Stanislaus (3) / Diek (7) – TAMAT

24 Apr 2011 | Cetusan, Diek

Aku menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya.
Simak kisah sebelumnya di Diek (1), Diek (2), Diek (3), Diek (4), Stanislaus (1) / Diek (5) dan Stanislaus (2) / Diek (6)

Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta, 15 April 2011, 14:00 WIB
Setelah delapan hari berada di Klaten untuk melepas kepulangan Papa ke Rumah Bapa, kini tiba waktuku untuk kembali melanjutkan kehidupan, berkumpul kembali bersama anak dan istriku di Sydney, Australia melanjutkan tugas sebagai seorang Papa seperti yang dulu Papaku lakukan.
Meski kami sekeluarga telah merasakan kelegaan atas berpulangnya Papa dan duka itu telah semakin ringan terangkat, namun toh tak bisa dipungkiri lagi, saat-saat perpisahan adalah saat yang tak kalah beratnya karena dengan demikian aku harus kembali meninggalkan Mama dan Citra, adikku. Jika sebelum-sebelumnya, selama ini mereka begitu terhibur dengan keberadaanku di sisi mereka kali itu, aku harus pergi.
Mobil yang mengantarkanku masuk ke pelataran parkir bandara dan segera sesudah turun, aku menghampiri Mama yang duduk di kursi bersama Budhe dan Eyang yang turut pula mengantar. Kucium punggung tangannya sebagai tanda baktiku dan ia pun mengusap rambutku. “Sing ati-ati, Le… Cah bagus! (Hati-hati, Nak! -jw)” Dipeluknya aku erat. Pipi tirusnya ditempelkan ke pipiku, tangisnya tak terbendung lagi namun aku toh tidak menangis, mencoba untuk terus menguatkan diri.
“Iyo Ma, Mama juga sing ngati-ati… Eling pesen-e Papa, Mama kudu sehat! (Iya Ma, Mama juga hati-hati… Ingat pesan Papa, Mama harus sehat! -jw)” Kutatap matanya yang sayu. Mata seorang Ibu, mata orang tua yang tinggal seorang bagiku.
Pak Yuli membantuku menurunkan barang-barang dari bagasi mobil, dan sesudahnya kuminta ia untuk segera mengantar Mama pulang kembali ke Klaten. Kulambaikan tangan dan kutatap wajah Mama dalam-dalam di balik kaca seolah meyakinkan dan memantapkannya bahwa kita tetap harus melanjutkan hidup sepedih dan seduka apapun itu karena ditinggal Papa.
Aku balik arah. Kutenteng barangku dan karena masih terlalu pagi, aku lantas duduk di kedai kopi yang ada di selasar bandara. Tak sengaja mataku menangkap sebuah tempat yang kuingat tiga bulan sebelumnya kupakai untuk berfoto bersama dengan Papa, Mama, Eyang dan istri serta anakku dan kini aku menyadari bahwa foto itu adalah foto terakhirku bersama Papa sebelum ia pergi untuk selamanya.
* * *

Tulisan terakhir Papa (ditulis 2/4/2011, lima hari sebelum Papa berpulang) yang ditemukan Chitra, adikku. "Rasa takut itu muncul ketika perasaan tak mampu mengendalikan"


