Summer in July: Tanah air, mana ada yang tak cinta padanya? (HABIS)

17 Agu 2012 | Australia, Cetusan, Indonesia, Summer in july

Malam itu, 2 Agustus 2012.
Setelah bertemu dengan Femi, kawan yang kutemui paling akhir dalam rangkaian liburan Juli kemarin, aku masuk ke dalam gedung check-in, terminal 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Waktu menunjuk pukul 20:45 WIB ketika pada akhirnya aku melewati gerbang imigrasi, menyetempelkan passport pada petugas imigrasi yang malam itu tampak seperti kebanyakan petugas lainnya; bertampang serius.

Berakhir sudah liburan ini.

Aku tersenyum. Stempel keluar dari satu negara yang ditorehkan imigrasi selalu kujadikan tanda bahwa meski aku masih ada di tanah negeri itu, secara formal aku telah keluar daripadanya, telah tak ada.

Berakhir sudah liburan ini.
Selama nyaris sebulan penuh pada akhirnya aku merasakan Indonesia secara langsung, tak imitatif, bukan ‘katanya’, tak melalui tayangan televisi, timeline di Twitter, riuh di facebook dan tulisan-tulisan di blog teman.

Selama itu pula aku benar-benar merasakan musim panas yang multidimensi, baik itu dalam dimensi yang sebenarnya karena Indonesia lebih panas dari Australia yang saat ini sedang mengalami musim dingin, maupun musim panas dalam arti yang ‘lainnya’ bahwa kehangatan dan termasuk di dalamnya adalah keunikan yang terjadi selama masa itu adalah rupa-rupa yang menyenangkan khas musim panas.

Di dalam ruang tunggu, karena aku pulang seorang diri sementara anak dan istriku masih memperpanjang libur hingga pertengahan Agustus, aku memilih duduk di kursi yang langsung berhadapan dengan landasan pacu pesawat.

Setiap pesawat yang tinggal landas, kepadanya aku selalu bertanya, adakah para penumpang di dalamnya mendapatkan kesan yang sama-sama indahnya dengan milikku terhadap Indonesia?

Adakah perasaan mereka tertambat di negara kepulauan ini? Adakah niatan untuk kembali pada suatu waktu pada sebuah kesempatan walau apapun kan terjadi untuk kembali mereguk ‘musim panas’ mereka di sini, di Indonesia ini?

Lalu tiba-tiba pengumuman yang tersiar melalui speaker dengan lantang mempersilakanku untuk masuk ke dalam lambung pesawat yang akan menerbangkanku ke Sydney.

Aku mendapat tempat duduk tak terlampau belakang, bersebelahan denganku adalah seorang bapak-bapak, Indonesianis pula.

Ah, mana ada anak bangsa yang tak mencintai tanah airnya selain mereka yang mengutukkan diri sendiri?

Setelah membereskan semua isi bagasi akupun duduk, sementara mataku tetap tertuju keluar memandang pemandangan yang menggelap.

Sesaat kemudian mesin pesawat dinyalakan, pilot memberi aba-aba untuk terbang dan dalam beberapa menit kemudian, laju pesawat kian kencang dan kurasai aku dibawanya terbang.

Mataku tak kupalingkan sama sekali dari jendela dan di bawah kulihat ada ratusan bahkan mungkin ribuan hingga jutaan lampu Jakarta menghiasi malam. Kota yang menjengkelkan tapi sekaligus menyenangkan, karena bagaimanapun juga ia adalah bagian dari Indonesia, tanah airku yang tercinta. Ah, mana ada anak bangsa yang tak mencintai tanah airnya selain mereka yang mengutukkan diri sendiri?

Pemandangan itu kian lama mengecil dan mengabur di sela awan-awan yang terlewati di bawah sana.

Kututup jendela kabin dan kuarahkan pandangku pada monitor televisi dan sebelum memilih film-film yang hendak kutonton untuk membunuh waktu selama perjalanan, kulihat layar informasi mengabarkan bahwa ketika mendarat di Sydney keesokan harinya, suhu maksimum hanyalah sembilan derajat celcius dinginnya.

Aku terkesiap, serta merta aku berdiri dan membuka bagasi kabin, kepada orang yang duduk di sebelahku kuucapkan maaf, “Maaf Pak, saya lupa ambil jaket saya…” Ya, musim dingin telah kembali tiba, suka tidak suka.

* * *

Keesokan harinya, pesawat tiba di Sydney sesuai jadwal dan aku sampai di rumah dengan selamat.

Setelah berbenah sana-sini, aku lantas memutuskan untuk mandi air panas sekadar melepas lelah sekaligus membalut hawa dingin dengan kehangatan.

Sebelum mandi, kuluangkan waktu duduk di atas toilet, mengosongkan pikiran dan bersyukur atas segala yang telah kulalui.

Kuambil iPhoneku, kupandangi foto-foto yang kuambil selama liburan satu per satu. Ada rasa rindu yang luar biasa terhadap Indonesia meski baru semalam aku meninggalkannya.

Rasa rindu yang khas hadir setiap usai libur tiba, yang kuyakin akan menipis lama-lama dan akhirnya menetap sebagai satu penduduk di hati…

Tak sadar mulutku bernyanyi, lagu sederhana yang kusukai bahkan sejak aku belum pernah berpikir untuk hidup di luar Indonesia. Tentang sesuatu yang meyakinkanku untuk selalu kembali ke Indonesia, karena di sanalah tanah airku dimana kampung halamanku berada, di tempat diriku berawal mula…

Hey, mau dengar seperti apa lagu yang kunyanyikan?
Putar video di bawah ini!

Merdeka!

Sebarluaskan!

10 Komentar

  1. Aku udah liat youtubenya langsung dua kali, tadi baru aku liatin ke istriku. Memang toilet sumber inspirasi sih, Mbah. :)

    Balas
  2. apik suaramu mas :D
    itu padahal nyanyi di toilet kan ya xixixi
    sambil jongkok kan?

    yahhh … *menghela nafas panjang aja deh*
    capek mo komen apalagi tentang negeri ini :D

    MERDEKA!

    Balas
  3. emang bener seperti kata komentator kapan hari (mas Gie mungkin), bahwa tulisan2 mas DV lama2 cocok buat dijadikan novel. Deskripsinya detail, pemilihan katanya bagus :)
    MERDEKA!

    Balas
  4. tadi pagi bangun tidur langsung nyanyi lagu itu… ini adalah lagu favoritku waktu masih di australia… setiap kali denger lagi ini darah mendesir sob…

    Balas
  5. yeah! tidak kuragukan cintamu pada indonesia, don. memang negara ini lagi kacau, tapi kurasa cinta orang-orang seperti kamu pasti akan membuat negara ini berbeda. merdeka!

    Balas
  6. merdeka hehe rasa nasional yang baik selalu tertanam pada mereka yang cerdas secara sosial,emosional, spritual

    Balas
  7. tergetar aku melihat videomu DV…
    Negri ini indah & kaya raya…. smoga tak salah urus terus menerus..

    salam,

    Balas
  8. baik atau buruk … inilah INDONESIA-ku!
    MERDEKA!

    Balas
  9. Keren!!!!

    Ga kebayang kalau saya disuruh menetap di luar negeri. Keluar dari pulau Bali aja rasanya udah kagak tahan.. :D

    Balas
  10. kata orang right or wrong, you’re still my Indonesia. tengkiu udah mention :)

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.