Kabar Baik yang ditulis Yohanes hari ini mengetengahkan Thomas yang baru percaya bahwa Tuhan bangkit setelah melihat dan mencucukkan jemarinya ke dalam bekas luka Yesus.
Hal itu memberi gambaran kepada kita, sejauh mana kita telah berada dalam peringkat ?seberapa percaya? kita kepada Tuhan.
Peringkat ?Seberapa Percaya?
Yang paling baik tentu yang percaya meski tidak/belum melihat.
Bunda Maria adalah contohnya. Bunda bukan orang pertama yang mengetahui bahwa Yesus telah bangkit dari mati dan kuburNya kosong. Tapi ia percaya sepenuhnya meski belum melihat.
Thomas, yang kita bahas hari ini, ada di posisi kedua alias tengah-tengah. Dia tidak percaya meski kawan-kawannya sudah percaya bahwa Tuhan bangkit. ?“Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.? begitu katanya seperti ditulis dalam Yohanes 20:24.
Di posisi terakhir, adalah mereka yang tidak percaya meski sudah melihat dan merasakan keberadaanNya. Penyebabnya banyak macam. Bisa jadi karena ia memang menolak percaya. Bisa juga karena ia tak sadar bahwa sejatinya ia telah berada di dalam bukti-bukti kebesaranNya sendiri.
Hoax!
Hari ini aku tertarik merenungi bahwa meski kita diajak untuk percaya meski tidak melihat, tapi mencermati kenyataan akhir-akhir ini terkait maraknya berita palsu/hoax tentang segala hal, adakah sikap tersebut adalah sikap yang bijaksana?
Hoax tak hanya melanda dunia politik. Dalam hal-hal yang nuansanya relijius dan sosial, hoax pun memenuhi ruang-ruang pembicaraan kita. Contoh yang mudah ditemui adalah tentang permintaan bantuan.
Suatu waktu aku pernah menerima pesan edaran melalui WhatsApp tentang permintaan bantuan bagi seorang anak yang menderita sakit. Untuk menguatkan, dalam pesan tersebut disertakan pula beberapa buah foto terkait si anak dalam kondisi yang memang tidak menggembirakan.
Karena terkesan valid, akupun lantas ikut menyebarluaskannya. Pikiranku sederhana, ?Orang susah perlu dibantu dan hati yang menderma itu adalah amal yang baik untuk hidup kekal!?
Tapi beberapa hari kemudian, aku mendapat pesan berikutnya yang menyatakan bahwa pesan permintaan bantuan yang beberapa hari sebelumnya kubaca dan kusebarluaskan adalah hoax! Tidak ada anak yang sakit dengan identitas yang disebutkan dan foto-fotonya pun diambil dari sembarang sumber di internet. Tujuannya? Memperkaya diri yang pertama kali menyebarluaskannya!
Lebih baik menjadi Thomas?
Hal itu lantas membuatku trauma! Kalau tidak kenal betul dengan orang yang hendak dibantu, ya aku tidak membantu apalagi tidak menyebarluaskannya. Namun berkaca dari situ, aku jadi bertanya-tanya, bukankah kalau begitu aku ini tak beda dengan Thomas yang baru percaya setelah melihatNya?
Orang yang ?bijak? barangkali akan berkata, ?Kalau mau bantu ya bantu aja, Don! Perkara duit hilang toh yang penting niatnya baik!?
Tapi kalau demikian, bagaimana kalau suatu saat karena saking seringnya tertipu aku jadi jengah dan menutup hati untuk tak percaya sama sekali ketika ada permintaan sumbangan bahkan dari yang kenal sekalipun? Kalau begitu, bukankah peringkat ?seberapa percaya? ku akan jadi turun?!
Dari situ aku memantapkan hati untuk lebih baik men-thomas-kan diri! Yang penting toh punya intensi untuk mencari kebenaran dan ketika menemukan baru kita mempercayai daripada gelap mata lalu terperosok pada muslihat yang jauh dari kebenaran? Toh kita juga diberi akal dan budi yang kita pakai untuk check dan re-check tentang informasi yang kita terima dari sekitar.
Tapi, DV! Kalau begitu kapan kita bisa ?naik kelas? menjadi orang yang percaya meski tak melihat?
Itu urusannya Tuhan.
Toh yang tahu naik kelas atau tidak naik kelas bukan kita sendiri dan bukan orang lain melainkan Tuhan? Yang pasti, yang harus kita syukuri adalah, melalui Gereja Katolik setiap tahun, pada minggu kedua Paskah seperti sekarang ini, Tuhan memberi kesempatan kita untuk berkaca pada sosok Thomas, ?Sudah se-thomas apakah kita ini??
Mari terus-menerus berusaha dan mengerjakan keselamatan kita masing-masing!
Sydney, 28 April 2019
0 Komentar