Semenjak kecil aku sangatlah gemar bernyanyi!
Ya, bernyanyi, selain juga bermain gitar adalah dua hal yang terkadang malah terlalu mendominasi waktu-waktuku dulu. Kalau sudah pegang gitar, genjreng-genjreng dan bernyanyi, wah bisa lupa waktu aku.
Tapi meski demikian, sejak kecil pula, aku sangat membenci untuk bergabung dalam sebuah paduan suara atau yang biasa disebut koor. Mau koor sekolah, gereja ataupun koor yang sudah dimodifikasi lengkap dengan pakaian dan tata gerak yang indah bernama vocal group? No-no-no! Tiada!
Tentu semua ada alasannya, dan kenapa aku bersikap demikian semata karena alasan ego. Bagiku, berkesenian itu lebih baik dengan menyodorkan diri sendiri ke hadapan publik, urusan orang lain mau ikut ya boleh tapi lebih baik sesudah atau sebelumku saja, tidak bersama-sama!
Tapi itu dulu, dan dulu bukan sekarang.
Usia semakin menua dan semakin menipislah apa yang dinamakan ego maka ketika istriku menawari untuk bergabung di koor gerejanya, akupun sepakat saja! Apalagi ini toh juga sebuah awalanku hidup di tanah baru, maka kesempatan untuk bersosialisasi sebanyak-banyaknya kuambil. Pepatah bilang banyak kawan banyak rejeki!
Hari minggu ketiga di bulan ini, 16 November 2008 bertepatan dengan hari yang ke-enam belas, bersama istri, Irna, Jaya, Rinda, Paul dan banyak teman lainnya lagi, kami semua bertugas koor pada perayaan ekaristi mingguan di Gereja St Joseph Newtown, Sydney Australia.
Dari rumah aku berangkat sekitar pukul 10.00 am sementara acara baru akan dimulai satu setengah jam sesudahnya. Aku dan istri mengenakan seragam St Joseph Choir yang kebetulan desain dan pengerjaan kaosnya kutangani sendiri awal tahun lalu di Yogyakarta. Jalan-jalan menuju ke Newtown pagi itu tidaklah ramai. Barangkali para penduduknya masih kehabisan energi setelah berpesta malam mingguan semalam-malaman. Pesta dimana saja, di bar, diskotik, lounge, jalanan bahkan juga yang pasti di ranjang!
Sesampainya di gereja sekitar pukul 11.00 am, keadaan masih belum terlalu ramai. Hanya segelintir manusia yang sudah ada di sana menanti perayaan sebelumnya usai dan bergantian kami memasuki gereja. Namun sepuluh hingga seperempat jam sesudahnya, gerombolan manusia-manusia berambut hitam yang khas dengan gaya dan ucapan kata-kata semisal “wah”, “gue”, “loe” mulai memenuhi halaman dan menyemut mengantri masuk ke dalam gereja.
Ya itulah, para anggota bangsa kita tercinta, Indonesia!
Pelayanan koor pagi itu berlangsung cukup sukses. Setidaknya suara-suara yang dilatih untuk dipecah-pecah pada latihan sebelumnya benar-benar pecah. Ya, tak bisa kubilang pecah sempurna menjadi tenor, alto dan bas, tapi ada pula pecah-pecah sumbir sedikitlah…
Misa berlangsung hingga pukul 12.30 pm, lalu dilanjutkan dengan bazaar makanan khas Indonesia serta penggalangan dana di lantai basement. Aku, istriku, Jaya, Irna, Paul, Rinda dan Anton memilih untuk tidak berada di sana. Kami bertujuh memilih untuk secepatnya pergi dari situ dan menuju ke Chinesse Food Restaurant di bilangan Kingsford.
Tapi, ah… bohong kiranya kalau aku tak mengaku tidak mencuri kesempatan barang sebentar untuk masuk ke bazaar makanan lalu mencomot sebungkus tape-ubi dan menukarnya dengan 7.5 dollar lalu cepat-cepat kembali ke mobil yang sudah akan berangkat!
Setengah jam sesudahnya kami bertujuh telah makan dengan lahap!
Masakan chinesse food di Kingsford yang kami santap benar-benar tidak seperti masakan chinesse food di Indonesia yang kebanyakan aku tak suka. Di sini semuanya sepertinya disajikan sesuai asalnya dari RRC sana, meski aku belum pernah sekalipun merasakan seperti apa yang seperti itu. Tapi setidaknya, tidak ada minyak yang terlalu banyak di sini dan tidak pula setiap massakannya dibubuhi saus tomat yang terlalu banyak.
Selepas makan kami lalu pergi.
Dan untuk pertama kalinya selama tiga minggu pertama tinggal di sini aku merasakan kehilangan orientasi hendak ngapain pada weekend-nya. Hal ini kukatakan karena sebenarnya aku bukanlah orang yang bertipikal demikian. Sejak dulu aku selalu merasa memiliki semangat untuk membuat “ramai” di dalam benak sehingga bermodalkan itu aku bisa melakukan apapun dengan penuh riang gembira. Tapi tiba-tiba siang itu padam.
