Tulisan tentang buzzer memang seperti tak ada matinya.
Minggu lalu, lini masa Twitter lumayan geger gegara tulisan Si Hamid, anak Jogja yang pernah menjadi penulis tamu di sini (Blogger dan Digital Salah Kaprah), yang meski belum pernah kutemui secara langsung tapi sepertinya berbudi baik.
Ya sudahlah, aku tak mau menulis tentang buzzer lagi di sini. Selain karena tak ada hal baru yang bisa digali tentang mereka simply karena aku tak mau mengganggu periuk nasi orang lain. Tapi toh barangkali karena magnet tulisan itu luar biasa, ada hal lain dari sana yang memicuku untuk menuliskannya di sini. Bukan buzzernya as i said, tapi lebih ke analogi yang ia buat yaitu tentang tukang obat abal-abal, pembalak hutan di Kalimantan dan spammer sms. Sebenarnya aku tertarik untuk mencoba menelaah ketiga profesi itu tapi supaya tak kepanjangan aku pilih dua saja, jangan tiga.
… masalah nurani memang masalah kepekaan dan kejujuran hati tak ada yang mampu menilai benar salah tapi kamu akan ternilai seturut dengan hal-hal apa yang bisa kamu sumbangkan untuk kemajuan kemanusiaan dan kehidupan.
Waktu kukecil dulu, di alun-alun Klaten, setiap malam minggu selalu dipenuhi dengan deretan tukang obat yang menggelar atraksi untuk menarik perhatian pengunjung.?Aku, Mama dan alm. Papa (Chitra waktu itu belum lahir) yang biasa menghabiskan waktu untuk makan di restaurant di samping alun-alun pun mau-tak-mau tertarik untuk mendekat dan mengamati. Obat yang dijual pun macam-macam. Mulai obat yang dikonsumsi untuk kesehatan, mengobati sakit-penyakit hingga ‘obat’. keperluan dapur semacam penjual obat pembersih noda, hingga ada pula obat yang menawarkan hal-hal terkait pemenuhan kebutuhan seksual seperti penumbuh rambut, jambang, pembesar penis dan aneka rupa lainnya.
Entah barangkali karena aku masih terlampau kecil untuk mengetahui seluk-beluk seksual dan tak perlu pula mengonsumsi obat-obat terkait kesehatan yang dijual disitu, Mama mengajakku mendekat ke penjual obat pembersih noda. Ketika itu sang penjual obat memberi prakata pembukaan lalu digelarlah atraksi menyiramkan saus tomat ke baju seorang yang sepertinya sudah disetting untuk disirami. “Tenang, Bapak Ibu… saya punya obat untuk membersihkannya!” Baju si orang itu lantas dilepas, ditaruh di pelataran alun-alun yang disinari petromak yang dibawa olehnya lalu diolesi obat yang ia jual dan dalam sekejap hilanglah noda saus tomat itu. “Yak! Obat ini bisa juga untuk mengatasi noda cat, kecap bahkan oli!??Silakan dibeli hanya 250 rupiah saja.”?Yah, waktu itu, awal 80an. uang Rp 250,- adalah sesuatu yang sudah lumayan mahal sebenarnya.
Tapi walau mahal, waktu itu Mamaku terbuai oleh omongan bakul obat tersebut. Dibeli lalu dibawanya pulang sebuah tabung berisi obat pembersih noda itu lalu sesampainya di rumah, kami tak sabar untuk langsung mengujicobanya.?Tapi hasilnya ternyata mengecewakan dan untung kami baru mencoba pada luasan noda yang tak terlampau luas, hanya setitik saus tomat yang coba diteteskan di lap meja makan.
“Ah, biar besok mau kubawa lagi ke alun-alun untuk dikembalikan!” sergah Mamaku, kecewa tentu saja. Tapi sayang, kami tak pernah bisa menemukan lagi si tukang obat yang ternyata abal-abal itu hingga akhirnya ya sudah kami buang saja obat itu tadi dan uang tak kembali.
Lain lagi soal spammer sms.
Beruntung waktu sebelum aku pindah ke Australia (sebelum tahun 2008) jumlah spammer yang konon menjengkelkan itu belum terlalu banyak jumlahnya meski kalau yang kudengar dari social media, keluh kesah mereka setiap menerima spam sms memang sesuatu yang mudah membuat kesal dan merah telinga.
Model-model pekerjaan yang ditulis Hamid itu tadi membuatku berpikir, selain karena ‘Jangan ganggu periuk nasi’, adakah hal lain yang digunakan untuk melakukan justifikasi oleh pelakunya sebelum memilih profesi pekerjaan itu bahwa “OK, aku akan memilih jalan ini sebagai pekerjaanku!”
… jargon ?halal-haram? itu sudah mengakar dan sangat aplikatif untuk merepresentasikan ?surga vs neraka?, ?si baik vs si jahat?