Hari dimana kupublikasikan tulisan ini adalah hari Paskah, hari dimana kehidupan orang Katholik mendapati puncaknya ketika Yesus bangkit dari kematian. Sebelumnya tak kurencanakan untuk menutup rangkaian tulisan duka tepat pada hari ini, semua seperti mengalir begitu saja.
Ada begitu banyak orang yang terkesan dengan rangkaian tulisan ini, meski tak jarang yang bertanya, “Mengapa kamu begitu kuat menuliskan dukamu?” ada pula yang bertanya, “Tak khawatirkah kamu bila Mamamu membaca tulisan ini, bagaimana pedih hatinya?”
Motivasiku untuk menuliskan ini semua tak lain adalah untuk mengabarkan sebuah kabar baik, sebuah kabar penuh sukacita karena sebagai seorang Katholik yang diharapkan taat dan baik, aku wajib untuk bersyukur atas apapun yang kuhadapi dalam hidup ini termasuk saat kehilangan Papa untuk selamanya.
Aku ingat, ketika misa arwah untuk almarhum Papaku sedang diselenggarakan, 7 April 2011, bersama Chitra yang duduk diantara ratusan pelayat yang hadir saat itu, aku membuka iPhone dan menuliskan beberapa poin yang kupikir bisa kuanggap sebagai ungkapan syukur ketimbang ungkapan duka. Beberapa menit lamanya aku berdoa memohon supaya Tuhan membukakan pintu hatiku untuk sejenak mengesampingkan duka itu lalu bersyukur dan bermadah bagiNya. Setelah menuliskan beberapa poin, aku lalu memberanikan diri untuk menyampaikan sepatah dua patah kata di depan para pelayat yang hadir.
Ini sesuatu diluar kebiasaan masyarakat sekitar karena biasanya, keluarga yang ditinggalkan dibiarkan larut dalam duka dan untuk urusan ‘pidato’, para pemuka masyarakat lah yang akan menyampaikannya mewakili keluarga.
Bukan perkara ‘supaya tampil beda’ sebenarnya, lagipula aku toh tak sedang berniat untuk melakukan politik pencitraan di tengah perkabungan seperti itu :) Aku hanya berpikir bahwa kalau aku bisa, kenapa harus bersandar pada orang lain?
Lalu apa isi pidato yang kusampaikan sesaat setelah Misa Arwah usai diselenggarakan itu?
Inilah petikannya,
“Kami sekeluarga bersyukur memiliki Papa yang meski sederhana namun justru karena kesederhanaannya itu, ia menjadi sosok yang begitu luar biasa bagi kami”
“Kami sekeluarga bersyukur betapa Allah telah memberi waktu untuk Papa di sisa sempit waktu hidupnya untuk mengenal Yesus sebagai juru selamat dan ia pun wafat sebagai seorang Katholik”
“Kami sekeluarga bersyukur memiliki seorang malaikat baru di surga yang siap setiap saat mendoakan kami, orang-orang yang dicintainya… Malaikat itu adalah Stanislaus Didiek Hardiono”
“Kami sekeluarga bersyukur betapa kami, atas didikan Papa, mendapatkan dan memiliki kawan-kawan yang begitu baik dan setia membantu kami dalam kedukaan ini”
Berat kah mengucapkan semua itu?
Jelas! Bayangkan aku harus bersyukur sementara tak sampai jarak 25 meter dariku terbaring Papa yang kaku dan Mama yang duduk di sebelahnya menungguinya dengan uraian air mata kepedihan sepanjang hari itu. Namun tiada lain yang harus kulakukan selain itu.. Harus dan wajib!
Oleh karenanya, meski menyisakan linangan duka, besar harapanku bagi kalian semua pembaca tulisan demi tulisan yang kupublikasikan ini supaya kalian menyadari betapa Tuhan tak pernah berhenti bekerja dalam hidup ini. Ia yang tak kelihatan namun kita imani ada, adalah sebuah Kekuatan Maha Sempurna yang mampu menguatkan kita ketika kita lunglai sekalipun. Ia adalah pelita bagi dunia, penawar kesementaraan dengan keabadian yang ada di genggamanNya dan dimana rasa syukur kita panjatkan padaNya, disitulah Ia dimenangkan dan dipermuliakan.
Usai sudah tulisan duka yang kurangkai dalam 7 bagian terpisah ini. Kedukaan akan berlalu seiring berjalannya waktu. Kehidupan Papa pun telah pula usai menyisakan ketiadaan dalam kebersamaan kami sebelumnya sebagai sebuah keluarga. Namun sesuatu yang kekal adalah ketika aku selalu membawa semangat; nyala api yang tak pernah padam yang dulu selalu kulihat di sorot teduh mata Papaku, Stanislaus Didiek Hardiono.? (Tamat)
Credit? ‘sampul’ photo from here

Sebarluaskan!

