Sekitar dua minggu lalu, seorang kawan mengajukan ide menarik tentang bagaimana sebaiknya kita berperan dalam sebuah tim kerja yang kupikir akan baik juga untuk diterapkan di segala hal tak terbatas pada tim dan tempat kerja.
“Being Slashie”, demikian tulisnya dalam kertas kecil untuk ditempelkan di tembok.?Tak ada seorang pun yang tahu apa maksudnya dan aku bersyukur untuk itu karena kupikir sebelumnya hanya aku yang nggak ‘ngeh’ karena kendala vocabulary Bahasa Inggrisku yang masih saja terbatas.
“Artinya kita tak membatasi diri sebagai orang yang dibayar untuk melakukan hal tertentu saja!” jelasnya.
Anggota lain, termasuk aku, mencoba manggut-manggut meski tatapan kami tertunduk ke lantai mencoba memungut sesuatu yang barangkali ‘jatuh’ dari penjelasannya yang tak super duper jelas itu!
?Artinya kita tak membatasi diri sebagai orang yang dibayar untuk melakukan hal tertentu saja!?
Rupanya ia tahu diri. Sesaat kemudian ia melanjutkan penjelasannya,
Begini lho… aku designer, kamu developer dan kita dibayar untuk itu. Tapi ketika ada klien datang dan sebagai tuan rumah yang baik, apa salahnya kalau kita menawarinya untuk membuatkan secangkir kopi? Atau kalau ada kawan yang sedang bingung dengan perhitungan angka, aku siap bantu karena meski aku designer tapi aku masuk jurusan akuntansi waktu itu!
Nah hubungannya dengan slashie, kamu memang designer tapi karena kamu juga pandai membuat kopi dan kamu jago akuntansi maka kamu bergelar designer – slash – coffee maker – slash – accountant.
Lalu ia menuliskan di tembok, I’am designer/coffeemaker/accountant! (tanda / atau \ terbaca sebagai ‘slash’ di dalam Bahasa Inggris).
Jelas?
Kami semua tersenyum, kali ini kami cukup mendapat kejelasan tentang apa konsep ‘being slashie’ itu.
Kalian, pembaca blog ini… Jelas?
Nyaris semua orang di sini, tak peduli siapapun dan bekerja sebagai apapun di kantor manapun, ketika akhir pekan, mereka berubah menjadi tukang kebun atau tukang bersih rumah.
Pernah waktu pertama kali sampai di Australia, enam tahun silam, istriku mengajak jalan-jalan di Sabtu pagi dan kutemui banyak orang-orang baik itu tua maupun muda, mengenakan singlet, sepatu boot bersol karet dan celana pendek. Mereka berkeringat dan ‘bersenjatakan’ gunting rumput di tangan, selang air ataupun sapu untuk bersih-bersih rumah dan pekarangannya.
“Mereka pembantu?” tanyaku.
Dan ternyata bukan! Mereka adalah pemilik rumah-rumah yang megah itu yang hari senin-jumat mungkin berprofesi sebagai manager atau skill person tingkat senior.
“Mereka nggak pake pembantu?”
O well, hidup di negara ini memang membuat kita harus berpikir berkali-kali untuk mencari pembantu rumah tangga dan mempekerjakan mereka.
?Kalau bisa dikerjakan sendiri, kenapa harus membayar orang lain untuk mengerjakannya??
Pertama, biaya kerja di sini sangat mahal dan nyaris tak masuk akal untuk membayar gaji pembantu sebesar gaji manajer di Indonesia. Kedua, begitu banyak peraturan yang harus ditaati sebagai ‘majikan’ jika mempekerjakan pembantu. Ketiga, pola hidup yang serba ‘individu’ toh membuahkan hal positif juga yaitu budaya D-I-Y alias Do It Yourself atau dalam terjemahan yang lebih mudah adalah “Kalau bisa dikerjakan sendiri, kenapa harus membayar orang lain untuk mengerjakannya?”
Lama-lama akupun berubah jadi begitu juga.
Sabtu atau minggu pagi adalah saatnya untuk membersihkan rumah dan halaman dan aku menikmatinya serta menganggapnya sebagai sebuah ‘zen’ karena sembari aku bekerja, aku bisa memikirkan banyak hal yang tak jarang menjadi konsep dan membuahkan beberapa tulisan di sini; terproduksi justru ketika aku yang seorang tenaga skill senior di sebuah kantor telekomunikasi terkemuka di Australia di senin-jumat sedang membersihkan rumah dan halaman di akhir pekan.
Jadi, apapun profesimu di sini, rata-rata kamu punya satu profesi tambahan di belakang tanda ‘slash’ yaitu ‘pekerja kebun sendiri’ atau ‘house cleaner’ meski itu untuk tempat tinggal sendiri juga.
