Aku menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya. Simak kisah sebelumnya di Diek (1), Diek (2), Diek (3), Diek (4) dan Stanislaus (1) / Diek (5)
Rencana pemakaman Papaku, Stanislaus, yang semula pukul 14.00 WIB terpaksa dimajukan karena pertimbangan cuaca. Langit menggelap dan mendung hitam pekat mengancam di langit utara.
“Piye, kita ajukan saja ya?” tanya Mas Sardjoko, pranata acara (MC) bertanya padaku.
“Sip!” ujarku padanya.
Maka setelah misa arwah usai diselenggarakan dan waktu sekitar 30 menit dilonggarkan untuk sanak saudara memberi penghormatan terakhir pada jasad papa, peti pun ditutup lalu dirapikan. Enam orang pemuda yang kebanyakan adalah teman sepermainanku dulu, mengangkat peti keluar ruangan dan untuk beberapa saat didiamkan di depan pintu gerbang.
Selanjutnya adalah upacara Brobosan. Sebuah tradisi Jawa yang meminta kita untuk berjalan di bawah peti tiga kali putaran sebagai tanda bhakti kepada yang telah pergi.
Saat mereka mengangkat peti dan membawanya ke ambulans, pada waktu itulah runtuh semua ketegaranku. Semua kesombonganku akan kekukuhan dan kekuatanku sirna begitu saja menyisakan puing-puing rapuh yang terbengkalai di pelataran gerbang rumah, tempat yang sama dengan tempat dimana aku dulu bersama Mama selalu melepas kepergian Papa untuk berangkat bekerja ke Kebumen setiap Minggu petang.
Tubuhku melunglai meski tetap kujaga langkahku yang gontai. Adhit Omphonk, sahabatku yang sejatinya adalah sahabat sejati itu menuntunku berjalan dibelakang peti Papaku, Stanislaus. “Sabar, Dab! Sabar! Papa wes tenang.. dikhlaske… direlake! (Sabar, Mas! Sabar! Papa sudah tenang.. diikhlaskan.. direlakan -jw)” Aku dipeluknya erat.
Bersama Citra, aku lalu duduk di kursi depan ambulan yang membawa jasad Papa. Tangan kananku membawa salib, sementara Citra memeluk foto Papa erat-erat.
“Cit…” aku memeluknya. Betapa aku mencintai adik sekaligus saudara semata wayangku itu. “Sabar ya Cit! Kita harus tabah!” Ia hanya mengangguk, nanar matanya menatap jalan di depan sementara sirene ambulans mulai dibunyikan membesut keramaian jalan… jalan terakhir bagi Papaku sebelum sampai di peristirahatan.
“Cit..”
“Ya, Mas!”
“Pernahkah kamu memikirkan tentang kejadian hari ini?”
“Hmmm..pernah….”
“…”
“Tapi aku nggak nyangka datangnya secepat ini, Mas! Inginku nanti, paling nanti.. entah kapan pokoknya nanti…”
Sementara seantero jalan yang kami lewati, mereka orang-orang yang mengenal Papa selagi hidup memberi penghormatan terakhir padanya. Jarak rumah ke pemakaman tempat Papa akan disemayamkan sesungguhnya tak terlalu jauh hanya sekitar enam kilometer jaraknya. Namanya, Pemakaman Semangkak, Klaten, areal pemakaman yang dikhususkan untuk warga Katholik yang berdomisili di Klaten.
Sesampainya di Semangkak, peti yang berisi jasad Papa lalu diturunkan dan dipersiapkan untuk dikuburkan. Beberapa tenaga yang telah berjaga di tanah kubur sejak pagi secara hati-hati menurunkan peti ke liang lahat. Prosesi selanjutnya adalah doa yang dipimpin langsung oleh Mas Yus, orang yang pertama kali diberitahu Papa tentang rencananya pindah agama, beberapa bulan sebelum ini.
Sementara Mama yang berkeras untuk ikut hadir di pemakaman meski sebelumnya kusarankan untuk tidak ikut mengingat keletihannya, berdiri dibopong oleh Mbak Yohanna (tanteku) dan Om Agus (adik ipar Mama yang istrinya – adik Mamaku- juga baru berpulang Desember 2010 silam).
Aku dan Citra berdiri bersebelahan tak jauh dari Mama mengikuti jalannya prosesi doa dengan khusyuk. Sekitar lima belas menit, prosesi doa selesai diadakan. Aku, sebagai anak tertua, ditunjuk untuk mencangkulkan tanah ke atas peti Papa yang telah dimasukkan. Selanjutnya Citra ikut melempar segenggam tanah ke atasnya. Tak sampai sepuluh menit kemudian, liang itu telah terisi tanah lempung berwarna merah dan di atasnya lalu ditancapkan nisan atas nama Papa.
Setelah prosesi pemakaman usai, kami lantas berdoa dan berfoto bersama, saling bersalaman dan berpelukan. Kami tak berlama-lama di sana karena meski mendung yang semula mengancam telah hilang entah kemana, toh kami harus segera pulang untuk membereskan hal-hal yang perlu diselesaikan hari itu.
Sebelum pulang, pandangku kuarahkan ke utara. Pada puncak Merapi yang tersibak sedikit ujungnya, ia menawarkan harapan cerah bahwa Papa telah berada di suatu tempat yang indah dan kehidupan memang harus terus dijalankan.
Kami lalu pergi. Perasaan duka memang masih menggunung, mengerudung, tapi celah cerah telah kulihat dan aku mensyukurinya… (Bersambung…)
Credit photo from here
kisah tentangnya pasti tidak pernah tamat ya, Don :) Papamu melanjutkannya di atas sana :)
Aku menunggu kelanjutannya Don..
Ikut belasungkawa Don….
Cerita sesungguhnya, yang setelah diceritakan dalam bentuk tulisan membuatku terharu
Ah betapa hidup itu hanya sementara…