32 Komentar

  1. ikut belasungkawa mas don! semangat :)

    Balas
  2. Well Don, memang tidak semua orang sanggup menceritakan kedukaannya, dalam waktu dekat pula.
    Tapi dengan menuliskan ini di blog, ini akan jadi perjalanan hidup yg besok2 bisa kita baca ulang saat sedang kangen… Itulah gunanya blog.
    Anyway Don, u should create another category kali ya, masa postingan sebagus ini masuk “uncategorized”.
    Akhir kata, thx u/ postingan ini. Selalu ada hikmah dan ilmu yg bisa didapat dr postingan seseorang. :)

    Balas
  3. Hidup terus berjalan Don..
    Kenangan akan Papamu tak mungkin terhapuskan
    Namun Papamu akan bangga telah mempunyai anak yang baiks epertimu…
    Beliau telah tenang di alam sana

    Balas
  4. turut berduka cita yang sedalam dalamnya, proviciate Stanislaus Didiek Hardiono.

    Balas
  5. Luar biasa, Don…
    Kamu bisa menuliskan semua ini dengan baik dan membuat semua orang merasakan apa yang kau rasakan.
    Bagiku, ini adalah sebuah inspirasi hebat. Benar-benar hebat…
    Semoga Papamu berbahagia di sisi Tuhan, saat ini.. :)

    Balas
  6. Turut berduka cita ya bro, tentu saja walaupun belum mengalaminya, tapi aku ikut ngerasain duka yang engkau rasakan, terlebih disini aku juga punya teman yang papanya meninggal minggu kemarin, itu yang membuatku menjadi lebih sering nelpon ortu di kampung dan menanyakan kabar mereka sesering mungkin.

    Balas
  7. Amin, Tuhan memang tak pernah berhenti berkarya dalam hidup kita. Dia juga pasti yg menguatkan kamu dalam semua peristiwa ini. Tetap semangat ya Don!

    Balas
  8. Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
    Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
    Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
    Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu…
    Selamat Paskah mas Don..

    Balas
  9. Papamu pasti sudah berbahagia di surga bersama keyakinan yang telah dipilihnya…
    entah mengapa, aku merinding membaca tulisan papamu itu…. seolah beliau sudah mengetahuinya…
    Terus semangat ya Don…

    Balas
  10. terharu…
    semoga beliau mendapat tempst yang indah di sana…

    Balas
  11. hmmm terharu… tetapi yang jelas akhirnya papamu sudah dimenangkan ya, don :)

    Balas
  12. papamu sudah bahagia disisiNya, mas…berbahagialah :)
    happy easter yo, mas :)

    Balas
  13. Selamat Paskah, Don. Aku banyak belajar darimu tentang tulis menulis dan manajemen emosi. :D Tidak mudah menulis dalam duka, namun aku bersyukur, kamu mampu mengalahkan rasa duka itu hingga bisa mengemas kisah ini dengan indah. Bukan hanya menjadi pelajaran, tapi menjadi kesaksian yg memuliakan nama-Nya.

    Balas
  14. Merinding bacanya, bahkan sampai berkaca-kaca mata ini.
    Serius mas :(
    Sedih banget…
    Tapi hebat ya, begitu tabah dalam menjalani semua cobaan ini.
    Semoga papanya mas diterima disisi-Nya.
    Selamat paskah juga ya mas, maaf telat :)

    Balas
  15. tiap baca dari no 1 s/d tamat… membuat saya banyak merenung… terima kasih

    Balas
  16. Om Don, sungguh mulia bagi Tuhan, sebab dalam duka secara manusia, masih tetap bersyukur kepada-Nya. Harus dan wajib bersyukur dalam segala hal sebagai ciri khusus umat-Nya.
    Salam kekerabatan dan selamat Paskah.

