Summer in July: Kenapa kita memilih jalan ini?

12 Agu 2012 | Australia, Cetusan, Indonesia, Summer in july

Hari itu adalah hari keempat dari sepuluh hari kunjunganku ke Jogja.?Usai rangkaian perhelatan acara pernikahan Chitra, pada sebuah waktu yang luang, ketika anak dan istriku sedang terlelap dalam tidur siangnya, aku duduk di depan jendela kamar yang menghadap ke utara langit Jogja.

Mendung menggelanyut tapi tak pekat. Bersit jingga ada di sana-sini tanda sore telah mengendap datang. Pada beberapa kali kesempatan ketika angin menggerakkan awan dari satu tempat ke tempat yang lainnya, Gunung Merapi yang berjarak tak sampai 30 kilometer dari Jogja itu menyembul kebiruan.

Sesaat aku bisa menyaksikan punggungnya yang kian tampak tandus, bukan karena penebangan hutan tentunya, tapi karena begitulah cara Merapi merapikan diri melalui guguran lava dan awan panas yang dikeluarkannya, dua tahun silam.

Sementara itu di bawah sana, kampung Sagan yang kutuliskan di tulisanku sebelum ini sebagai playground-ku dulu, empat belas tahun lalu, tampak begitu jelas.

“…jangankan orang tuaku, aku sendiri pun tak tahu kenapa aku pada akhirnya memilih untuk menempuh ?jalan ini?, bukan yang ?itu? atau yang ?sebelahnya itu?”

Sejak beberapa hari kuperhatikan, bahkan aku masih ingat nama orang-orang yang berlalu lalang di sana. Mereka menua, tampak dari gurat-gurat di wajahnya dan renta di tubuhnya. Kutahu, ada beberapa fragmen hidup mereka yang menggurat di wajah yang di antaranya adalah bersamaku, sahabatnya, sama sepertiku terhadap mereka di gurat-guratku di wajahku.

Kenapa demikian? Karena ketika aku tinggal di kost di Resonegaran, aku pun banyak punya teman yang berasal dari kampung Sagan.

Kampung Sagan sendiri seingatku adalah kampung yang begitu guyub. Barangkali karena kebanyakan yang hidup sebelah-menyebelah adalah keluarga sendiri atau setidaknya saudara jauh.

Dalam berinteraksi dulu, aku tak pernah berpacaran ataupun naksir dengan salah satu gadis yang ada di sana dulu. Semua kuanggap teman, semua adalah kawan. Tapi sore itu tiba-tiba sebuah pertanyaan ‘nakal’ membesitku, “Apa yang akan terjadi kalau aku waktu itu akhirnya aku berpacaran dengan seorang ? entah itu keponakan ataupun adik teman yang tinggal di Sagan lalu menikah dan berkeluarga?”

Akankah hidupku sebahagia sekarang? Lebih bahagia? Atau justru lebih tak berbahagia?

Ah, barangkali aku saat ini akan berada di kampung yang sekarang kupandang itu. Sebuah rumah kecil, pada sebuah sore yang lembab, aku baru pulang dari kantor entah apalah itu namanya menggunakan sepeda motor cicilan. Masuk ke rumah disambut istri dan anak yang barusan mandi lalu berganti baju dan keluar duduk di lincak (kursi bambu) halaman bercelana pendek dan berkaus kutang ditemani teh panas kental manis dan kudapan gorengan; ngobrol dengan tetangga yang notabene adalah saudara-saudara ipar menghabiskan sore menyambut malam.

Begitukah? Mungkin!

?Ah, Tuhan itu pribadi yang tak pernah nanggung! Ia tak punya pilihan yang baik terhadapku. Ia hanya punya satu pilihan yaitu yang terbaik terhadapku!?

Atau mungkin lagi, aku tak tinggal di situ. Barangkali di Jakarta bergabung dengan jutaan kaum urban lainnya! Lalu aku pulang setahun sekali ketika Natal tiba. Tapi… kalau aku bekerja di Jakarta, akankah aku tetap bisa menginap di hotel ini ketika libur tiba dan memandang playground-ku ; tempat mertuaku dan saudara-saudara iparku tinggal?

