Aku menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya.? Simak kisah sebelumnya di Diek (1), Diek (2), Diek (3) dan Diek (4)
Kowloon, Hongkong, 29 Desember 2010.
Pagi itu adalah hari ketiga aku berlibur bersama keluarga dan keluarga mertua beserta keluarga kakak iparku ke Maccau lalu Hongkong. Seperti biasa, aku mengakses facebook menggunakan fasilitas WiFi gratis dari kamar hotel.
Tertera satu pesan (inbox) belum terbaca, aku lalu bergegas membukanya. Rupanya Citra mengirimkan pesan yang sangat mengejutkanku, begini detailnya:
Mas, kak…
Tgl 25 kemarin tiba2 papa minta aku ma mama yg sdg nonton tivi di kmr mama wktu itu utk memperhatikan apa yang hendak papa bicarakan. Krn aku blm pernah liat papa seserius itu, aku deg2an (takut kl aku disuruh kawin segera) hehehehe
Ternyata, lewat obrolan singkat itu, papa menyatakan bahwa papa mau masuk ke Katolik. Papa sudah memikirkan itu sejak lama, dan papa tidak melakukan itu krn paksaan dr keluarga, atau krn permintaan dr mama, atau permintaan dr syapapun itu. Papa menekankan sekali bahwa papa ingin masuk katolik karena memang papa berkeinginan seperti itu. Papa ingin bs bersyukur atas apa yang papa punyai selama ini dgn cara yg tepat, yaitu dgn cara katolik.
Tak pernah kami (a.k.a mama n aku) duga sebelumnya bahwa papa bahkan telah menyusun sendiri rencana papa utk masuk katolik mulai dr belajar agama dan minta bimbingan om Yus.
Aku senang dgn hal ini. Dan krn td pgi aku tanya ke papa ttg siapa yg akan sampaikan ini ke kalian bdua, papa blg “kalau kamu mau sampaikan, sampaikanlah”
Maka aku sampaikan ini.
Bye…
(December 28, 2010 at 3:15pm)
“Hon!” ujarku pada istriku setelah membaca pesan itu di kamar hotel.
“Apa?”
“Papa… Papaku mau masuk Katolik!”
“Hah?! Oh ya? Kok bisa?”
“Entahlah…. aku ngga tau!” tukasku.
Jika kalian adalah pembaca setia blog ini, kalian tentu tahu betapa ber-Bhinneka nya keluargaku. Papa terlahir sebagai muslim yang datang dari keluarga muslim yang taat sementara Mama adalah seorang Katholik dan berdasarkan kesepakatan antar mereka, aku dan adikku lantas memeluk Katholik. Oleh karenanya hormat-menghormati antar keyakinan dalam keluargaku adalah mutlak karena jika tidak tentu rumah tangga orangtuaku tak kan langgeng hingga maut yang menjemput Papaku menceraikan pernikahan mereka per 7 April 2011 itu.
“Agama adalah agama, iman tetap di atas segalanya!”
Sehingga, awalnya adalah sesuatu yang kuanggap ‘aneh’ ketika Papa yang tak pernah kami paksa bahkan kami minta untuk pindah agama tiba-tiba memutuskan untuk belajar agama Katholik. Memang sebelum memutuskan pindah agama pun, sejak beberapa lama ia bukan seorang yang melakukan praktek agama dalam arti ritual dan tradisi. Bisa dibilang Papa adalah seorang ‘Pancasilais’.
Sejak pagi itu, sebuah tanda tanya besar pun menggantung di kepala tentang apa alasan Papa sebenarnya untuk berpindah agama. “Minggu depan kan kita ke Jogja, Hon… Nah, di sana akan kutanya langsung ke Papa apa alasannya!” sergahku.
Istriku mengangguk.
* * *
Rumah Makan Ny Suharti, Jogja, 4 Januari 2011
Setelah mendarat di bandara, kami, aku, istri dan anakku yang dijemput Papa serta Mama langsung bergegas menuju ke rumah makan Ny Suharti. Ya, setelah dua tahun lebih tak pernah pulang kampung, ayam goreng dan kremesan Ny Suharti adalah sesuatu yang kuimpi-impikan untuk menjadi makanan pertama yang kumakan ketika mendarat di Jogja.
Awalnya semua terasa kaku karena meski sering berkomunikasi, itupun toh hanya lewat telepon dan facebook lagipula itu adalah kali pertama kami kembali bertemu antara aku dengan kedua orang tuaku, istriku dengan mertuanya dan Odilia, anakku dengan Uti dan Akungnya, Mama dan Papaku.
“Mari berdoa… sebelum makan!” ajakku dan mereka mengangguk. Aku mengamati Papa, dan dia ikut menunduk khidmat.
Aku membuat tanda salib, dan sudut mataku melirik ke Papa, “Ah ia belum membuatnya, barangkali belum terbiasa…” batinku.
