu lalu lintas ini diperburuk lagi dengan kegiatan pengangkutan pasir dengan menggunakan truk yang seolah tiada henti memenuhi ruas jalan Jogja – Klaten.
Mereka adalah truk-truk butut yang perjalan seperti siput!
Dikuasai oleh pemodal-pemodal yang tamak nan badung, mengisi bak dengan kuota melebihi kualitas, minim pemeliharaan kendaraan, membuat mereka sebenarnya tak layak lagi ada di jalanan.
Mereka ini membuat lalu lintas di belakangnya mau tak mau harus mengikuti kecepatannya yang kutaksir hanya sekitar 20-30 km per jam saja lajunya!
“Percuma nyalip, Mas.. nanti di depannya ketemu juga yang lain!” ujar Pak Karyuli ketika kuminta untuk menyalip saja rombongan siput itu.
Sesaat aku mengumpat lagi, kali ini untuk negara yang ‘tak hadir’ dalam masalah seperti ini. Aku yakin regulasi yang mengatur tata transportasi seperti ini sudah ada, tapi mana pelaksanaannya?
Rakyat perlu bayar pajak berapa banyak lagi supaya aparat berkenan datang dan menggunakan otaknya untuk membenahi hal-hal semacam ini?
Tapi anyway, liburan adalah liburan, sesuatu yang harus kita rayakan dan jauhkan sejauh-jauhnya dari ke-bete-an seperti di atas.
Aku lantas harus berterima kasih kepada datangnya bulan Ramadhan!
Apa pasal? Datangnya bulan puasa bagi kaum muslim itu entah kenapa membuat lalu lintas cukup lengang. Jadi, mulai hari Jumat, 20 Juli 2012, atau dua hari sebelum aku kembali ke Jakarta, perjalananku ke Klaten jadi lebih lancar.
Ketika sedang menunggu pesawat ke Jakarta di ruang tunggu Bandar Udara Internasional Adisucipto, Yogyakarta, seorang kawan, sesama Indonesianis yang tinggal di Sydney bertanya lewat WhatsApp, “Gimana Jogja sekarang?”
Lalu jawabku singkat, “Macet! Sumpek!”
“Tapi tetep asik kan?” tanyanya tak lama kemudian.
Aku hanya tersenyum menatap nanar barisan pegunungan yang ada di sisi selatan kota yang bagiku selalu ‘bersalutkan gula’ itu…
Ah, Jogja memang terlalu istimewa meski itu harus dibandingkan dengankota sekelas Jakarta sekalipun!
Eh iya, kalian tahu apa kepanjangan dari singkatan ‘TRJBKMCT’?
Kalau kalian tahu, tuliskan di kolom komentar. Satu orang yang beruntung akan mendapatkan kiriman gratis buku terbaruku, Biji Sesawi di Rerumputan!
Buruan!
TRJBKMCT
Terjebak macet!
#pertamax :)
Ehh kok kemaren gak bilang2 lu ada buku baru? Kan gue bisa minta ttd lu kyaa kyaaaa *muntah pelangi* huahaha. Mau ikutan kuis juga ah, apalagi jawabannya seperti nasib gue 2 hari yg lalu di tol Bintaro: terjebak macet! :P
TERJEBAK MACET
mau beli bukunya dimana den?
Ada di link yang kutaruh di atas… Read carefully please :)
jogja memang sudah macet sekarang. dan aku diam2 takut, dia akan diinvasi para orang bodoh dan hanya peduli uang, dan akhirnya membuatnya makin ruwet. tapi gimana2, aku cinta jogja je, don!
kemarin aku naik mikrolet di jakarta. di dalam mikrolet itu ada seorang ibu. dia bilang, “orang jogja itu lebih demokratis lo, mbak. mana bisa jakarta kaya gitu? saya tenteram dan bahagia liburan di jogja dua minggu.” aaaah… langsung adem deh mikrolet siang itu! dan aku bangga pernah tinggal di jogja dan masih punya rumah di sana. cinta bangeeet!
negara ini apa2 macet.. he3, ya nasib lah rakyatnya. anak buahnya (wakil rakyat) pada ga kerja seh :p
kenapa macet? sepele…,karena kowe numpak grobag!
jajal mancal brompit, koyo mbiyen
sak macet macete tetep singsot :D
-peace dab!-
Aaaahhh.. macet emang masalah utama yg harus diselesaikan terutama buat kota berkembang gt..
Di pontianak juga macet parah.. aku lihat pemerintah gak ada tuh ngasih solusi.. aaahh tapi ntar aku ngomongin pemerintah berarti nonjok muka sendiri dong *berlarikeluarpelanpelan*
iya, manajemen TL itu musti dicermati betul..
di dekat tempat kerjaku sini juga gitu…, harusnya jangan terlalu banyak persimpangan
orang awam aja bisa langsung lihat macetnya karena apa,
tapi kok ya dibiarkan terus berlama2
“TERJEBAK MACET” donk kepanjangannya :)
bener banget, seperti tulisan mas Donny sebelumnya (kalo nggak salah), bahwa kemacetan yang “masih sebatas itu” akan jadi kemacetan “ruar biasa” beberapa tahun ke depan (tak kalah dengan Jakarta), jika tak ada solusi yang aplikatif. hmmm…
Kalo TRJBKMCT
Maka mau gak mau kudu KCBTKBRTHN deh.. :)
Sampe sebulan kemaren, semuanya serba ‘manis’ di jogja. Tapi sejak sebulan lalu, yang ada hanya TRJBKMCT dan DTNGGL-TNGGL :p
hahahaha pokoknya kota yg sdg bergerak maju di indonesia pasti macet LOL *lirik SMG*
ah saya mau di kirimi buku itu…. Terjebak Macet…. mau tahu penulis buku kita ini… masa fansnya tidak dikirimi sih…
Wah lama juga dirimu di yogya…. 15 tahun ya… ya ya… bagaimanapun kondisi yogya skrg, dia selalu memiliki tempat sendiri di hati ini… terlalu indah untuk dilupakan…
yo asik lah terjebak macet mergo kokehan lampu merah hiks sempet diitung jumlahe hahaha trus di total jadi lengkap marakne suwi
terjebak macet..
bener banget, dari sanggung sampai klaten kota aj skr butuh wkt 1 jam. luar biasa..
TERJEBAK MACET!
Jogja bagiku ngangeni… tapi sekaligus njelehi terutama kalau sedang macet bundhet… bagiku, Jogja jaman aku kuliah itu paling Cesss… suasananya.. sekarang menurutku terlalu “nggaya” latah ngikutin trend metropolis macam Jakarta…
terjebak macet don?
Sekadar ninggalin komentar. Gatel rasanya jika setelah baca tulisan di blog tidak ngecrot. Tidak, saya tidak berharap dapat buku karena pasti sudah dijawab duluan. ;)
Salam persahablogan,
@wkf2010
kalo liburan emang jogja macet banget, makanya aku males lewat malioboro kalo udah gitu…
tp menurutku Jogja masih aseekk :)
Salam,
Podo Don, Jogja ki magnet buatku. Kalau di Jogja aku keluar ketemu teman-teman biasanya malam jadi lancar deh! :)
Aku koq yo semnpet ngikik moco kata bigot-bigot iku hahahaha