Kemarin pagi aku mengikuti sebuah conference yang diadakan oleh salah satu divisi tempatku bekerja, sebuah kapitalis raksasa global di bidang penanganan dokumen, tentang teknologi yang berhasil mereka temukan dan penerapannya sudah dalam taraf pre-flight; siap untuk dilempar ke pasar beberapa waktu mendatang. Conference itu sendiri berjalan dengan menarik, gaya presentasi yang up-to-date serta makanan dan minuman yang ‘mbanyu mili’ sepanjang acara berjalan.
Namun, di tengah kenikmatan itu, tiba-tiba berkecamuk sebuah pertanyaan yang seperti disodorkan begitu saja ke alam pikirku.
Begini, kalau manusia sudah terbiasa dengan kemajuan, mampukah kita untuk mengalami kemunduran dalam hidup?
Kemajuan adalah sesuatu yang menjadi jamak bagi kita karena ‘menjadi lebih maju’ adalah naluri dan alasan untuk kita tetap semangat menyambut pagi, bukan?
Demi kemajuan-kemajuan itu, kita berpikir dan bekerja keras. Memeras otak dan membanting tulang setiap harinya selama kita hidup, selama kita ingin maju. Raihan-raihan yang berarti itu lantas seperti tersaji dalam tatanan hidup membawa kita menjadi semakin maju, memudahkan kehidupan dan memberikan rasa nyaman. Kita bisa menikmati aneka ragam informasi dari telepon genggam, sesuatu yang sepuluh tahun silam tak lebih dari piranti telpon dan pengantar serta penerima pesan teks dari kerabat. Kita juga bisa menikmati siaran televisi melalui kabel, menyaksikan bagaimana isak tangis Maradona yang sekarang adalah pelatih Argentina ketika timnya berlaga di Piala Dunia di Afrika Selatan sana, padahal kita ada di belahan bumi lainnya. Dan masih banyak seabrek kemajuan teknologi lainnya yang tentu tak kan pernah cukup untuk dituangkan di sini.
Namun sayangnya, kelemahan dari semua kemajuan yang telah kita capai tersebut, kalau boleh menyebutkan, adalah adanya dependensi terhadap sumber daya lain baik alam maupun buatan manusia. Katakanlah telpon genggam. Pernahkah kita membayangkan jika sesuatu hal terjadi dengan tata atur satelit yang mengatur jalannya arus informasi dari dan ke telpon genggam kita? Bisa dipastikan telpon genggam kita akan kehilangan dayanya. Ia tak lebih akan menjadi sebuah piranti kosong tanpa informasi yang biasa kita sesap darinya. Atau bayangkanlah jika tiba-tiba seluruh dunia mengalami black-out karena mati listrik dan masih bisakah kita melihat tempik sorak para pemain Spanyol yang menjadi juara dunia baru lewat layar kaca? Bukankah televisi tanpa arus listrik hanya akan menjadi papan hitam yang masif nan tak bergeming?
Aku bicara tentang apa yang diramalkan terjadi pada sekitar bulan Mei 2013 mendatang.
NASA menyebutkan (click di sini untuk info selengkapnya) bahwa pada sekitar bulan itu nanti, Matahari akan mengalami beberapa kali letusan di permukaannya. sebuah fase yang sebenarnya bersifat periodik. Meski telah terprediksi dan bersifat periodik, tetaplah tak seorang pun tahu akan seperti besarnya peristiwa itu. Efek-efek yang akan ditimbulkan pun juga demikian masih merupakan tanda tanya besar. Bisa saja sistem telekomunikasi dunia akan mengalami gangguan dengan skala kerusakan yang entah seperti apa. Bisa juga seluruh dunia berpotensi mengalami blackout entah itu dari arus listrik maupun jaringan telekomunikasi dan informasi untuk sekian lama karena gangguan tersebut.
Nah, ketika itu semua memang harus terjadi dan tak satupun dari kita mampu menanggulanginya, kuulangi lagi pertanyaan yang kulontarkan di atas, mampukah kita untuk mengalami kemunduran atas apa yang telah kita raih lalu membangunnya lagi susah payah dari awal?
