Akhirnya Wage hanya bisa tertunduk lesu ketika hakim menjatuhkan hukuman kurungan lima belas tahun penjara atas dakwaan pembunuhan terhadap Kliwon, sepupunya. Berbeda dengan Wage yang terdiam, suasana ruang pengadilan di belakangnya justru gaduh saat putusan itu selesai dibacakan. Sawitun, Ibu Kliwon beserta rombongannya yang hadir di persidangan tak terima dengan hukuman yang menurutnya kurang setimpal itu. “Nyawa balas nyawa!” ujarnya dengan mata nyalang berapi-api tertuju pada Wage, keponakannya serta Sawiyah, kakak kandungnya yang tak lain adalah ibu Wage yang juga hadir di persidangan.
Itulah akhir dari cerita panjang tentang setumpuk dendam Wage dan Kliwon yang pada akhirnya tuntas tiga bulan sebelum hari penghukuman itu tiba. Pada sebuah malam jahanam, Wage memutuskan untuk menghabisi Kliwon setelah keduanya bertengkar hebat siang harinya. Ia mendatangi rumah buliknya, Sawitun. Tanpa permisi dan basa-basi, Wage langsung menuju ke kamar Kliwon, menebaskan pedangnya ke lengan sepupunya itu hingga tersungkur jatuh dan dalam sekejapia menghunuskan pedang itu ke dada kiri Kliwon, mengoyak jantungnya dan matilah ia.
“…mengadili sesamanya berdasarkan sebuah tanda yang berlaku sangat subyektif namun dicoba untuk dilekatkan pada obyek…”
Adapun mengurai tumpukan dendam antara Wage dan Kliwon secara mendetail sesungguhnya serumit mengurai tali kusut karena selain rentang waktu yang lamanya lebih kurang sama dengan usia mereka, ada begitu banyak pula rupa kejadian yang ikut andil pada semakin tingginya tumpukan itu sendiri.
Tapi, bagaimanapun juga, sebagai pelajaran bagi kita semua, aku akan mencoba mengurai awal mula cerita kenapa dendam itu bisa terjadi dan berawal mula.
Dua puluh tujuh tahun silam, awalannya.
Sawiyah dan Sawitun, kakak beradik anak juragan tembakau di kota kecil di selatan Jawa itu hampir berbarengan melahirkan setelah keduanya juga hampir berbarengan pula menikah dua tahun sebelumnya. Sawiyah lantas melahirkan Wage, sepuluh hari sebelum Kliwon dilahirkan adiknya, Sawitun.
Tak jauh dari situ, ketika acara Selapanan (peringatan 35 hari kelahiran -jw) Wage digelar, dengan jumawa sambil menggendong anaknya, Sawiyah berujar, “Kalau aku… aku tak mengijinkan anakku minum susu sapi. Lihatlah, bukankah dia anakku sendiri dan bukan pedhet (anak sapi -jw)? Maka Wage itu anak ibu, bukan anak sapi!” Omongan itu sangat sederhana. Bahkan dua puluh tujuh tahun kemudian ketika ditanya, Sawiyah mengaku sama sekali tak memiliki niat untuk melukai seseorang dengan ucapannya tersebut. Namun sungguhpun demikian, nyatanya hal itu ‘menampar’ Sawitun yang karena keterbatasannya, Dokter menyatakan akan sulit baginya untuk menghasilkan ASI bagi Kliwon. Mau tak mau, Sawitun pun memberikan asupan susu sapi untuk menyambung hidup anaknya. Namun Sawitun tak mau menarik panjang, ia memasrahkannya pada waktu untuk mengurai lalu menghilangkan soalan itu.
Dan, waktupun menjalankan tugasnya dengan baik. Tiga tahun berlalu dan luka itu lambat laun mengabur. Sayang, sekejap ketika hendak menghilang, terciptalah kejadian ini. Pada sebuah siang yang biasa, Wage dan Kliwon terlibat pertengkaran anak kecil yang biasa. Wage yang sedang asyik bermain balok-balok kayu tiba-tiba terganggu dengan Kliwon yang datang dengan mobil-mobilannya. Air muka Wage berubah lalu ia marah dan memekik ke arah Kliwon. “Kliwon! Anak sapi!”