Entah, tapi aku mencoba menempatkan diri menjadi mereka, barangkali tamengku adalah agama dan tatanan moral yang sedang jadi ‘trend’ saat itu, “Mau apa loe, yang penting halal menurut agama dan nggak judi dan nggak korupsi!” Dan kupastikan tameng itu cukup ampuh. Kenapa?
Pertama, jargon ‘halal-haram’ itu sudah mengakar dan sangat aplikatif untuk merepresentasikan ‘surga vs neraka’, ‘si baik vs si jahat’?Apalagi bagi pemeluk agama yang hanya menyandarkan ajarannya pada kitab suci, barangkali tameng tambahan yang bisa dibangun adalah, “Emang jadi spammer sms, tukang obat abal-abal dan pembalak hutan itu ditulis dalam kitab secara lugas?”
Atau dalam tatanan moral yang sedang ‘trendy’, misal seperti sekarang, orang mengincar betul kejahatan dalam bentuk korupsi dan media menabalkannya sebagai suatu ‘border’ yang jelas bahwa kalau kamu korupsi pasti kamu dosa dan salah sementara yang lain, “Sebentar, tunggu dimuat di media dulu!” Jadi, cukup dengan menggunakan “Asal nggak korupsi” ditambah dengan “Asal nggak judi” dan di-gong-i dengan “Yang penting halal” tameng itu telah berubah jadi tembok sekaligus batok tempurung penutup telinga. Sementara kita yang cukup cerdas berteriak-teriak sekuat dan senyinyir apapun, ia tetap lenggang kangkung seolah tak terbantahkan semata karena tak terdengar lagi terlihat itu tadi!
Padahal kan seharusnya tak demikian jika mereka mau menggunakan nurani melebihi dari segala pertimbangan apapun termasuk moral yang trendy dan agama sekalipun!
Bagiku, nurani adalah yang tertinggi.
Aku membayangkan kalau seandainya tukang obat abal-abal tadi pakai hati nurani bahwa meski ia tidak judi dan tidak korupsi, tidak pula melanggar kitab agama (karena waktu itu belum ada profesi tukang obat abal-abal jadi tak mungkin ditulis secara detail) ia toh sebenarnya tahu bahwa obat penghilang noda yang dijualnya itu hanya bisa bekerja jika semua kecap, saos dan oli menggunakan bahan yang sama dengan saus tomat abal-abal yang disiramkan ke baju orang yang telah diset tadi.
Dan seorang spammer SMS, meski ia telah memberikan nomer telepon yang dihubungi untuk memutuskan layanan sewaktu-waktu kepada para pemilik nomer telepon yang disasarnya, meski ia bisa bilang “Pake fasilitas block di handphone anda kalau anda tak berkenan menerima pesan kami” atau “Kalian ngapain ribut lha wong yang punya network aja nggak ribut kok” sekali lagi, gunakan nurani, ketuk pintunya dan bertanyalah baik-baik, “Meski tampaknya halal, sudah benar-benar halalkah pekerjaanku saat ini?”
Pada akhirnya, masalah nurani memang masalah kepekaan dan kejujuran hati tak ada yang mampu menilai benar salah tapi kamu akan ternilai seturut dengan hal-hal apa yang bisa kamu sumbangkan untuk kemajuan kemanusiaan dan kehidupan. Kata orang Jawa, migunani tumraping liyan, berguna bagi sesama.
Semoga tulisan ini tak terlalu menganggu periuk nasi kalian eh, mereka semua…
Lhaaaaaaaaa…. Ngapain ribut wong yang punya fiber optik buat konek ke internet aja ndak ngeributin kok hahahahaha *pedotin fiber optik pake gergaji mesin*
njaluk dimensyen-ke apa mensyen dhewe? :)
Investasi yg datang dari ‘offshore’ juga gak jelas lho asal-usulnya. Banyak orang/lembaga yg ‘mencuci’ uangnya melalui perusahaan investasi di luar negeri. Lha kita njuk kepiye ki?
itu yg kadang kupikirkan… kerjaan yang mungkin terlihat migunani tumraping liyan itu apakah benar2 migunani, dan untuk liyan yang mana? CEO? Investor?
tak merenung dulu sambil memandangi desain oil rig ini…
Hmm kalo menurutku sih, kita perlu terus menerus mempertanyakan hal itu setiap saat “Masih migunani kah?” Kalau masih, go on and make it better.. tapi kalau nggak, let’s move on! :) Nurani toh nggak hanya dipakai untuk kontak sekali lalu dibuang.. It’s not disposable thingy :)
Jangan ganggu periuk nasi kami walau pekerjaan kami akan mengganggu periuk nasi saudara -@denkenthir-
Hahahaha, apik iki!
wes ah bikin postingan wae hari ini soal buzzer, tapi yang pasti sih bukan tentang periuk nasi #eaaakkkk *kerjo sek*
Kamu baca judul lalu terjun ke kolom komentar dan langsung isi ya, Dut? :)
kamu kok meremehkan niatku buat baca blogmu to kang? :| #LaluDrama
Aku tidak meremehkanmu, Upik abu :)
Yg kerja pake komputer, sudah ori belum OS nya?
