Summer in July: Bagaimana mereka menilai kemajuan sebuah negara?

16 Agu 2012 | Australia, Cetusan, Indonesia, Summer in july

Siapa bilang negara maju itu lebih maju segala-galanya dibanding negara dunia ketiga?

Pada suatu siang saat liburan kemarin, seorang kawan lama, sebut saja Ariana namanya, menelponku. Setelah berbasa-basi kabar lengkap dengan pertanyaan, “Kapan mampir ke tokoku?!”, berikut adalah petikan yang menurutku menarik dari percakapan itu.

“Kamu di Jakarta kemana aja, Don?”
“Wah, mau kemana lagi Yan, kalau ndak di rumah ya di mall!”

“Lho?”
“Lha kemana lagi? Macetnya edan-edanan gini? Panas! Polusi!”

“Hehehe iya sih, tapi apa ngga bosen tho dengan mall-mall Jakarta? Kan kecil-kecil tho, gak kayak di Sydney?”

“Wah, kamu salah, Yan! Mall di Sydney itu gak ada apa-apanya dengan yang ada di Jakarta?”

“Ah moso?”

Mall di Sydney itu ukurannya lebih mini dibanding dengan beberapa mall kelas atas Jakarta.

Yup! Dia salah! Mall di Sydney itu ukurannya lebih mini dibanding dengan beberapa mall kelas atas Jakarta.

Mall di Sydney CBD (pusat kota) misalnya, menurutku yang terbesar hanya dua, QVB (Queen Victoria Building) dan Westfield di Pitt St. Itupun tak megah dalam artian makan tempat yang sangat luas seperti mall-mall di Jakarta yang kusebutkan di atas, koleksinya pun juga bisa dibilang hampir semua merk ada dijual di mall-mall besar di Jakarta.

Bahkan kalau mau lebih mendetail lagi membicarakan tentang perbedaan Jakarta dan Sydney sebagai sesama kota besar di dunia, kalian yang ?anak mall? pasti tahu lah betapa telah menyebarnya outlet-outlet ZARA di mall-mall besar di Jakarta sejak beberapa tahun silam. Tahu kalian kapan pertama kali ZARA buka outlet di Sydney? April 2011 silam!

See! Terbukti kan dalam hal mall dan ?hal begini-beginian?, Jakarta jagonya!

Tapi cerita di bawah ini semoga tidak mengurangi rasa kagumku pada Jakarta terhadap hal yang kuceritakan tadi.

Jadi, karena istriku perlu melakukan pemeriksaan rutin untuk kandungan anak kedua, kami lalu pergi ke sebuah rumah sakit terkemuka di kawasan Jakarta Utara, sebut saja XYZ namanya.

Setelah mendaftar untuk pemeriksaan, kami diminta untuk pergi ke kasir yang letaknya sekitar 10 meter dari loket pendaftaran. Antrian tidaklah terlalu banyak, dan tak sampai beberapa menit kemudian kami telah duduk di depan kasir.

Sebelah-menyebelah dengan kami adalah sepasang suami-istri yang dilayani kasir lainnya.?Sejak awal aku tak mengikuti apa yang diperbincangkan antara si istri yang duduk di sebelahku dengan kasir (sementara sang suami akhirnya duduk ke belakang).

Tapi dari gelagat bahasa tubuh serta wajahnya, ada sesuatu yang menarik bagiku untuk meruncingkan telinga dan memicingkan syaraf ke-kepo-anku untuk mencari tahu, “What?s going on!??”

Tak sampai lima menit kemudian, kuketahui demikian jalan ceritanya kira-kira:

Si suami-istri itu sedang memeriksa (entah siapa yang sakit aku tak berhasil menangkap pasti).

Dari proses pemeriksaan dan penebusan biaya obat, ia harus membayar 1.3 juta rupiah.

Rupanya si suami-istri itu tak punya uang dan meminta keringanan. Tapi apalah daya seorang kasir, ia pun tak bisa meluluskan permintaan tersebut.

Sang istri akhirnya memutuskan, setelah berdiskusi dengan suaminya, untuk meminta kopi-an resep dan akan mencari jalan lain untuk menebus obat di tempat lain.

Dalam perjalanan pulang, di tengah kemacetan yang seakan tiada habisnya, aku tiba-tiba dihadapkan pada wajah memelas suami-istri tadi dalam lamunan.

tubuh kedua direktur itu kian lama kian membesar setiap sepasang suami istri menyelipkan uang di sakunya.

Aku membayangkan kedua suami istri itu sebagai entitas yang mungil dan tiba-tiba datang sosok direktur rumah sakit dan direktur salah satu mall terbesar di Jakarta. Keduanya bertubuh tambun.

Pada setiap pasang mata para direktur itu berbinar-binar keemasan dan tanda dollar di dalamnya mirip di film-film kartun-kartun itu.