Usai makan, apa yang menjadi pertanyaanku sejak di Hongkong pun kulontarkan.
“Hmmm, Pa, knapa tho kok mau pindah Katholik?” tanyaku.
“Hehehhe…” Papaku hanya tertawa.
“Hmmm… padahal nggak ada yang maksa dan ngajak tho?” tanyaku melirik ke Mama seolah meminta persetujuan.
“Nggak… ngga ada sama sekali….” Papaku berkata ringan.
“Hmmm…”
“Lha wong Mamamu aja taunya baru setelah Natal kok… padahal rencanaku pindah agama itu sudah sejak lama.”
“Oh ya?” Aku pura-pura tak tahu…
“Iya! Aku cerita duluan ke Mas Yus kalau aku mau wulangan* baru setelah semua beres aku cerita ke Mama dan Citra.” ujarnya. “Eh Don.. kok… kok kamu tahu? Dibilangin Citra ya?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Ya, aku bersyukur Papa pindah ke Katholik…” kutatap wajahnya dan ia tertunduk. “Tapi…. ya tetap bertanya-tanya.. kenapaaa…”
“Hmmmm… Papa sebenarnya udah mikir sejak lama langkah ini. Lha wong semua juga, kamu, Joyce, Odi, Mama dan Citra ya sudah katholik semua sedangkan aku ya nggak pernah beribadah kemana-mana…” ia menghisap rokok dalam-dalam.
Aku membiarkannya mengalir bercerita.
“Selain itu…” ia tersenyum menatapku…
“Ya?”
“Selain itu ya biar kalau aku mati, mamamu mau ngurusi aku hehehe…”
Aku melongo tapi lalu tertawa. Papaku memang ahli bercanda dan kupikir ucapan terakhirnya itu tadi adalah candaan semata, seperti biasa.
* * *
Tegal Blateran Klaten, 7 April 2011
Tubuh Papa telah selesai dimandikan. Aku menyatakan tak tega untuk memangku jasadnya ketika dimandikan, sehingga aku memilih menyiraminya saja dengan air bunga sesuai adat ritual Jawa.
Ia lantas dibawa kembali ke ruang tamu dan didandani. Kemeja putih berbalut jas hitam dan dasi merah dikenakan kepadanya. Jasadnya belum terlalu kaku ketika dimasukkan ke dalam peti yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ia benar-benar tampak seperti sedang tidur pulas. Tak ditemukan lebam-lebam pada permukaan wajahnya, mulus seperti ketika ia masih hidup meski tak semulus jalan hidupnya yang bergelombang.
“Cit!” sapaku pada adikku yang telah tuntas tangisnya, di sampingku.
“Ya?”
“Apa yang akan ditulis di nisan Papa nanti?”
“Maksudmu?”
“Papa sudah dibaptis darurat kan kemarin?”
“Yup…”
“Lalu?”
Citra terdiam. “Oh, nanti akan ditulis nama lengkap papa plus nama baptisnya, Stanislaus!”
“Heh? Stanislaus?” tanyaku.
“Iya! Papa sendiri yang milih, Mas!”
“Oh!”
“Sejak hari pertama wulangan, Papa sudah memilih nama baptisnya sendiri.. Stanislaus!”
Aku berdiri sebentar, berjalan pelan ke arah sudut rumah dan ketika kuyakin tak ada orang yang menyaksikan, kutumpahkan air mataku. Aku begitu terharu!
Ini bukan perkara agama mana atau agama siapa yang lebih baik dan dimenangkan! Agama adalah agama, iman tetap di atas segalanya!
Dan lebih daripada pergunjingan tentang agama, aku begitu terharu setelah tahu betapa Papa telah mempersiapkan semuanya seorang diri! Ia bahkan tak ingin istrinya, orang terdekatnya, dan kami, anak-anaknya, tahu sebelum semuanya matang dipersiapkan!
Bagaimana ia telah rela dan ikhlas untuk belajar agama Katholik yang meski bukan hal yang baru karena anak istri dan cucu serta menantunya adalah Katholik, juga bukan hal yang terbesar yang memukul keharuanku. Tapi lebih pada bagaimana ia memandang perjalanan hidup sebagai sesuatu yang tak abadi dan ia butuh jembatan, butuh jalan yang menurutnya terbaik untuk mencapai keabadian yang ada pada tahap selanjutnya, sesuatu yang kini ia tempati dan diami.
“Mas!” tegur adikku mengagetkan lamunanku.
“Ya, Cit?” aku tak menatapnya takut ketahuan olehnya kalau aku menangis.
“Kamu mau lihat nisannya Papa? Itu udah datang.. tolong sekalian check kalau-kalau ada yang salah tulis bisa secepatnya kita benahi!”
“OK”
Aku lalu jalan ke halaman depan rumah.
Kupegang nisan kayu berbentuk palang salib itu, kubaca pelan-pelan atas tulisan yang tertera di palangnya.