Hmmm.. entahlah… Tapi mungkin juga!

Lalu tiba-tiba pikiranku loncat ke sekitar pertengahan tahun 2008 ketika aku dengan penuh percaya diri memutuskan pindah ke Australia dari sebuah zona nyaman yang teramat sangat!

Orangtuaku waktu itu hanya melakukan hal terbaik yang bisa dilakukan orang tua, pasrah!
Ia begitu percaya pada keputusanku atas hidupku sendiri. “Ya, yang terpenting kamu harus ingat kamu harus tanggung jawab pada dirimu sendiri dan… keluargamu, Le!” Demikian ujar almarhum Papa menasihatiku.

Ketika itu, jangankan orang tuaku, aku sendiri pun tak tahu kenapa aku pada akhirnya memilih untuk menempuh ‘jalan ini’, bukan yang ‘itu’ atau yang ‘sebelahnya itu’. Aku hanya melangkah berdasarkan keputusan bahwa aku saat itu memang berpikir ingin melangkah saja, tiada lain. Yang terpenting waktu itu, aku memutuskannya dalam keadaan sadar, tak berada di bawah pengaruh satu hal pun yang memengaruhiku.

Dalam tulisan terakhir sebelum pindah, aku menulis di blog ini, “Aku melihat sinar, aku menuju ke sana!”? Empat tahun sesudah itu, kukatakan saat ini kepada kalian kenapa waktu itu kulukiskan masa depanku sebagai ‘sinar’ adalah karena aku sendiri tak tahu apa yang ada di depan tapi kuyakin hal itu akan cemerlang, jadi kunamai saja ia sebagai sinar!

Ada kalanya kita perlu mengijinkan semuanya berlalu begitu saja dan kita hanya bisa mengandalkan kesan untuk mengingatnya.

Aku ‘tenggelam’ semakin dalam di dalam permenungan ini.
Sekian menit lamanya aku bermain-main dengan lamunanku. Menghadirkan sosokku yang kubayangkan ada dalam jalur hidup ‘yang bukan ini’ bukan untuk menyesalkan apa yang telah terjadi sekarang tapi sebaliknya, bersyukur dengan cara yang unik: mengadu dan memperdebatkan dua konsep hidup yang pernah suatu waktu menjadi pilihan, mana yang sebaiknya dipilih.

Di ujung lamunan itu, aku tinggalkan sejenak pandangan dari kaca jendela, memandang anak istriku yang tertidur pulas. menarik nafas dalam-dalam dan berpikir, “Ah, Tuhan itu pribadi yang tak pernah nanggung! Ia tak punya pilihan yang baik terhadapku. Ia hanya punya satu pilihan yaitu yang terbaik terhadapku!”

Aku berbalik kembali ke arah jendela. Hendak kutuntasi pengalaman batin yang mendebarkan ini. Sesaat lamanya kupandang Merapi yang kian menggelap ditinggalkan mentari lalu suara muadzin dari masjid terdekat hadir mengumandangkan adzan Maghrib.

Sebuah kolase yang begitu indah, sangat Indonesia dan begitu mahal karena tak pernah kutemui dalam keseharianku di Australia. Untuk kedua kalinya dalam beberapa hari sebelumnya, aku menitikkan air mata, tanda syukur yang tak tertahankan.

Ketika hal ini semua kuceritakan pada istriku , ia bertanya, “Tak kamu rekam? Tak kamu foto?” Aku menggeleng. Pengalaman batin sore itu terlalu mahal untuk sekadar diabadikan dengan media-media mutakhir tersebut. Ada kalanya kita perlu mengijinkan semuanya berlalu begitu saja dan kita hanya bisa mengandalkan kesan untuk mengingatnya.

Lagipula aku toh punya media yang lebih dahsyat daripada semua media yang sudah dan pernah akan ada. Bukan kamera, bukan pena. Bukan kertas film dan bukan pula blog ini. Tapi, nurani.

Sebarluaskan!

