Solo

4 Feb 2013 | Cetusan

Beberapa waktu yang lalu aku membaca sebuah artikel di TIME tentang maraknya pola hidup solo di kota-kota besar di dunia.

Solo di sini tentu bukan kota Solo di Jawa Tengah sana, tapi solo yang mengacu pada pilihan untuk hidup seorang diri, tidak menikah, tidak tinggal dengan orang tua, benar-benar sendiri.

Orang-orang soloist, demikian mereka biasa disebut, biasa tinggal di apartemen tipe studio (seperti kamar hotel, satu ruangan besar berisi tempat tidur, tv, dapur plus satu kamar mandi). Mereka memiliki piranti-piranti rumah tangga serba portable, multifungsi dan untuk bersosialisasi, mereka memanfaatkan pub, cafe, restaurant dan banyak ruang publik lainnya.

Kebanyakan dari mereka memilih cara hidup solo karena simplicity, nggak ribet. Beberapa mengaku takut kehilangan rasa nyaman yang diraihnya seorang diri kalau harus tinggal bersama orang lain atau keluarga. Di sisi yang lainnya, mereka juga tak mau merepotkan dan tergantung pada orang lain. Alasan lain? Kepedulian terhadap sumber daya alam yang kebanyakan memang makin susah untuk diperbaharui. Kok nggak nyambung? Nyambung sih karena dengan hidup solo, konsumsi sumber daya alam akan terkhususkan untuk diri sendiri bukan pada anggota keluarga lain termasuk anak, kan nggak punya.

Sesaat setelah membaca artikel itu hingga tuntas, aku jadi berpikir, barangkali kalau harus menempuh cara hidup sebagai seorang soloist, aku adalah orang pertama yang akan menyerah.

Bagiku, hidup ini akan menjadi lebih kaya ketika kita menghabiskannya tak seorang diri.
Manusia harus terjun ke dalam komunitas baik itu dalam tataran besar di tempat kerja, organisasi, sekolah maupun di tingkat terkecil, keluarga. Interaksi sosial yang seperti ini kupercaya akan menambah pengalaman dan membuat lika-liku kehidupan bertambah, tak lurus-lurus saja seperti jalan tol.

Bagiku, hidup kadang juga perlu menjadikan rasa nyaman sebagai taruhan untuk sesuatu yang lebih baik lagi. Kenyamanan itu hanya menyoal rasa, sesuatu yang dicecap oleh panca indera dan aku percaya entah itu karena keadaan atau kesadaran sendiri, rasa, apapun itu, bisa distimulasi sesuai kehendak kita. Lima tahun yang lalu ketika salah satu kawanku punya anak dan melihat bagaimana ia repot mengganti nappy (popok) ketika anaknya buang air besar, komentar singkatku adalah, “Yurkkk! Jijik bener sih!” Tapi kini, ketika anak-anakku buang air besar aku justru merasakan ketidaknyamanan kalau mereka tak cepat-cepat kuganti (atau istriku yang ganti) nappy.

Mengenai kepedulian terhadap penggunaan sumber daya alam, aku percaya pada satu hal bahwa semua itu diciptakan untuk digunakan sebaik-baiknya. Jadi, penilaian terhadap peduli atau tidak pedulinya ada pada sebaik apa penggunaan dari sumber daya itu, bukan pada perkara menggunakan atau tidak menggunakan. Misal kita menggunakan air untuk menyirami tanaman sehari-harian tanpa henti, tentu hal itu tak elok untuk dilakukan karena selain tanaman tak butuh air sebanyak itu, untuk apa kita buang-buang air? Tapi ketika kita menggunakan air untuk dimasak sebagai air minum keluarga, sebanyak apapun itu, tentu tak bisa dikatakan bahwa kita tak peduli pada konservasi air karena ketahanan orang untuk hidup ditentukan juga dengan jumlah air yang dikonsumsi. Aku percaya ketika semua sudah dilakukan dengan baik dan benar, sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, kehidupan akan memiliki cara tersendiri untuk menyelamatkan diri, ini adalah naluri, kalau tak ingin membawa-bawa nama Tuhan di sini.

Tapi sekali lagi, meski tak setuju bukan berarti kita harus memusuhi karena pada hakikatnya, tak ada baju yang benar-benar bisa pas yang bisa dipakaikan pada seluruh umat manusia, kan?

Kalau kalian gimana? Setuju dengan cara hidup solo atau jangan-jangan kamu sudah menjadi seorang soloist? Silakan tinggalkan komentar, tak terkecuali kalian, orang-orang warga Kota Solo ;)

Sebarluaskan!

16 Komentar

  1. Aku sementara ini jadi solois,
    biaya hidup sendiri lebih murah? engga juga sih. Dalam beberapa hal justru lebih murah kalau dipakai bersama.
    Dalam kesendirian justru hati dan pikiran selalu mencari keramaian.

    *ra nyambung yoben, semoga target pertumax tercapai

    Balas
  2. yg dimaksud soloist kan lbh ke tinggalnya to, utk interaksi, di paragraf awal, mas donny menuliskan bhw soloist masih berinteraksi di pub, kafe, etc. Jadi bukan hidup ala robinson crusoe to?

    bersosialisasi/berkomunikasi itu udah jd kebutuhan orang, bahkan paling introvert sekalipun. Banyak penelitian menunjukkan ttg terisolasi/kesepian. Aku percaya, feeling connected itu sejatinya manusia.