Anehnya, tubuh kedua direktur itu kian lama kian membesar setiap sepasang suami istri menyelipkan uang di sakunya. Pada saat yang bersamaan, tubuh suami-istri semakin mengecil.

Karena saking besarnya, mereka, para direktur yang sekarang jadi super tambun itu lantas menghimpit sang suami-istri dan akhirnya meledak.

Ledakannya memusnahkan suami istri dan semuanya yang ada di sekitarnya lalu uang-uang yang diselipkan tadi berhamburan dan diterima oleh banyak direktur-direktur baru yang masih kecil. Dan peristiwa itupun berulang-ulang.

Kawan, lamunanku mungkin sangat absurd, tapi itu benar-benar terjadi dalam benakku sore itu.

Bayangan tentang direktur mall yang tambun mungkin banyak dari kalian setuju karena mall memang identik dengan keuntungan uang, uang dan uang.

Tapi bayangan tentang direktur rumah sakit harusnya tak tampil seperti itu.

Ia barangkali lebih cocok tampil dalam bayangan seorang yang kurus, bersahaja dan kalau perlu lengkap dengan tanda-tanda agamis, sesuatu yang kalian suka.

Ya, karena ia seharusnya menjadi direktur para malaikat penyayang jiwa.?Tapi sayang, semakin lama, dengan semakin banyaknya alasan untuk menjadikan rumah sakit sebagai sebuah tempat usaha dan kesehatan sebagai komoditi, si kurus nan bersahaja itu lama-lama menjadi tambun dan menjabat peran sebagai direktur rumah sakit yang komersial yang alih-alih membela dan menyembuhkan yang lemah, telah menjadi penghisap yang lemah dan sakit, masalah sembuh tidaknya, nanti dulu.. atau kalau mau lebih halusnya, “Hidup mati dan sehat sakit di tangan ? Yang Di Atas” sambil menunjukkan tangan ke atas dan mata yang seolah teduh.

Maka, tak salah kan lamunanku tentang dua direktur yang tambun tadi?

…ketika semua hal itu terjadi, dimana ?negara? berada dan berposisi?

Yang kadang mengusikku, adalah ketika semua hal itu terjadi, dimana ?negara? berada dan berposisi?

Dimana negara ketika komersialisme di segala bidang telah membawa generasi ini ke arah hedonis yang merasa nyaman hadir dalam sejuknya AC di mall-mall raksasa itu?

Dimanakah negara ketika melihat sosok suami-istri tak mampu membayar 1.3 juta untuk menebus obat dan ongkos periksa?

Adakah mereka peduli? Maaf, kuulangi, adakah mereka telah benar meletakkan kepedulian mereka? Bukan untuk mereka yang telah kaya untuk menjadi semakin kaya, tapi untuk si miskin yang sebenarnya mereka tak butuh menjadi kaya, dalam konteks suami-istri tadi, mereka sebenarnya hanya butuh sehat saja?

Kenapa sehat harus mahal dalam sisi pembiayaan sementara begitu banyak uang dihambur-hamburkan untuk dimaling bersama-sama?

Ah, kemajuan suatu bangsa pada akhirnya jatuh pada pandangan relativitas sosok penguasa. Bagi sebagian penguasa, barangkali memang kesejahteraan rakyat secara merata lengkap dengan penanganan kesehatan yang ramah biaya adalah satu pencapaian kemajuan sementara di bagian dunia lain, kemajuan negara ditunjukkan pada seberapa banyak orang bisa berdecak kagum atas pembangunan-pembangunan simbol kemutakhiran layaknya mall-mall tadi diadakan.

Skali lagi, tergantung darimana dia, yang di istana itu, melihat.

Maaf, tulisanku mendadak jadi runyam!

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Semua berujung di uang, Mbah. Mall diciptakan untuk mereka yang memiliki banyak uang. Rumah sakit juga lebih memilih yang memiliki uang. Sama kayak pak presiden, dia juga sedang cari uang.

    Balas
  2. wah kalau di australia ya ga mungkin menang sama perkembangan mall di jakarta… pasti tewas deh. hanya saja bedanya mall di jakarta lebih sporadis berdirinya… cenderung asal asalan.. kalau di sana dikit tapi proper tempatnya… Rumah sakit memang milik orang berduit.. tidak ada duit maka menderitalah… :)

    Balas
  3. selain kesehatan, pendidikan jg ber”perilaku” sama DV!

    Miris melihatnya…

    Salam,

    Balas
  4. di luar sana pasti mall tutup hari jumat sabtu minggu, kalau di sini mall pasti pueeeenuhhhh hari jumat sabtu minggu. itu juga bedanya kemajuan sebuah negara Don hehehehe

    Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Sekali lagi, bagaimana kalian menilai kemajuan sebuah negara? ? Donny Verdian - [...] terakhir, kalian masih ingat tulisanku yang ini ketika aku membahas soal mall di Australia yang kebanyakan menggunakan gedung-gedung tua…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.