Bukan agenda terpenting sebenarnya, tapi acara liburanku ke Indonesia Juli 2012 lalu juga sekaligus untuk menyaksikan secara langsung segala hal yang selama ini hanya bisa kutonton melalui beberapa stasiun televisi tanah air yang kuakses lewat saluran parabola di Australia.
Misalnya soal kampanye pilkada yang ketika ku datang, 8 Juli 2012 silam sedang terasa benar gebyar-gebyarnya di seantero Jakarta.
Baru saja keluar dari bandara, tak hanya baliho-baliho segede gaban yang muncul di sana-sini, bahkan hingga lubang kakus umum pun tak luput dimanfaatkan para tim sakses peserta pilkada untuk sounding jagoannya.
…sebuah aksi pengotoran fasilitas-fasilitas publik kota.
Mengagumkan? Iya, sekaligus menjijikkan!
Menjijikkan, karena nyatanya apa yang kulihat dan saksikan sendiri kala itu adalah sebuah aksi pengotoran fasilitas-fasilitas publik kota.
Menghabiskan bermilyar-milyar rupiah dana untuk sesuatu yang tak tahan lama karena bukankah paling lama 5 tahun seorang gubernur akan bertahan? Atau setidaknya dua kali lima tahun? Dengan tambahan biaya yang minimal dua kali lipat dari yang sekarang pada kampanye sesudahnya? Itupun kalau terpilih, kan?!
Tapi, semuanya toh tak menghilangkan kebahagiaanku dalam berlibur. Aku berujar pada istriku, “Wah, kampanyenya benar-benar mirip dengan yang kita tonton di tipi ya, Hon!”
* ?* ?*
Kemacetan yang terjadi di Jakarta sebenarnya juga adalah sesuatu yang semula hanya kubayangkan ada di televisi tapi pada akhirnya ‘terbukti’ setelah aku merasakannya sendiri.
Untung saja, aku datang tepat pada hari minggu, hari yang cukup lengang dan tak macet jika definisi macet adalah benar-benar berhenti di tempat.
Untung saja, aku datang tepat pada hari minggu, hari yang cukup lengang dan tak macet jika definisi macet adalah benar-benar berhenti di tempat.
“Ya, kalau minggu sore memang begini ini… coba kalau hari biasa!?” tukas seorang kawan yang kutelpon untuk mengabarkan bahwa aku telah berada di Jakarta.
“Oh ya? Akan semacet apa kalau hari biasa?”
“Yah, besok kan kamu akan merasakannya, Don! Eniwei.. welcome back to Jakarta!”
Back? Kembali? Hey! Tak sekalipun aku pernah tinggal di Jakarta, jadi perlukah kawanku tadi menambahkan kata ‘back’ di sana?
Tapi sudahlah yang lebih penting dari perdebatan di atas adalah bahwa apa yang dikatakan temanku tadi terbukti benar karena keesokan paginya, Senin, ketika hendak pergi ke Kelapa Gading, baru berjalan beberapa kilometer dari rumah, kemacetan adalah sesuatu yang tak tertahankan.
Sebuah truk terbakar mengakibatkan lalu lintas mengular dan terdiam beberapa saat lamanya.
Sebagai ‘turis manca’, bolehlah aku sesekali menari di atas penderitaan kemacetan Jakarta, toh tak setiap hari juga bukan dalam bilangan bulan sekali aku kemari!
Dengan sigap aku keluar dari mobil, mengambil iPhone kesayangan, menyalakan aplikasi camera, pasang aksi dan ? jepret… jadilah foto ‘lejen’ seperti di bawah ini!
Semoga tak ada satupun kawanku di sini bertanya, “Ini parkir mobil beramai-ramai di jalan?” Jakarta oh Jakarta…
* ?* ?*
Hal lain yang sebenarnya jarang muncul di televisi tapi kusaksikan sendiri di Jakarta adalah tentang betapa jauhnya jarak strata ekonomi penduduknya meski jarak rumahnya tak lebih jauh dari jauhnya mata mampu melepaskan pandangan.
Pada suatu siang yang lengas aku pergi ke sebuah gedung yang tinggi yang megah. Ketika sedang menghadap ke jendela dan menyaksikan ‘hamparan’ Jakarta di bawah sana, betapa terkejutnya aku karena ternyata di balik kokohnya gedung-gedung yang tak hanya mencakar tapi menancap di langit itu, tampaklah rumah-rumah yang terlampau sederhana untuk dikatakan layak huni lengkap dengan kekumuhannya.
Rumah saling tempel dengan bahan baku tak solid, bentuk bangunan seperti rumah burung dara, pagupon kata orang Jawa.
Tali jemuran di depan dan belakang penuh dengan pakaian yang entah setelah dicuci apa ya masih tetap bersih di tengah udara Jakarta yang sudah jauh dari bersih?
…adalah deretan berdirinya kemewahan dari sebuah ‘anomali’ Jakarta, kawasan kumuh…
Rombongan anak-anak kecil yang mandi di sungai depan rumah sementara tak jauh dari sana para ibunya sibuk mencuci pakaian di sungai dan air yang sama pula…
“Ah, biasa!” demikian gumamku berusaha menetralkan perasaanku.
Biasa gimana? Ketimpangan itu nyata, Don! Hanya berbatas tembok dan kaca! Seberapa tebal kaca yang dipasang di jendelamu dan sejauh itulah kemiskinan mencoba hidup damai dengan kemewahan!