    Ttg gaya hidup soloist, disini kuartikan ga nikah sih. Memang hidup sendirian itu nyaman kok. Urip sakpenake dewe, ga usah repot2 hrs kompromi & tepa selira spt kalo hidup bareng orang lain.
    Makanya, kubilang hidup bareng orang lain adl, biasanya mpy pertumbuhan diri lebih tinggi. Itu disadari betul oleh orang2 yg level awarenessnya udah lbh tinggi.

    Balas
  3. Kalau penjelasannya sumber daya alam, tidak logis, karena ketika hidup solo pengggunaannya lebih besar per kepala dibandingkan sebuah keluarga. Misal, listrik. Kalau solo, daya untuk 1 rumah/apartemen ya dibagi cuma 1 orang. Kalau keluarga, dibagi menjadi ya setidaknya 2 orang.

    Penjelasan yg lebih logis adalah psikologis. Hidup solo bisa jadi ada kepuasan tersendiri. Ada ruang kebebasan mengekspresikan potensi diri yang lebih luas. Waktu untuk diri sendiri lebih baik.
    Sayangnya, menikah pun akan mendapatkan kepuasan yang sama, setidaknya ketika anak-anak sudah beranjak SMA/kuliah. Ada banyak orang tua justru kesepian setelah anaknya beranjak dewasa

    Balas
  4. Dulu aku sempat berpikir untuk hidup soloist karena aku tak suka dengan segala yang tak bisa diprediksi.

    Tapi setelah berkeluarga, punya anak, aku bisa menikmati juga kesendirianku kok…. balance saja, pasti tetap nyaman.

    Balas
  5. Katanya sih kodrat kita sebagai mahluk individu dan sosial. Nah, soloist sepertinya hanya life style, bukan kodrat atau sesuatu yang bisa mengingkari kodrat. Soloist hanya model atau cara bertahan pada sesuatu yang sebenarnya bersifat individual. Nah, orang yang memilih hidup soloist, bisa jadi adalah cara atau kompensasi atas ketidakmampuannya hidup sendiri. Kalau mereka benar-benar bisa melakukan, tidak mungkin mereka menyebut diri mereka soloist. Buat apa nama itu kalau mereka benar-benar bisa hidup sendiri. Memberikan nama soloist itu bukti bahwa mereka ingin hidup bersosial. Siapa yang mengakui istilah yang mereka ciptakan kalau bukan orang lain? Mereka ingin diterima dan diakui. Ketika keinginan itu ada, maka sebenarnya mereka tidak bisa hidup sendiri.

    Balas
  6. saya sebenarnya adalah seorang soloist… lebih prefer sendirian dari pada ramai ramai. Tp bukan berarti terus jadi soloist dan tidak bersosialisasi, tentu harus, karena manusia adalah makhluk social. Hanya saja mungkin soloist tidak tergantung pada komunitas komunitas tertentu.. bebas melebur kesemua lingkungan. That’s my definition buat soloist.

    Balas
  7. Waduh, kayaknya saya sih bakalan bisa tuh

    Balas
  8. Bro…orang luar sudah banyak yang jadi soloist salah satunya karena terutama enggan berbagi penghasilan dengan pasangannya…eh ngomong2 gw mo ke sydney nih bro…sapa tau bisa ketemuan..heee…japri no hp dunk…

    Balas
  9. Dari beberapa komentar di atas, kesimpulannya justru, ada perbedaan dalam membedakan definisi soloist itu sendiri, saya rasa perlu dibuat satu batasan tertentu dalam pembahasan ini. Menurut saya, soloist di sini (saya juga mencoba untuk meraba apa yang didefinisikan Mas Donny) adalah untuk benar-benar hidup sendiri, atau single, menjomblo atau tidak menikah. Gitu saja sih.. CMIIW.. ^^

    Balas
  10. dulu pernah tinggal di rumah besar sendirian selama beberapa tahun tp ya gak tahan sendirian, akhirnya membuka rumah buat basecamp kawan2.

    keknya gak bakal tahan hidup sendirian ^^

    Balas
  11. menurutku, itu tergantung tipe orangnya. ada orang yang merasa senang–atau setidaknya, fine-fine aja–untuk hidup sendiri. ada yang sukanya bareng dengan orang lain. menurutku sih, itu hak masing-masing orang–apa pun alasan yang dipakainya.

    Balas
  12. Jawabanku jelas kan? jika ingin mengulang lagi kehidupan, saya tetap memilih hidup bersama orang yang kucintai dan mencintaiku…walau risiko hidup memang besar, terutama dalam membesarkan anak-anak. Tapi justru disitulah namanya hidup….

    Balas
  13. Solois disini tetep berinteraksi dengan orang lain kan mas? Seperti ke pup atau bahkan mereka juga bekeja (ya dilihat dr tempat tinggal mereka di apartemen pasti mereka bekerja) ini seh masih ok lah menurut aku.

    Yang aneh kalau mereka bener bener anti sosial. Berarti lebih ke gak menikah atau menikah(punya pasangan) mungkin?

    Balas
  14. hehehe abis baca tulisan “sejatinya kita sendiri” lalu baca soloist, terasa ada kontradiksi ya :D
    Aku mah ngga bisa jadi soloist, mending jadi Tokyoist aja :D

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.