Meski tak terlalu ramai jadi bahan pembicaraan di blogosphere, akan tetapi terus terang artikel yang berjudul ENAM (6) ALASAN MENGAPA AKU KURANG RESPEK KEPADA NGARSO DALEM SINUWUN HERDJUNO DARPITO (SULTAN HB X) karya “Kang Nur” cukup membuat saya tergelitik untuk menuliskan artikel ini.
Artikel ini saya tulis bukan sebagai counter attack terhadap tulisan tersebut karena bagi saya setiap orang toh berhak untuk mengemukakan pendapatnya.
Terlebih di alam yang “katanya” sudah bebas merdeka seperti sekarang, maka tulisan ini anggap saja sebagai pembanding tulisan tersebut, habis perkara.
Secara pribadi saya tidak mengenal Ngarso Dalem (demikian saya menyebut Sri Sultan Hamengku Buwono X), akan tetapi dalam beberapa kesempatan resmi yang kebetulan menyangkut pada pekerjaan, saya pernah sekadar bersapa dengan beliau, namun lebih daripada itu, kalau saya sangat menghormati beliau, hal itu lebih dikarenakan saya adalah warga Yogyakarta yang “nunut urip” di tlatah bumi Mataram yang sebenarnya adalah kekuasaan dari turun temurun beliau ini. Rasa hormat juga saya berikan kepada beliau karena keberhasilan memimpin Yogya yang begitu lekat dengan nilai-nilai budaya, seni, tradisi Jawa serta kemajemukan sebagai kota pelajar dan mahasiswa ini.
Oleh karena itu, bagi saya kalau dalam tulisan Kang Nur menuliskan bahwa “Kecerdasan dan pendidikannya kurang meyakinkan” dengan bersandar pada perbedaan Ngarso Dalem yang “hanya” kuliah di Fakultas Hukum UGM sementara ayahandanya (Almarhum Sinuhun Sri Sultan Hamengkubuwono IX) yang sekolah di Belanda, bagi saya ini bukan alasan yang tepat untuk mengatakan bahwa kecerdasan dan pendidikan Ngarso Dalem itu kurang meyakinkan.
Kita harus menyadari konteks waktu dalam menyikapi hal tersebut di atas.
Almarhum Sinuhun disekolahkan ke Belanda jauh sebelum Indonesia merdeka. Nah, kalau Indonesia sendiri belum ada karena belum merdeka, bagaimana mungkin ia bisa bersekolah tinggi di sini?
Pada waktu itu toh belum ada UGM, ITB, ITS ataupun UI tho?
Sedangkan kenapa Ngarso Dalem sekolah di Fakultas Hukum – UGM, terlepas dari alasan pribadi yang mungkin ada dan saya tak ketahui, akan tetapi garis besarnya bisa terbaca karena beliau menganggap kampus tersebut cukup bagus tentu saja.
Lagipula kenapa kita terbiasa dengan luar negeri minded? Seolah-olah semua orang yang pernah sekolah di luar negeri adalah orang-orang yang lebih pandai dan lebih cerdas ketimbang yang sekolah di dalam negeri?
Pendapat Kang Nur yang mengatakan bahwa Ngarso Dalem tidak cerdas karena berprestasi biasa-biasa saja di kampusnya maupun karena menempuh kuliah dalam waktu yang lama, juga tak cukup memiliki relasi yang kuat. Kang, setiap orang punya alasan untuk memilih waktu kuliahnya lama atau pendek terlepas dari kecerdasan atau kebodohannya, bukan? Lagipula, seperti yang Anda tulis sendiri, Ngarso Dalem yang waktu itu masih menggunakan nama Herdjuno Darpito mulai “nyambi” bekerja di Pabrik Gula Madukismo Yogyakarta?
Lalu pada poin kedua (meski saya bingung dengan numerisasi Kang Nur yang hanya menggunakan angka “1” dalam setiap poin itu), dituliskan bahwa “Kiprah dan kapasitas-nya memang belum me-nasional” bagi saya itu semata-mata juga pandangan dan sikap yang kurang obyektif dan bukan pada porsi untuk dibicarakan. Kenapa demikian, karena bagi saya kiprah dan kapasitas itu yang pertama kali menilai adalah diri Ngarso Dalem sendiri serta kemudian partai-partai yang hendak mencalonkannya menjadi, entahlah itu wapres ataupun cawapres. Sejujurnya saya pun lebih senang kalau Ngarso Dalem tetap menjadi Gubernur DIY ketimbang melenggang ke pentas politik nasional, tapi saya garis bawahi bahwa hal tersebut tidak didasari pada skeptisme saya terhadap kemampuan beliau untuk “menasional”. Sebenarnya justru yang menjadi pertanyaan dari saya, seperti apa sih kiprah dan kapasitas yang cukup menasional itu ?