“Ah, biasa! Mana ada pemerintah yang mampu mengangkat harkat hidup semua warganya? Kata Iwan Fals sih butuh manusia setengah dewa!” sekali lagi gumam sebagianku yang lain melawan yang lainnya.
Sepulang dari sana, masih dalam suasana macet yang luar biasa sepanjang jalan, aku melewati areal pinggir sungai, water front istilah ‘Australia’ nya.
Tapi beda dengan Australia, di sini water front adalah kawasan mahal yang biasanya dihuni orang-orang kaya membangun rumah-rumah mewahnya tapi di Jakarta ini, ‘river bank’ adalah deretan berdirinya kemewahan dari sebuah ‘anomali’ Jakarta, kawasan kumuh berbatas tembok tinggi dan barulah dibaliknya, sebuah kawasan real estate ekslusif berdiri dengan sombongnya seolah-olah mengolok-olok perbedaan yang ada.
“Hon, yang beginian ada di tivi mana?” tanya istriku gamang.
“Hmmm? Tivi? Tak eloklah ditampilkan yang beginian!” jawabku.
Mobil tiba-tiba melaju kencang dan kemacetan itupun terurai, sesuai iklan yang kubaca barusan di pembatas jalan.
Selamat malam!
kalau mau terhindar dari macet, harus pintar membaca waktu-waktu “kosong” dan daerah “kosong”. Aku karena tinggal di selatan, tidak terlalu merasakan karena berkutat juga di selatan saja, yang bisa saja aku turun dan jalan! hehehe
But jika mau ke wilayah lain di Jakarta memang harus sport jantung, punya waktu yang cukup banyak, dan tidak lupa….. KENCING! hahaha
aku akan segera meninggalkan jkt..dan ketergantungan thdp jkt.. doakan ya :)
*menikmati tulisan ini, mengingat aku bukan pula penduduk Jakarta* :)
Surabaya belum separah itu macetnya, walaupun pada jam2 tertentu memang hampir dapat dipastikan jalan protokol macet. Dan batas antara si kaya & miskin… memang begitu pula adanya disini.
ah, mas. parkir seperti itu sudah biasa. malah kalau di Gading, pas macet seperti itu pedagang asongan bisa berjualan di TOL lho. hahaha ..
Inilah Jakarta, mas .
semua yang ada tipi, benar nyata adanya.
tapi yang pasti, senang dong bisa kopdar? haha *digeplak*
soal Jakarta dan kekumuhannya ak aja yg tinggal di SMG sampe gumun kok hihi~ pdhl ya tinggal cm di semarang, tetapi ketika pulang ke JKT memang terasa sekali rasa ttg pemukiman kumuh itu.
SMG juga sdg mengalami fase perkembangan menuju kota yg metropolis, ak juga merasa kota ini akan mjd smkn kumuh nantinya pada suatu saat, semoga saja pemimpinnya mempunyai visi yang lebih baik dalam membangun kota ini *malah curhat* =)))
ya begitulah kalau orang dari luar negeri melihat jakarta… tapi itulah indahnya… dirimu tidak akan mampu menerima ide tulisan sebanyak ini… hihihihihi hanya di jakarta.
ternyata bukan cuma aku yg merasakan hal2 ini kalau pulang ke tanah air, inequality, traffic jam, chaos, etc.. tadinya aku pikir aku tukang ngomel, ngeluh dan komplain, hihihi… ada temannya sekarang :-) asekkkk…
aku perlu waktu kira-kira 4 tahun untuk membiasakan diri melihat ketimpangan “sing ketok welo-welo” kaya gitu don. dan seperti yang pernah kutulis di blogku, akhirnya aku “menumpulkan diri” (atau mungkin cuek?) ya begitulah Jakarta. suamiku sering bilang, di balik gedung2 nan megah dan cantik itu banyak pemukiman kumuh. dan aku sudah pernah blusukan sampai ke belakang Grand Indonesia. kumuh pol! makanya aku sampai sekarang heran dengan slogan pariwisata Jakarta yang bunyinya: Enjoy Jakarta! sing dinikmati ki opone jal? ra mudeng blas! dan masih banyak orang mengatakan “mencintai” Jakarta. salut deh sama mereka. hahahaha!
setidaknya bisa jadi bahan kampanye cagub.. coba kalo gak ada macet… mrk gk p?nya program kali?? hehehehhe
Mudah2an pontianak gak akan jadi jakarta walaupun induk.dr kemacetannya sudah lahir.. ya aku fikir kalau walikotamya gak berfikir jauh alamat 5 tahun mendatang kemacetannya udah bisa fotoan kayak mas diatas deh
Jogja nyaris seperti itu sekarang, Don. Tapi kemacetan belumlah segila Jakarta. Namun, jika tidak ditangani secara serius dari dini, bukan tidak mungkin kemacetan di Jogja akan segila Jakarta..
kemacetan itu menunjukkan betapa rakyat Indonesia banyak yang sudah kaya dan mapan (jika diukur dari transportasi pribadi). :D dan kekumuhan itu?? Mestinya membuat yg berwenang berpikir serius dan mengambil langkah tepat untuk membuatnya tidak kumuh lagi. Bukan malah jadi objek kampanye program kerja yang entah kapan akan terwujud.
ke jakarta kontak aku bro…nanti aku ajak jalan2 ke ancol…
Hahai….
Ya beginilah kota Jakarta Don. Totally traffic. Dan harus dinikmati, daripada makin stress… :))
Aku pasti juga akan berpikir berkali-kali kalau ditawarin kembali lagi ke Jakarta…
keruwetannya benar-benar melumpuhkan kesabaran jee..
Jakarta itu kejam..