Lain lagi kawanku,
Ia seorang Indonesian juga yang tinggal di sini. Sama-sama punya dua anak tapi sayang pekerjaannya kalau dinilai secara nominal memang belum menghasilkan hasil yang optimal nan diharapkan. Tapi ia tak patah semangat, berbekal kewajiban sebagai kepala rumah tangga, ia yang dari jam 9-5 berprofesi sebagai teknisi IT, pada hari kerja hanya punya waktu istirahat dari jam 5 – 7 malam untuk kemudian bekerja sebagai kuli angkut di sebuah retail sayur-sayuran segar ternama di Australia hingga larut malam.
Tapi ada juga sih kawan lain…
Ia bukan dari Indonesia karena setahuku orang Indonesia adalah orang yang rajin dan beradab, tekun beribadah dan pekerja keras. Umurnya masih muda sekitar 23 tahun, ia berasal dari negara yang terlintasi khatulistiwa, ya Zamrud Khatulistiwa!
Ia lulusan sekolah terbaik di negaranya dan sebelum kemari ia bekerja di bidang yang ia sukai. Bersama istrinya ia mengadu nasib ke Australia tiga tahun silam. Sebulan dua bulan pertama mencoba untuk idealis tetap mencari pekerjaan yang hanya ia sukai; lain tidak. Tapi ketika waktu terus mengalur sementara ia belum juga mendapat pekerjaan tapi terlalu memilih-milih pekerjaan yang kadang kami sodorkan, kami toh tetap berbaik hati dengan memberikan sebuah jabatan baru di belakang tanda ‘slash’ pada dirinya yaitu ‘Pemalas’!
Sekarang kalian pastinya sudah jelas kan tentang konsep Being Slashie yang dibawakan kawanku tadi?
Kalau belum juga, stop berpikir dan carilah sosok yang ‘slashie’ di sekitar kalian. Tak susah! Sekarang kan banyak baliho dan poster caleg bertebaran? Datangi dan cermati serta baca nama dan gelarnya:
Ir Anunya Panjang SH, MH, ST, MT, MM.
Wow… berarti ia adalah seorang insinyur/sarjana hukum/barangkali dosen karena banyak gelar masternya/Calon Anggota Legislatif.
Ingat nama dan catat gelar yang barusan kalian definisikan.
Setahun dua tahun ke depan, jika kerjanya tak maksimal di lembaga yang harusnya mewakili kalian, tambahkan jabatan baru baginya…insinyur/sarjana hukum/barangkali dosen karena banyak gelar masternya/Anggota legislatif/Pembual janji rakyat
lalu kalau akhirnya ia masuk bui karena korupsi tinggal imbuhkan sebuah jabatan baru di belakang slash-nya, koruptor! Pengemplang uang rakyat!
suka banget dengan tulisanmu ini, don. :)
btw, sejak bekerja sendiri, aku kadang menambahkan gelar pekerjaan tambahan: penerjemah/(kadang-kadang) blogger/(kadang-kadang) penulis/tukang beres-beres/sekretaris diri sendiri :D :D
memang kerap kali kita dituntut untuk luwes, kok. mau berganti peran. toh itu demi kebaikan kita sendiri… dan orang-orang di sekitar kita.
Thanks, Nik :) Let slash ourself :)
Asal bukan slash almarhum wae…wakakaka
kowe gelem? :)
Minimal Seminggu sekali aku jadi sopir, sebulan belakangan jadi koki bakmi jawa karena istriku ketagihan, pernah jadi penunggu anglo di ngopikere gunungkelir.
Dan Klo dipikir-pikir, jabatanku uakih!
Dan dalam keseharian, rutinitas kerjaan, aku adalah
pelayan. Konsep di tempatku kerja, bahwa siapapun yg berhubungan dengan kita adalah Customer…
Pelayan itu kan orang yang pekerjaannya menangkap ikan di laut ya? #eh
Wah, brarti abis pemilu siap mbukak warung nyaingi Mie Kadin jogja ini! :)
Tulisanmu ini kok sama dengan apa yang kupikir sekitar 3 minggu belakangan ini ya, terutama pada quote yang ini:
?Artinya kita tak membatasi diri sebagai orang yang dibayar untuk melakukan hal tertentu saja!?
kalau aku lebih memaknainya jangan mau diperbudak uang. Bukannya munafik ngga butuh duit, tapi kalau awalnya sudah membuat batasan yang sebenarnya batasan tersebut malah menutup peluang yang lain pada akhirnya malah tidak mendapat manfaat apapun.
That, so true! :)
Kalau aku mengartikannya
Kita tidak membatasi diri melakukan hal-hal yang kita dibayar
Jadi tidak terkungkung pada bayaran, kita bisa melakukan hal-hal lain, tapi hal-hal lain itu dilakukan bukan dalam rangka profesi
Komentarmu selalu bagus, maklum psikolog :)
wah.. slashie-ku banyak banget berarti.. hahahhahaha..
Bentar lagi slashienya adalah menjadi seorang Ibu :) Congrats!
belajar akuntansi, (sempet) kerja community development, sekarang kerja di agency yang membuat mobile app plus jadi buzzer #teteup =))
Lumayan slashie lah
hahahahaha.. :))) aku tak ngguyu wae :D