STANISLAUS DIDIEK HARDIONO
Lahir: 9-09-1954
Wafat: 7-04-2011
Dan sejak saat itu untuk seterusnya, aku memanggilnya sebagai Stanis… Stanislaus.
Tak lagi Diek atau Didiek karena Tuhan telah menyelamatkan dan menyematkan nama baru kepadanya di kehidupannya yang baru pula. (Bersambung…)
wulangan : istilah Jawa untuk pelajaran agama Katholik. Setiap orang yang hendak memeluk agama Katholik harus melalui sebuah periode pelajaran yang lamanya lebih kurang satu tahun sebelum pada akhirnya dibaptis.
Credit foto dari sampul halaman Buku Acara Jumat Agung 2011, Gereja Katholik Paroki Epping, NSW, Australia (N.N)
Kalau Citra baca blogmu, dia akan tahu akhirnya bahwa mas-nya bisa menangis juga :).
Aku lupa kemarin itu kalau papamulah yg muslim, aku kira mamamu. Eniwei, aku ikut senang bila akhirnya dia bisa menemukan keimanannya di masa2 tuanya.
turut berduka atas kepergian papanya, mas Donny…
jadi ikutan nangis……, turut berduka…..
kali ini aku terharu, tapi juga ikut senang papamu ikut wulangan. dan yg hebat, juga bukan atas desakan siapa2. :) ah, aku jadi pengen ke blateran, ketemu om yus. pasti dia punya cerita tersendiri soal papamu.
Mungkin saat itu Papamu telah merasa ya Don, jika waktunya telah dekat…
Orang lain tak ada yang tahu…. namun bagi yang bersangkutan telah bisa merasakan. Makanya sering ada tindakan-tindakan atau ucapan yang setelah tiada baru bisa ditafsirkan..
Kisah Papamu ini Don, menunjukkan bahwa betapa manusia sangat membutuhkan sandaran spiritual dalam hidupnya, terutama di usia senja. Beruntung beliau memiliki keluarga yang mendukung dan menghargai apapun pilihan dan keputusannya..
Terharu dan bersukacita membaca kesaksian yg indah. Tuhan sendiri telah memandu papamu pulang ke rumah-Nya.
Iman itu gak bisa dipaksakan..
Kalau dari inisiatif sendiri, itu indah sekali :)
.
.
.
.
.
Btw mantan pacarku dulu jenenge yo Stanislaus :D
Mantabs om Stanis !
?Agama adalah agama, iman tetap di atas segalanya!? “Lakum Dinukum Waliyadin”…artinya “Bagimu Agamamu Bagiku Agamaku” harusnya memang seperti itu.. semua saling hormat menghormati :) indah mas don..
dik doni…kami sekeluarga di blitar sudah membaca semua cerita yg adik tuliskan dr episode 1 s/d 6. dan kami kusus nya aku sendiri memahami apa yg terbaik dan apa yg harus papamu (om Didik) putuskan untuk suatu agama yg beliau anut hingga di akhir hidup nya kmarin.memang keaneragaman keluarga kita memang sudah ada dr dulu khusus nya dalam hal kepercayaan dan agama,tetapi semua itu tak jd masalah …contoh nya eyang otong adik nya eyang slamat putri beliau pun dulu jg islam tp beliau memutuskan pindah agama kristen itupun kami tak mempermasalahkan termasuk eyeng kirno putri.dan yg aneh lg putra dan putri eyang otong ada yg beragama islam (tante heni yg jd dirut varia usaha anak pers semen gresik),tante dina dan om bondan katolik,om bagus protestan toh mereka semua bahagia sampai sepeninggal eyang otong pun masih utuh sampai sekarang dan tetap rukun dg eyang salamet putri.
eyang wayan jendral bintang dua pun agama hindu eyang wayan putri islam,anak nya pun ada yg hindu dan islam toh tetap aja utuh hingga di hari senja kini.
jadi saya simpulkan bahwa agama dan kepercayaan adalah hak induvidu seseorang yg berkeyakinan….tanpa ada keterpaksaan,krn sseorang itupun punya kenyakinan yg kuat tanpa adanya unsur paksaan dr pihak manapun…untuk ambil keputusan demi suatu kenyakinan nya.
terus bagiman kabar dan keadaan dik doni ama nyonya dan keponakanku sehat” ajakan…..? ”eh knp semua yg aku kirim by fb tak pernah dik doni dan dik citra tanggapi…..atau pun balas………..lain waktu di balas yaa dik…!karena tempat dan posisi kita yg berjauhan…………trims
Perasaanku moco kisahmu iki campur-campur dulur….tapi satu hal yang selalu ku ingat, bahwa kamu adalah bukan sekedar teman tetapi sudah kayak dulurku…Waktu kamu bilang tentang papamu yang udah di baptis lewat telpon…aku mbrebes mili….terharu don…dan syukur