Sejak saat itulah, dendam terpantik. Luka yang seharusnya menghilang itu telah menemukan bentuk dan pelaku baru. Bukan Sawiyah dan bukan pula adiknya Sawitun tapi Wage lah yang menorehkan luka ke bilik hati Kliwon, sepupunya sendiri.
Kliwon, si anak malang yang tak pernah tersuapi ASI oleh ibunya itupun memiliki julukan baru, “Anak Sapi!” Awalnya hanya Wage, sepupu terbaiknya yang memanggilnya demikian. Namun lama-kelamaan, seiring bertambah besarnya mereka dan luasnya pergaulan, Wage selalu mengimbuhkan “Anak Sapi” saat mengenalkan Kliwon pada teman-temannya. Kliwon hanya bisa tersenyum setiap kali diperlakukan demikian. Sebuah senyum yang lantas tak dinyana oleh Wage sebagai sebuah kompromi yang akhirnya menuntut pembalasan… pembalasan atas perlakuannya.
Lima belas tahun kemudian, pembalasan itupun terlunasi.
Saat Kliwon dan Wage sedang bermain sepakbola bersama kawan-kawan lainnya di sebuah lapangan pinggir bangunan sebuah instansi, Wage yang menjadi kiper tiba-tiba berujar “Stop dulu! Lima menit!Aku kebelet pipis!”
Permainan pun terhenti, Wage melipir meninggalkan lapangan lalu merapat ke pagar bangunan, membuka celana dan kencing di sana. Kliwon yang semula bersikap biasa lalu tak mau kehilangan momentum. Si Anak Sapi itu tahu benar bahwa di salah satu tembok yang dijadikan pagar bangunan itu tertulis aturan “Dilarang kencing di sini kecuali anjing!”
Sekembalinya Wage ke lapangan, Kliwon menyeringai, “Wage! Kamu kencing dimana?”
“Di situ!” ujarnya tak menghiraukan Kliwon sambil terus berlari ke arah gawang yang dijaganya.
“Kamu tak tahu ya?”
“Hmmm…?” Wage menghentikan langkah menoleh ke Kliwon sebentar.
Kliwon datang menghampiri Wage. Telunjuknya dipukul-pukulkannya ke dada sepupunya pelan-pelan namun matanya menatap tajam. “Kamu… kamu anak anjing, Wage! Kamu tak tahu kan bahwa hanya anjing yang boleh kencing di situ!”
Meledaklah tawa di lapangan itu. Semua tergelak kecuali Wage yang terdiam. Kali ini gantian ia yang harus mengulum senyum. Saat itu, angin seperti mendadak terdiam dan matahari semakin terik membakar bumi seakan keduanya ingin sama-sama menandai kedudukan dendam Kliwon serta Wage yang telah menjadi sama kuat, satu-satu.
Itulah catatan yang bisa kuungkapkan sebagaimana awal mula tumpukan dendam antar keduanya terjadi. Kurun waktu dua belas tahun sesudah peristiwa si Anak Sapi menghina si Anak Anjing itu adalah rentang yang cukup untuk membawa persoalan dendam tak berhenti pada tingkat saling ejek nama saja. Ketika takdir memuncaki setiap dendam yang telah saling terbalaskan antar keduanya itu, Wage nekad menghabisi Kliwon dalam arti yang sebenar-benarnya dan seperti yang sudah kita tahu, Wage harus puas meringkuk di ruang pengap nan apek bernama penjara untuk lima belas tahun lamanya.
* * *
Kalian tak perlu meraba-raba siapakah sebenarnya tokoh-tokoh nyata dibalik Wage, Kliwon, Sawiyah dan Sawitun yang kuceritakan di atas. Kali ini aku tak memiliki pretensi apapun dan tak pula menyembunyikan siapa-siapa dibalik peran dalam tulisan ini. Semua hanya fiksi semata-mata dan kalian tak salah kalau menganggap jalan cerita di atas terlalu mengada-ada meski aku juga berani bilang bahwa pola persolaan yang terjadi antara Wage dan Kliwon bukanlah sesuatu yang jauh dari kehidupan nyata kita.