Sebagai manusia yang mencoba untuk selalu optimis, persoalan paling mendasar menurutku bukanlah soal mampu atau tidak, tapi lebih pada mau atau tidak..
Jadi, mau tidak mempersiapkan segala kemungkinan?
inspiring!
thx for reminding :)
Jadi terpikir yah mirip pemasaran tempo dulu mba :)
meskipun beralih ke social media tapi kembali apda mouth to mouth lebih percaya teman dari pada Brand :)
oh iya jelas itu hehehe…
yg dulu2 itu tetap basic, yg skrg melengkapi dan memudahkan aja. satu saat kemudahan itu hilang, yang basic harus ndak boleh dilupakan :D
mau nggak mau ya kudu mau
punya pilihan bangkit dan jangan hanya terpaku
seiring waktu berlalu
kebiasaan akan selaras dengan waktu
Kok aku jadi deklamasi gini yah, mungkin gara2 masih anget2nya suasana 17an kali..haaa
jujur saja kalo apa yang kamu ceritakan tadi bener-bener terjadi aku belum siap, oh mungkin siap dengan terpaksa :(
Betul Betul betul….
Kalau kita sudah tahu sesuatu akan atau mungkin terjadi, dan bisa membawa dampak tertentu pada kehidupan kita sehari-hari, sebaiknya sedapat mungkin kita mempersiapkan diri … minimal membiasakan diri jika hal itu benar-benar terjadi.
Tapi kembali lagi, prakteknya tidak semudah bicara.
saya rasa sesekali kita perlu belajar untuk tidak ketergantungan pada “kemajuan”, walaupun rasanya itu hal yang mustahil, tapi kalau sudah terpaksa, mau apa lagi.
Aku sih berharap dampaknya ngak lama, namun jika harus terjadi ya apa boleh buat :(
yah jikala p[ertanyaan nya siap atau tidak saya akan menjawabnya denga mau nggak mau harus mau soalnya apapun yang terjadi baik kemajuan maupu sebaliknya itu memang resiko dalam perjalanan
jo lali nek mudik ngabari meh pingin ndelok sikile sampean wakakakaka
saya sih mau. caranya..belajar menerima apapun yang terjadi apa adanya.:)
Saya merasakan, ternyata sesekali tanpa hape menarik juga. Dalam perjalanan selama 10 hari jalan-jalan, saya tak mengaktifkan hape, hanya sesekali dilihat…hasilnya, sungguh menyenangkan….
Dan di daerah, tanpa sekalipun menonton TV, membaca surat kabar, ataupun main internet…
Kita bisa kok Don, apapun kita bisa, jika terpaksa
Ini ceritanya malah kayak realisasi dari ambisi2 para tokoh antagonis di film-film yang mau menjadi pahlawan untuk membentuk dunia baru yang lebih baik dengan cara menratakan seluruh perabadan manusia dan membangunnya kembali sambil menjalankan peranannya sebagai Tuhan… haha…
sampai sekarang saya belum kepikiran gimana cara nya hidup tanpa alat telekomunikasi. Mungkin sebelum tahun 2013 , ada baiknya saya belajar komunikasi asap indian :)
Tulisanmu ini menarik Don. Terus terang aku sudah bbrp kali merenungkan hal ini. Mungkin tidak semua orang siap utk gagal atau mengalami kemunduran. Tapi bagaimanapun kita hrs siap. Caranya? Aku pikir salah satunya dg melepaskan kelekatan dan selalu eling. Hehe, omonganku muluk2 yo Don
Orang2 yg sehari-harinya bekerja hanya untuk hidup hari ini, tidak mapan, kupikir adalah golongan yg sangat siap menghadapi apapun.
Tapi, siapa sih yg mau hidup tidak mapan?
Manusia secara naluriah bekerja untuk secercah kemapanan, sehingga ada waktu selo yg bisa ditumpuk.
Buat apa mempersiapkan diri, atau mau, untuk kemunduran?
Sebenarnya bukan mau atau persiapan diri sih, intinya nek menurutku, semacam konsekuensi ada kalah ada menang :)