Poin ketiga yang sayangnya juga tetap dinumerisasi Kang Nur dengan angka “1”, dikatakan bahwa “Tidak memiliki prestasi sedikitpun selama menjabat sebagai Gubernur DIY maupun Sultan Keraton Ngayogyakarta.”
Kalau Ngarso Dalem tidak memiliki prestasi sedikitpun sebagai Gubernur DIY maupun Keraton Ngayogyakarta, saya yakin Jogja tidak akan menjadi seperti sekarang.
Bagi saya, mempertahankan kemajemukan, tradisi serta budaya saja sudah merupakan satu prestasi yang baik, apalagi dengan kemajuan sisi modernisasi yang meskipun terkadang membikin orang kaget dengan kemajuannya yang sangat pesat, tapi look, bukankah itu semua adalah prestasi yang mau tak mau juga dinikmati semua orang termasuk saya dan mungkin… ya mungkin Anda, Kang Nur ?
Orang boleh beringas menentang pembangunan Ambarrukmo Plaza yang dulu memang sempat menjadi kontroversi, akan tetapi sekarang siapa yang tak menikmatinya?
Bahkan barangkali mereka yang dulu terkenal cuap-cuap menentang ini itu tentang pembangunannya pun bisa memajang foto-fotonya sedang berhepi-hepi di Ambarrukmo Plaza di akun Flickr-nya?
Menyoal Sultan Ground, pembangunan Ambarrukmo Plaza serta hal-hal yang menyangkut tanah warisan keraton ini tampaknya kita harus membedakan Ngarso Dalem sebagai Gubernur dan sebagai Raja yang memang mau tak mau mewarisi tanah sebagai hak miliknya.
Poin keempat yang lagi-lagi ditulis dengan angka “1”, Kang Nur berkata bahwa “Herdjuno Darpito banyak melontarkan idiom2 magis-mistis ke publik, seakan menyatakan dirinya adalah raja Jawa yang sakti yang selalu mendapat wangsit dari alam gaib, sekaligus mencobakan itu seakan mengetes kepercayaan dan kesetiaan rakyat Yogyakarta khususnya dan sekitarnya umumnya akan hal tersebut.”
Bagi saya hal ini sangat subyektif sekali, setidaknya pendapat saya ini terwakili dengan kata “seakan”.
Pendapat Kang Nur di poin ini coba dijabarkan dalam dua kejadian yang pertama adalah ketika Ngarso Dalem memberi isyarat kepada rakyat Yogyakarta untuk membuat sesaji berupa sayur lodeh karena ancaman akan adanya badai tropis dari Laut Selatan pada Februari 2005 yang lalu (Kang Nur menulisnya sekitar 2004, dan saya mendapatkan informasi dari situs Sinar Harapan bertanggal 5 Februari 2005).
Bagi saya, menanggapi hal ini simple saja…
Apa salahnya menuruti ajakan tersebut? Apa susahnya memasak sayur lodeh?
Saya merasa cukup modern dan logis, dan justru karena itu saya berpikir kenapa saya tidak ikut memasak sayur lodeh?
Toh sambil menyelam minum air, sambil makan sayur yang memang enak disantap itu sekalian kalau memang bisa diamini sebagai penghalau mara bahaya?
Justru di sini menurut saya yang semakin menunjukkan bahwa sebagai tokoh budaya Jawa, beliau bertanggung jawab terhadap kelanggengan tradisi tolak bala ini.
Lalu pada kejadian kedua yaitu tentang gejolak Merapi pada pertengahan tahun 2006 yang lalu, menurut yang saya lihat dan dengar dari televisi kala itu, Ngarso Dalem meminta seluruh warga yang berada dalam kawasan berbahaya untuk mengungsi adalah dalam rangka tugas beliau sebagai gubernur dan bukan hanya sebagai raja. Untuk hak yang satu ini, sekali lagi saya juga tidak asal njeplak saja. Saya menemukan linknya di sini. Dan kalau dicermati betul-betul justru Ngarso Dalem dalam konteks ini menunjukkan ketaatannya pada pemerintah pusat yang memang memerintahkan warga Merapi saat itu untuk mengungsi mengingat laporan dari BPPTK Gunung Merapi yang memang menunjukkan kekawatiran akan letusan Merapi. (saya sertakan pula linknya di sini).