Stigma adalah mata pusaran persoalannya. Ia menjadi piranti bagi pihak yang hendak menghukum untuk mengadili sesamanya berdasarkan sebuah tanda yang berlaku sangat subyektif namun dicoba untuk dilekatkan pada obyek, semacam memaksakan bentuk dari yang relatif menjadi tetap, dari yang subyektif menjadi obyektif.
Stigma berusia lebih kurang sama tuanya dengan usia peradaban ini. Kain, anak Adam-Hawa, adalah moyang yang ter-stigma-kan untuk pertama kalinya karena membunuh saudaranya, Habil. Stigma dilekatkan Tuhan yang lantas ditabalkan menjadi Sang Maha Obyektif pada Kain sebagai tanda hukuman baginya bahwa sampai kapanpun dan kemanapun ia pergi, Kain tak lebih dari seorang pembunuh yang tega menghabisi saudara kandungnya sendiri.
Beribu-ribu tahun sesudah peradaban dimulai, stigma toh tetap menjadi persoalan dan Wage sama halnya juga Kliwon adalah wakil-wakilnya. Mereka berdua menjadi ‘terhukum’ oleh stigma-stigma tadi, Wage dengan Anak Anjingnya, Kliwon dengan Anak Sapinya. Kemanapun mereka pergi dan sampai kapanpun mereka hidup, mereka tak bisa melebihi stigma-stigma itu.
Jika Tuhan menjadi “tuhannya” Kain, lantas siapa yang menjadi “tuhan” dalam perkara Wage dan Kliwon di atas? Sawiyah dan siapapun orang yang membuat peraturan tentang larangan kencing-lah tuhannya! Terlepas dari apapun niatan awalnya, mereka sungguh adalah orang-orang yang tak bisa sedikitpun memikirkan ekses dari apa yang mereka ucapkan dan lontarkan kepada khalayak.
Memprihatinkan…
ide gambar dari sini
Hmm..
Tulisanmu ini mengandung renungan yang dalam, Don. Aku tak bisa berkomentar dengan cepat kecuali aku katakan bahwa aku menikmati membacanya.
Sungguh stigma bisa membuat dunia dan manusia hidup membawa dendam….
Thanks, Zee….
Stigma jugalah yang menurutku perubah dunia nomer wahid :)
Dalam kehidupan kita sering menjaid bagian dari si tukang tera, tanpa mau tahu akibanya kelak. Manusia memang (cenderung) mau menangnya sendiri
Ah, “tera”! Tahu gitu aku pake istilah ini, lebih Indonesia kayaknya ketimbang “stigma” ya :)
Makasih, Paman!
tragedi….
ironi….
tragedi buah apel?
*jempol*
*bau*
keren banget cerpennya.
cerpen? oh, makasih bakmienya! *gag nyambung dibalas gag nyambung*
mantap gan….
salam kenal
sama-sama gan
Stigma itu bisa lahir hanya dari sebuah perkataan ya?
*Mulai berhati-hati setiap bicara
Spertinya demikian, Bli :)
Mulutmu adalah harimaumu…..
Kata-kata yang keluar dari mulut bisa setajam silaet, walau yang mengucapkannya tak bermaksud menyinggung siapapun. Makin tinggi posisi seseaarng, maka harus semakin hati-hati…karena apa yang diucapkan merefleksikan instansi/perusahaan bahkan pemerintahannya, karena tanggung jawabnya tak hanya sekedar tanggung jawab individu namun juga tanggung jawab kelompok.
Ah, Bu… saya jadi mbayangin Fenny Rose hahahaha!
Kalau dulu di pelajaran kuliah saya kriminologi, urusan stigma sangat dekat dengan self fulfilling prophecy. Sikap orang akan cenderung memenuhi “ramalan” dari orang lain. Definisi yang salah (stigma) akan sebuah situasi akan memancing sebuah perilaku baru guna memenuhi definisi yang salah tadi. Sama kasusnya seperti di atas stigma yang salah bahwa memberi anak susu sapi adalah jelek (tanpa melihat alasan dibelakangnya, seperti urusan medis yang gak memungkinkan menyusui ASI) membuat si anak jadi berperilaku menyesuaikan sikapnya menjadi jelek seperti yang distigmakan. Sama halnya juga dengan si “anak anjing”.
Oh, Ini seperti karma yang terbalas puluhan tahun ya mas… miris memang!
:| mari berhati2 dalam berkata2