15 Komentar

  1. Hai Don.
    Aku merindukan tulisanmu yang seperti ini. Sarat dengan perenungan batin. Maaf aku tak pernah berkomentar untuk tulisan tamu, karena alasanku berkunjung ke blog ini kan untuk membaca tulisan si empunya blog.

    Aku sependapat DOn, pengalaman batin itu mahal harganya, saat dia datang harus dinikmati benar2, bahkan ponsel pun tak akan bisa merekam keindahannya.

    Balas
    • Hi Zee,
      maaf ya kalau tempo hari penuh tulisan2 ‘orang lain’. Sebenernya mereka menulis juga cuma saat aku mudik saja.. selebihnya, this media is mine :)

      Balas
  2. asyik nih baca tulisan yang ini… dalam sekali… pemilihan kata katanya bagus banget… salut don… cuakep..perenungannya. yang penting sadar akan pilihan dan jalan hidup…

    Balas
  3. aku kok jadi bingung meh komentar opo…
    ini tulisan “hati”, mungkin aku hanya perlu merenungkan kembali hidupku.

    Balas
  4. Tulisan khas Donny Verdian. Aku hanya bisa membayangkan betapa meruginya aku melewatkan beberapa bulan kunjungan ke blog ini.
    Sama kayak komen Zee diatas, saya mampir ke blog ini untuk bertegur sapa dengan si empunya blog, yang bulan kemaren lagi ‘mudik’. Tapi, to be honest, tulisan penulis tamu disini selama kamu mudik juga bagus-bagus koq..

    Balas
  5. keberanian untuk keluar dari zona nyaman adalah bagai busur panah meski terlihat sedikit mundur namun kemudian akan melesat kemudian
    tahun 2008 memiliki masa revolusi dan reformasi yang sama kang hehehe direktur tehnik milih keluar dari perusahaan hahaha akhirnya jadi aku sekarang….
    permenungan yang membuat aku juga lebih bersyukur dan makin berani dab

    Balas
  6. eh iyo njur wingi niliki bekas ssst atau seseorang sing nang sagan kui ra mas hem hem (sepotong kenangan)

    Balas
  7. kalimat-kalimatmu menghanyutkan….

    Dan aku setuju, permenungan batin tak selalu harus diabadikan dalam media modern…

    Kadang aku juga punya pikiran “nakal” seperti itu. Akan seperti apakah aku sekarang jika aku memilih dia yang lain dan bukan “dia yang ini”? :D

    Balas
  8. Asyik tulisannya. Kontemplatif. ;)

    Salam persahablogan,
    @wkf2010

    Balas
  9. DV,
    memilih jalan ini, itu, atau lainnya mungkin “mudah” namun kita dinilai bukan dari pilihan kita, tapi bagaimana kita bertanggung jawab atas pilihan kita, setia terhadap pilihan kita…
    Seorang teman pernah bilang:
    “jangan menyesali apa yang kita lakukan, ataupun apa yg tidak kita lakukan”

    Salam,

    Balas
  10. DV,
    memilih jalan ini, itu, atau lainnya mungkin “mudah” namun kita dinilai bukan dari pilihan kita, tapi bagaimana kita bertanggung jawab atas pilihan kita, setia terhadap pilihan kita…
    Seorang teman pernah bilang:
    “jangan menyesali apa yang kita lakukan, ataupun apa yg tidak kita lakukan”

    salam,

    Salam,

    Balas
  11. *sorry.. double enter…

    Balas
  12. dang! postingan ini nonjok. penuh kontemplasi.
    sama dengan pertanyaan saya dulu,

    “apa jadinya kalo saya gak jadi cuti kuliah dan gak jadi operator warnet?”

    Balas
  13. puji Tuhan
    dikau masih punya nurani dikau Mas..
    semoga tetap terpakai dengan semaximal mungkin..

    Balas
    • Amin, semoga. Doakan ya :)

      Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Donny Verdian | Gunungkelir - [...] mereview siapa Donny Verdian namun saya sedang menikmati tulisan dia yang bertajuk Rosonegaran dan Kenapa kita Memilih Jalan ini…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.