Kalau sudah begini, dimana letak mistiknya?
Lagipula mengkonfrontasikan Ngarso Dalem dengan Mbah Maridjan adalah sesuatu yang tidak tepat. Mereka berdua pada waktu itu hanya mengalami beda persepsi saja. Mbah Maridjan tetaplah orang yang setia pada “rajanya” dan Ngarso Dalem pun juga seorang gubernur yang harus taat pada pemerintah pusat.
Pada poin kelima, lagi-lagi ditulis dengan angka “1”, Kang Nur menuliskan bahwa “Gaya Herdjuno Darpito dalam berkomunikasi dengan wartawan kurang simpatik.”
Hal itu lantas dikaitkan dengan penggalan kalimat yang ia tulis sebagai berikut ” Lalu bagaimana yang ditampilkannya kini? Yang terlihat adalah ia memang sering memakai bahasa Jawa saat menanggapi wartawan itu; namun itu tidak menampilkan apa-apa, selain hanya terkesan bahwa beliau meremehkan wartawan!” Ah… saya jadi berpikir apa iya semua atau sebagian besar wartawan merasa diremehkan hanya karena penggunaan Bahasa Jawa?
Bukankah ia Raja Jawa yang berhak sekali untuk menggunakan bahasa itu?
Ketika saya mendengar ibu saya yang selalu menggunakan bahasa Jawa kepada saya, tak sedikitpun perasaan terlukai atau teremehkan oleh karenanya.
Juga kalau saya mengatakan sesuatu hal pada teman saya yang kebanyakan juga menggunakan bahasa Jawa, mereka toh tetap menjadi teman saya yang tak tercederai sedikitpun dengan penggunaan bahasa Jawa saya.
Apa Anda juga terlukai atau teremehkan kalau menonton Ketoprak Humor ataupun lawakan bahasa Jawa kental yang sering dituturkan oleh Almarhum Basuki dalam Si Doel Anak Sekolahan dulu, misalnya?
Lalu poin yang terakhir, yang lagi-lagi dituliskan dengan angka “1”, Kang Nur menuliskan “Putri kedua beliau hamil sebelum menikah.”
Maaf kalau saya katakan demikian, tapi apa ada yang setuju (selain penulis dan beberapa orang yang memiliki aras pemikiran yang sama, mungkin) bahwa seseorang kurang respek kepada Ngarso Dalem hanya karena gosip bahwa “Putri kedua beliau hamil sebelum menikah.”
Saya benar-benar tidak dapat menemukan esensi korelasi dari poin ini dengan grand concept dari penulis yang ingin disampaikan kepada khalayak.
Bagi saya, soal putri kedua beliau itu hamil atau tidak hamil sebelum menikah, itu bukan urusan saya dan sedikitpun tidak akan mengurangi rasa hormat saya kepada beliau.
Demikian tanggapan saya.
Oh ya, karena saya khawatir tulisan Kang Nur diedit lagi (ketika saya membaca comment dari pembaca di postingannya, saya menemukan keberatan seseorang terhadap Kang Nur yang menggunakan kata bodoh untuk mendeskripsikan Ngarso Dalem dan kemudian dieditnya) maka saya telah menyimpan file hasil print-screennya. Bukan untuk apa-apa, sekadar menjadi barang bukti kenangan atas pendapat bebas seseorang saja.
surgo neroko katut ngarso dalem..