Akupun lantas mengajak Joyce untuk pulang saja ke rumah dan menghabiskan akhir pekan bertiga bersama Simba di rumah. Maka jadilah kami pamit pulang kepada mereka. Kami berpisah di taman parkir. Jaya beserta Irna, Paul dan Rinda masuk ke mobil milik Paul, sementara Anton menumpang bersama kami untuk diantarkan di apartementnya yang tak jauh dari jalur pulang ke rumah.
Hari telah lewat hingga tiga perempatnya ketika perlahan mobil kami keluar dari city, melewati highway menuju ke Hills dan tiba-tiba Joyce berpikir ada baiknya untuk mampir ke bengkel AAMI, tempat mobil Joyce diperbaiki karena besok paginya kami berencana untuk mengambilnya sehingga kalau kami sudah tahu letaknya tak perlulah kami tergagap-gagap untuk mencari tempatnya keesokan harinya.
Berbekal peta, karena waktu itu aku belum bisa mengoperasikan GPS yang ada di Blackbery-ku, kami sampai di bengkel yang letaknya tak terlalu jauh dari Old Windsor Road itu.
Setelah tahu lekuk-lekuk jalan menuju ke tempatnya, kami berputar arah dan langsung pulang ke rumah.
Seperti apa yang kubilang di atas, pada akhirnya kami berdua plus Simba melepas weekend ini di rumah.
Menyeduh kopi, menyediakan penganan kecil lantas membawanya ke kebun belakang rumah memandangi tanaman hijau yang tumbuh di sana dan melepaskan pandangan pada kolam renang kecil yang ada di rumah namun belum pernah sekalipun aku berenang di sana karena saking takut dinginnya…
Simba mengibas-ibaskan ekornya tanda bahagia karena tak ditinggal tuan dan nyonyanya keluar rumah seperti biasa, sementara Joyce tersenyum-senyum kegirangan di sela-sela deraian cerita yang kami lantunkan.
Seikat cium kudaratkan di dahinya, aku begitu mencintainya bukan hanya sebagai istri belaka namun juga rekan yang telah ditunjuk Allah dalam membangun keluarga.
Dan matahari tersenyum dengan indahnya sebelum akhirnya redup menutup hari itu di peraduan barat sana tanpa mendung yang abu-abu melainkan semburat jingga dimana saja.
St Joseph Choir
Inilah koor St Joseph yang melakukan pelayanan siang itu.
Dari ki-ka:
Berdiri paling atas: Jaya – Koer – Donny Verdian – Anton
Berdiri tengah: Anaknya Peter (lupa namanya) – Rinda – Paul ngegendhong si Geri – Pastor Ho – Joyce – Irna – Anaknya Rio (lupa namanya)
Jongkok: Peter – Rio dan anaknya yang kecil.
ah kang dony verdian pinter juga desain kaos nggak cuman pinter desain web yang keren hahahaha
salam hormat
takut dingin apa takut air
huehuehue
btw captcha mu nie jalan ga sie ..
perasaan kok dpt angkanya 10368 mlulu
don, nek tak rasak2ne, judul tulisanmu iki karo isine kok rada ra pas yo? :) pase mung bagian awal2, tp suwe2 rada ra gathuk. eh tapi iki aku sok tahu yo ketoke. hehe…
Hmm.. koor gereja ya?..itu zaman dulu ketika aku masih kuliah.
Aku suka sekali gabung dengan koor, walaupun aku milih alto club tapi tetap semangat.
Sekarang..?tidak (mau) niat lagi..lagian harus nemenin anakku, Flo sekolah minggu.
Salam kenal mas..
Don, lagu yang dinyanyiin waktu itu judulnya opo?
Kamu suara berapa?
Don, suaramu termasuk yang mana? kalo menurut bayanganku, suaramu termasuk yang tenor, bener gak Don?
Ternyata kau paling tinggi ya Don…
Week end di rumah memang menyenangkan kok, apalagi kalau di Jakarta, ga kena macet, bisa bolak balik ngemil, sambil baca buku, gulung-gulung bersama anak-anak.
Dulu tiap week end saya tanya dulu…”Hari ini mau kemana?” Mereka sering jawab, “Kita gelundungan aja di kasur bu, buku bacaanku masih banyak…”
“Seikat cium kudaratkan di dahinya, …”
Cieee… Uhuy! (kamu ingat nggak yang paling sering ngomong ciee-ciee itu siapa? Hehe.
Tapi, cium kok seikat? Jadi inget dulu sering sekali aku nulis sekeranjang cium atau segepok rindu. Mungkin cium itu identik dengan belanjaan ya. Terus rindu itu identik dengan uang. Haha! Kalo kamu cium berarti identik dengan bunga (bunga opo? :p )
Tapi satu-satunya moment aku dengar kamu nyanyi itu via YM, genjrang-genjreng ra karuan. Nggilani! :D
Pak!
Klepon-nya dah basi, mesti masak lagi yang baru! ^_^
Seikat cium?
Gimana tuh ngikatnya Don?
;)