Udah baser, pake komputer bajakan pula.
Mendingan saya, baser tapi komputer gak bajakan #eh
Eaaaaa!
Semoga kerjaanku migunani tumraping liyan semoga… *lanjut mantengi monitoring trafik internet
kalo aku, as long dia jujur ttg produknya, fair dan ga keseringan nge buzz , trus cara ngebuzz nya ga norak, aku sih masih bs toleran… atau krn di TL ku jumlah buzzer bs di hitung dg 5 jari saja yah, jd blm terlalu mengganggu… kalo mmg sdh mengganggu serahkan pada tombol unfollow dan block.. hahahhahaha
Kok kamu tiba2 ngomongin soal buzzer padahal aku udah bilang nggak sedang menulis soal mereka? :)
aku kepancing don.. tak kaitke karo tulisanne hamid soale :))
blaikkkk jadi inget sejte saru… pas nulis rusuh … ada yang prutes terus bilang … lha wong yang punya twitwer ajah nggak nglarang kok sampean nglarang
Hahahaha, njaluk kumensyenkan apa mensyen dewe? :D
Hidup adalah tagar…tagar makan tanaman….
basser2 saiki do mumet…hahahhaa
wes Peng mbalik ngurus kopi maneh wae :D
Semua haruss dikembalikan ke diri sendiri,ganti pelaku.
Huahahahahaha….. Kelingan jaman kapusan obat pemutih gigi. Tibak’e isi baiklin! Asutenan bakule huahahahaha :)))))
#ngakaknjengkang
hahahahahah. iki sulaya tenan nek iki :mrgreen:
Aku pernah mbahas ini ama temen. Waktu itu aku berapi-api & menyindir mereka yg kerja di sawit/minyak goreng sawit, aqua, nike/adidas yg buruh2nya diperas, hingga mereka yg pake produk foxconn waktu rame berita perlakuan thd karyawannya.
Pernah juga aku kecewa waktu ngajak teman utk isi petisi ttg lumba-lumba ato apa, lupa. Katanya, sbg bapak dia udah ga punya waktu mikir gituan, mending mikirin susu & SPP anak.
Semua berujung pada pemenuhan kebutuhan keluarga, yg skrg sedikit kurasakan. Aku jd sedih, apakah berkeluarga sedemikian “nista” hingga membuat kita kehilangan idealisme & kompromi demi materi/duit? demi anak2 dan masa depan yg lebih baik bagi mereka?
Kalo menurutku jawabannya sudah kau jawab sendiri yaitu kompromi..
Pesan dari tulisanku ini sebenarnya simple, kita harus selalu berani bertanya pada nurani setiap waktu apakah kita masih ada di jalur yang benar atau tidak karena keenganan untuk bertanya pada nurani itulah yang akhirnya membuat kita bebal dan ‘buang badan’ terhadap segala sesuatunya (dan akhir-akhirnya pake tameng agama dan moralisme trend yang kusebut tadi).
Selebihnya kupikir hanya Gusti Allah yang tau jawabnya, kita manusia hanya bisa menebak jalan pikirNya sehingga di sini aku mensyukuri setiap perasaan yang selalu khawatir “Jangan-jangan jalanku salah? Jangan-jangan sudah benar? Pernah benar?” dst…
Ah curcol dikit. Aku bersyukur sampe skrg ga tertarik utk apply kerja di tambang/sawit. Sok prinsip sih hahaha, walau karir & materiku ga sebaik temen2 yg kerja di sektor tsb.
Waktu berlalu. Kebutuhan utk menabung mulai dirasa mendesak. Tiba2 ada beberapa tawaran kerja yg bersinggungan dg prinsipku selama ini. Ada yg kutolak krn beneran berlawanan dg prinsipku, walo itu berarti duit melayang. Yg satu, berat hati, tp entah gimana ga jadi. Antara nyesel krn ga dapat duit, tp juga lega krn ga jadi bertentangan dg prinsipku.
Entah nanti kl punya anak, semoga anak & keluargaku bisa paham prinsip ibunya :/
Nah! Itu yang kusinggung tadi, Mbak Met.. Bersyukurlah karena punya perasaan ‘nyesel’ ‘pengen’ tapi lalu ‘stop’ karena artinya ada hubungan antara kamu dengan nurani, menurutku sih.. :)
Kudoakan kamu lekas punya anak dulu karna ketika doa itu terkabul percayalah Tuhan sudah menyiapkan jalan hidup si anak termasuk mengatasi kekhawatiranmu itu.