hehe
Matur nuwun Kang Donny. Ini tanggapan yang paling memuaskan dari sekian komentar2 lain yg muncul dari tulisan saya yg saya akui: memang agak ngawur dan nekat itu. Membuat saya ingin meninjau kembali sudut2 pandang saya yg sempit dan menilik semua hal itu dari sudut pandang yg berbeda dan lebih luas. Sbgmn Kang Donny utarakan sendiri, yaitu: Kapan kita menilai Ngerso Dalem sbg Gubernur, dan kapan pula sbg Ingkang Jumeneng minongko Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan yg mewarisi Kraton Kasultanan. Saya ini hanya wong ndeso yg tidak berpendidikan, Kang. Hanya kebetulan saja berani nulis nekat. ..Jujur, karena ke”culun”-an saya ini, saya tidak menyangka kalo tulisan saya mendapat tanggapan yg cukup heboh. Sampai2 saya merasa ketakutan sendiri, dan ingin meng-edit-nya. Tapi kini tulisan itu sudah terlanjur go-public, maka hal yg terbaik dan ksatria bagi saya adalah membiarkannya tetap demikian. Saya kemarin blogwalking ke blog Kang Donny memang sengaja mencari blogger yg kira2 dapat menanggapi dgn bagus dan antusias. Beruntung kan Kang Donny-lah orang yg pertama saya inginkan itu? ..Namun demikian, saya ingin menanggapi balik pula bbrp tanggapan Kang Donny di sini, karena bbrp hal juga persepsi Kang Donny di sini ini saya rasakan kurang pas dgn yg mau saya maksudkan. Namun itu saya tunda dulu, takut nanti saya malah salah lagi. Biarkan ditanggapi pembaca2 lain dulu, ya. …Sekali lagi matur nuwun dari saya wong ndeso.
@Kang Nur:
Mohon dalam berpendapat, hilangkan stigma dan rasa bersalah tentang “wong ndeso”, “wong culun”, “tidak berpendidikan” karena penilaian terhadap orang toh tidak jatuh pada stigma-stigma seperti itu, Mas.
Karena Anda menunda dulu ya baik saya pun juga hanya bisa berkomentar seperti itu.
Tapi pada intinya, stigma “rendah diri” yang Anda pertahankan itu, menurut saya, malah berlawanan / kosokbalen dengan tulisan yang “indah” yang Anda tuliskan di website Anda.
Salam Damai!
tulisan yang bagus, gak terlalu subjektif. tidak membela juga. Sebenarnya kemarin mau nulis kayak gini, tapi gak sempet *alasan*. Saya sependapat dengan tulisan mas donny. Jangan2 tulisan kang nur cuma buat bikin traffic blognya meningkat :D
Ini dia rawian Donny terciamik! ;)
Kok kesannya jadi aneh dengan membawa title wong ndeso wong culun, justru kalo wong ndeso itu penuh toto kromo, penuh dengan pemikiran bukan asal njeplak :)
Aku heran dengan tulisan dia yg asal njeplak seperti itu, apapun alasannya 6 point semuanya tidak logis.
picik tenan nganti muni cuma kuliah UGM kecerdasan dan pendidikannya kurang menyakinkan. lha sek ra nguntal bangku sekolah dadi sukses ae okeh. jadi pembicara di mana mana, jadi panutan orang banyak.
Wah malah dadi muring.. wes biar seleksi alam yg menentukan apakah tulisan dia itu berbobot atau hanya ingin menyaingi sang pakar yg selalu ingin cari sensasi.
Pejah gesang nderek sinuhun.
Ray: “wah apik pejah gesang nderek sinuhun, ati – ati terpeleset sama mengidolakan sultan apa ndak haram itu ngomong gitu? :p
Ndaru : bukan mengidolakan (aku gak nulis idola disitu kan), bukan juga terlalu menyanjung beliau, kita disini berbicara dalam konteks politik (seperti yg sedang dibahas).. kalo sultan maju, ya aku dukung dia sepenuhnya. Karena aku percaya dengan konsep kepemimpinan dan kerakyatan beliau.
Lain urusan dengan hidup mati dalam artian kehidupan yg sebenernya, tentulah Yang kuasa yg mengaturnya. :)
sory Don OOT
Kang Donny, juga pembaca lain; Saya sudah memperbaharui tulisan saya di SINI, sekaligus sudah menanggapi tulisan Kang Donny ini.
Iki mirip RT neng twiter ki hihi, followers disini banyak bok, ngiklan disini bisa oke loh buat rating blog #eaaa #OOT
kalo semua manusia ditelanjangi nggak ada yang mulus, sebagai manusia kita mesti berlatih dan berusaha “mikul dhuwur menden jero”, Sultan-pun sebagai manusia, terus belajar dan Kraton adalah salah satu alat bukti sangkan paraning dumadi, merupakan laboratorium perilaku manusia. Sebagai Harjuno Darpito dan setelah menjadi Sultan HB X pun terus belajar dan berupaya menutupi celah-celah kesalahan, karena sadar bahwa suatu saat yang dinilai adalah amal dan perbuatannya.