    Balas
  17. berkaca2 aku… *di kantor pula!!*
    God is GOOD at ALL TIME!
    Alleluya !

    Balas
  18. Selamat pasakah Don..
    Selalu ada hal2 baru yang Tuhan berikan melalui perkara apapun juga ..
    Aku salut sama pidatomu..

    Balas
  19. Yakin n percaya Om Stanis sudah tenang diSisi BAPA.
    Tak mudah membagikan n menceritakan kedukaan dalam tulisan ataupun cerita lisan..
    Namun Luka dan sedih itu akan lebih cepat sembuh n pulih seperti sediakala meski ada bekas yg tertinggal dalam hati,
    manakala kita membagikan nya kepada khalayak ramai…
    Tomorrow will be better, GBU

    Balas
  20. saya suka dengan kalimat yang di tulis papanya mas DV, saya baru bertandang kemari dan akan mulai membaca kisah ini dari awal. maka kisah ending ini tidak saya baca sepenuhnya mas
    salam kenal

    Balas
  21. sederhana dan menyentuh…

    Balas
  22. you made me cry. blengsek.
    dan gue bersyukur bisa baca tulisan ini. Thanks ya Don. God bless :)

    Balas
  23. Miss u, Don !

    Balas
    • Hi, Eka! Miss u too, Sista! Apakabar?

      Balas
  24. Don, my brother… gue buru-buru buka arsip blogmu di bulan April ini, bulan-bulan ketika gue sama sekali tak menyentuh dunia perblogan. Ternyata gue benar2 melewatkan satu episode penting dalam kehidupanmu. Maafkan gue, sobat… Meskipun telat banget, gue ikut berduka atas berpulangnya Papa mu, ‘rentenir’ seniorku. Semoga arwahnya diterima disisi-Nya.
    Kamu menceritakannya dengan bahasa yang luar biasa menyentuh. Aku membaca kisah 1-7 sambil (sedikit) berkaca-kaca. Yang tabah, Bro…

    Balas
  25. harus jadi ayah seperti apa, supaya anakku kelak bisa merangkai deskripsi secantik ini

    Balas
  26. Dari Diek 2 hingga tulisan terakhir ini air mataku mengalir membaca kisah Kak Donny… :(
    Turut bersedih kak Donny… :(
    Turut senang juga papanya masuk katolik.
    Selain dibaptis apa papanya kak Donny dapat sakramen pengurapan juga kak?

    Balas
  27. Baca ini cerita jam 5 pg kebangun gara2 mimpi keluarga dijkt bener2 bikin banjir air mata don … cayoo don :)
    Yuli

    Balas
  28. meski baru kenal..tp krasa udh akrab (karang pada2 wong jowo jebul).
    salut dengan kisah mu mas dab…menurutku ini bukan cerita sedih tp cerita dgn happy ending…konon tujuan orang hidup adalah mati..yaitu mati sempurna.
    kalau dilihat dari kronoligisnya..udh jelas bahwa Tuhan telah menyatakan kuasa Nya bagi Donny sekeluarga terutama untuk Ayahanda tercinta yg saya percaya dan amini sudah diselamatkan….sekali lagi proviciat!!…salam wong jowo sg urip ng ostrali

    Balas
    • Amin, Paklik! Pokokmen jos! ;)

      Balas
  29. critamu nyesek Mas
    aku nembe wani katolik 5 taun kepungkur, pas Paskahan
    iku wae merga diskak ibuku
    setaun kepungkur kelangan ponakanku
    pas iku aku malah sing ra kuat nahan rasa
    aku salut mbek masku sing mungkin pada kr sing mbok rasake wektu iku Mas
    ning aku percaya Gusti ora sare
    Berkah Dalem

    Balas
    • Udah baca semua serial Diek?

      Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Risalah Akhir Pekan 16/2015 - Donny Verdian - […] akan dirinya (dan sebenarnya dia memang sudah punya firasat bahkan sejak empat bulan sebelumnya, baca di sini tentang ceritanya),…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.