Ada yang pernah melihat langsung Staphylococcus Aureus, E. Coli, Pseudomonas Aeruginosa, Enterobacter, Salmonella ataupun Klebsiella pneumoniae?
Belum? Sama!
Siapakah mereka? Bukan manusia kecuali ada orang tua yang memberi nama anaknya demikian. Mereka adalah bakteri dan sebangsanya yang ukurannya mikroskopis alias tak bisa dilihat dengan telanjang mata. Nah, karena belum pernah melihat, percayakah kalian bahwa mereka itu benar-benar ada?
Aku sebenarnya tidak. Tapi gara-gara melihat dan membaca poster di bawah yang dipasang tepat di atas tempat untuk pipis di toilet kantor itu aku mendapatkan ‘hidayah’. Mata batinku jadi tercelikkan untuk percaya dan mengimani bahwa mereka itu benar-benar ada. Entahlah, bagiku, saat itu, aku merasa fungsi poster di toilet itu seiring dan sejalan dengan fungsi kitab suci bagi umat-umat beragama. Pada cerita-cerita kitab suci, kita jadi percaya Tuhan dan bala kurawanya. Pada poster-poster tersebut, aku jadi percaya adanya bakteri-bakteri itu.
“Tapi karya Tuhan tak berhenti di kitab suci saja, Don! Kamu bisa juga melihatnya dalam hidupmu!” aku membayangkan kawanku yang religius akan berkata demikian.
“Betul! Sama seperti bakteri itu! Karya mereka juga bisa kulihat dalam hidupmu… Pada penyakit-penyakit yang kita derita karena ulah mereka!” balasku.
Tapi aku sedang malas bicara tentang agama-agama-an hari-hari ini karena aku tak bisa melarang orang bodoh membaca blog ini, takut mereka salah tangkap tentang apa yang kutulis. Jadi mari kita bicara yang ringan-ringan saja, ya soal cuci tangan atau tak mencuci tangan selepas kencing. Secara detail aku pernah menulisnya di artikel ini?dan ini ?dan tulisan yang kalian sedang baca ini?hanya sekadar kelengkapannya.
Poster itu menyadarkan kita bahwa ada bakteri yang menempel di tangan karena kegiatan kita di toilet oleh karenanya perlu dibersihkan.?Caranya? Cuci tangan di bawah air kran hangat selama dua puluh detik. Mudah? Emberrr, tapi menurutku ‘cost’ untuk lingkungannya tak terlalu murah.
Menyalakan air dan menjadikannya hangat itu butuh waktu untuk memantik gas pemanas air kira-kira 10 detik lamanya. Jadi, dengan total 30 detik menyalakan air, dengan takaran rata-rata per menit sebuah kran membuang air sebanyak 6 liter, maka ada tiga liter air terbuang begitu saja untuk menghilangkan bakteri-bakteri itu tadi. Air sebanyak itu, menurut Lifehacker setara dengan jumlah air yang perlu diminum seorang pria (wanita ternyata hanya perlu 2 liter air) setiap harinya.
Ah, tapi ini kan untuk alasan higienis, Don?
Yakin? Serius? OK, pegang teguh keyakinanmu dan mari kita bicara fakta.
Setelah kencing, kamu akan memasukkan penismu kembali ke balik celana dalam, mengancing celana dan mengikatnya kembali dengan sabuk. Benar? Dan semuanya itu kamu lakukan menggunakan tangan yang sama yang kamu gunakan untuk kencing barusan. Jangan kaget dan terperanjat gitu! Ceritanya baru kumulai di sini…
Dari situ kamu berjalan ke arah wastafel dan menyalakan kran. Kamu tidak akan menggunakan alat lain untuk menyalakan kran selain menggunakan tangan, kan??Sesuai anjuran, kamu lantas mencuci tangan.
Setelah itu? Mematikan kran lagi dan lagi-lagi menggunakan tangan yang tadi juga kamu gunakan untuk menyalakannya dan sebelumnya kamu gunakan untuk memasukkan penis ke celana dalam, mengancing celana dan mengikat sabuk… dan sebelumnya lagi kamu gunakan untuk kencing. Jangan kaget dan terperanjat dulu! ini belum selesai ceritanya…
Dari wastafel, kalau toiletnya memiliki daun pintu, untuk keluar, kamu akan memutar handle pintu menggunakan tangan. Tangan yang sebelumnya kamu gunakan untuk mematikan kran, yang sudah kamu bersihkan.
Pertanyaanku, berapa jam sekali gagang kran dicuci? Berapa jam sekali handle pintu dicuci??Kalau tanganmu perlu dicuci di bawah kran selama dua puluh detik untuk menghilangkan ‘germ’, sudahkah gagang kran dan gagang pintu itu juga dicuci selama itu dan sebanyak ia dipakai dan dipegang orang-orang yang menggunakannya?
Nah kalau demikian dimana letak higienisnya?
Harusnya ada yang perlu diubah dari poster itu. Bukan menghilangkan bakteri yang bisa dilakukan oleh gelontoran tiga liter air selama 30 detik. Tapi menghilangkan pikiran bahwa kita kotor dan penuh bakterilah yang terjadi; bahwa dengan siraman air itu kita jadi merasa bersih dari noda. Entah kenapa di ujung tulisan ini aku mendapatkan simpul yang lagi-lagi mirip dengan pemahaman kita tentang agama… dengan kita datang ke tempat ibadah dan berdoa, pikiran bahwa kita kotor dan penuh dosa pun lepas sepulang dari sana meski sejatinya kita tak pernah tahu…
Ok sekarang kalian boleh kaget, takjub dan sadar karena ceritanya sudah selesai!
*slordig; dalam Bahasa Belanda diartikan sebagai kotor, tak bersih. Dalam percakapan bahasa Jawa, slordig diucapkan sebagai slordeh dengan arti yang sama. Penjajah Belanda berjasa membawa ungkapan itu ke pulau Jawa beberapa abad silam.
Jadi percuma cuci tangan, lha handel pintu itu gak bersih juga, :)
Selalu suka dengan tulisan mas donny :D
Oh iya mas, tambahin subscribe email dong, biar tiap ada artikel baru langsung masuk ke email :)
Jd inget materi presentasi ttg Asymmetric War: Bahwa ujung dari semua kampanye marketing, strategi media dan ilmu komunikasi, adalah kontrol atas fikiran audiens. Dengan memanfaatkan ketidaktahuan, ketidak-pahaman, keraguan, dan sejenisnya. Untuk membentuk opinisi sesat, rasa takut, kekhawatiran hingga paranoia dan kebutuhan rasa aman. Ketika semua itu sudah berhasil dilakukan, penjualan produk, atau brand, akan meningkat :)