Salam untuk suami, terus berusaha untuk berketurunan ya karena itu menyenangkan! :D
Aaaaw amiiin, doakan ya kangmasku, hahaha
gaweanku yo mung mubeng2 nang kono-kono kuwi,.. gak semata karena cari duit. ada idealisme yg sokong dengan pekerjaanku. Tapi ya ga tau juga kalau suatu saat aku berubah haluan :)
Nah! Ketika berubah haluan pastikan bertanya pada nurani.. contemplacio in actio.. discrement :D
Setiap profesi pasti menjanjikan sesuatu. Apapun profesinya
Bukan hanya buzzer, seorang guru maupun dokter pun menjanjikan sesuatu
Janji yang hanya berlaku bila sejumlah asumsi tertentu terpenuhi
Dan percayalah, kalau diungkap semua banyak kok yang tidak sesuai janji
Tapi hanya beberapa pelanggaran janji yang diproses……yg melanggar norma halal haram, yg melanggar hukum
Tidak semua….
Kalau ttg norma halal – haram, bisa kita generaslisasi. Kalau ttg salah benar sesuai hukum, bisa kita bawa ke pengadilan. Pun kalau merugikan secara materi, bisa kita bawa ke pengadilan. Tapi kalau soal etis tidak etis, kembali ke nurani kan….kembali ke diri sendiri
Kalau kembali ke diri sendiri, tidak perlu menuduh atau membandingkan antar profesi kan…..tidak perlu membandingkan profesi buzzer secara umum sebagai pembalak hutan kan? Kecuali buzzer itu melakukan pelanggaran hukum seperti pembalak hutan……
Sebenarnya sudah saya beri ‘border’ sejak kalimat awal tulisan ini bahwa semesta pembicaraan tidak saya tujukan pada perkara buzzer. Memang saya mengambil tiga jenis pekerjaan yang dianalogikan oleh Hamid, pun soal pembalak hutan tidak secara spesifik saya bahas di sini.
Tapi bagaimanapun saya menghargai komentar Bung Bukik sebagai sahabat online lama saya. Dan saya setuju dengan apa yang Anda tuliskan di sini, tak ada satupun yang hendak saya sanggah karena semuanya memuat nilai-nilai yang telah saya tuliskan di tulisan ini.
Jabat erat.. mari semakin erat :)
Kala nipu ya tetep haram kan. kalau merusak lingkungan dan merugikan banyak manusia tetep aja gak boleh..
Btw.. udah lama gak komen disini ;)
Welcome back! Kemana aja? :)
Kadang kalau melihat orang yang “keterlaluan”, saya jadi bertanya-tanya apakah standar yang mereka gunakan berbeda dengan standar yang saya gunakan, apakah batas di nurani tentang boleh atau tidaknya suatu hal itu bisa berbeda-beda pada tiap orang?
Bisa jadi standar pada nurani itu sama, tapi kecuekan (ignorant) yang membuat orang bisa berbeda. Tetapi bisa jadi juga standar pada hati nurani emang bener-bener beda tiap orang.
Pertanyaan itu tentu saja belum ada jawabnya karena saya hanya bisa merasakan/membaca hati nurani sendiri, tidak bisa mengukur takaran hati nurani orang lain hehe.
Aku percaya nurani setiap orang sejatinya sama tapi karena berbagai macam hal yang mempengaruhi, ia lantas jadi tampak berbeda karena terselaput oleh banyak hal itu tadi.
Ah, sekadar berwacana sih sebenarnya :)
Mas, new paragraph di box komentar ini bakal otomatis gabung dengan paragraf sebelumnya ya? :))
Oh iya ya?
Ntar kubenerin hehehe…
Baiklah, mumpung belum ngalamin. Semoga kelak bisa pake hati nurani kalo saya sudah mulai bekerja. Terima kasih wejangannya om DV.. :D
btw, tombol follow blognya sebelah mana ya om? :o
Ngga ada tombol follownya :) Kamu bisa mengikuti RSS nya, di reader yang kamu pakai tinggal masukin URLku atau tinggal datang ke blog ini setiap senin dan kamis, selalu ada tulisan terbaru :)
Di tempat bekerja seperti saya, terkadang kita tidak berdaya walaupun mungkin nurani mengatakan hal yang sebaliknya.
Ketidakberdayaan itu yang harus dilawan, Bli :)
kalau mikirin bener salahnya dan minta semuanya di tulis di kitab. Bisa bisa tuh kitab ga bakalan ada di rumah, berat mas. Pokoknya kalau masuk mulut terus jadi telek..dan tidak merasa bersalah ya wes…
Some people berpikiran demikian; kitab mengungkap semuanya secara eksplisit padalah jelas tidak…