Si Raja Hutan dan sogokan makanan dalam kotak plus air mineralnya

9 Sep 2013 | Cetusan, Indonesia

Pagi itu aku memulai hari terlalu dini, 5:30 wib meski kutahu itu belum ada apa-apanya dibanding kawan-kawan di Jakarta lain yang kalau kusimak via timeline di Twitter kadang harus bangun jauh lebih pagi bahkan tak tidur semalam-malaman demi harus mengejar pesawat pagi karena macetnya jalanan di ibukota yang tak bisa diprediksi.

Setelah mematut diri, dan berkemas kutengok arloji dan taksi yang kupesan sejak semalam tak kunjung datang padahal aku harus ngejar pesawat ke Jogja jam 9 pagi lepas landasnya.

Wira-wiri di beranda rumah, melewatkan lima, sepuluh hingga lima belas menit lewat dari jadwal seharusnya, membuatku nervous. Bagaimana kalau tak datang beneran? Bagaimana kalau telat sampai di bandara padahal aku cuma punya waktu 1×24 jam untuk mengunjungi Jogja lalu nyekar Papa dan menyambangi rumah Mama dan keluarga adik di Klaten?

Setelah menelpon beberapa kali dengan sesekali misuhi operator taksi, yang ditunggu pun datang. Tampang sopirnya ingah-ingih, bikin nggak tega untuk menjalankan rencana memarahi dan memaki karena keterlambatannya.

Rasis? …lebih tepatnya mari kita labeli sebagai solidaritas sesama suku…

Ya, sudah.. pasrah saja dan memperpanjang sabar hingga ke ujung benua! Apalagi dari logatnya, supir taksi itu kupastikan adalah orang Jawa, ?Ah, siapa tau masih saudara jauh sesama orang Jawa!? gumamku. Rasis? Tak juga, lebih tepatnya mari kita labeli sebagai solidaritas sesama suku :) Tak salah, kan?

Tapi, ajaib! Supir yang kupikir klemar-klemer itu ternyata cekatan membesut Jakarta. Ia pintar menyibak trafik lalu tiba-tiba sudah ditanya, ?Mau ke terminal berapa, Pak??

Aku yang sedari tadi mencoba mengulur-ulur rasa sabar dengan pasrah dan bermain game di iPhone, melongok ke depan dan astagaaa.. sudah sampai tol cengkareng!

Aku lantas menyebut terminalnya. Tak lama kemudian segeralah kami tiba di sana.

Pagi itu sebenarnya aku berencana naik Garuda Indonesia, tapi karena kepulanganku ke Indonesia kemarin bukanlah dalam rangka liburan, aku tak punya waktu untuk memesan tiket pesawat ke Jogja dan akhirnya ketika mencoba peruntungan memesan tiket mendadak, yang tersisa hanyalah kelas bisnis yang bagiku terlalu mahal!

Lalu aku berpikir, kenapa tak naik Si Raja Hutan saja? Toh aku sendirian, anak-anak dan istri kutinggal di Jakarta? Dan kumulailah journeyku bersama Si Raja Hutan, pagi itu.

Tapi sungguhpun demikian, journey sebenarnya telah dimulai sejak aku menginjakkan kaki di terminal keberangkatan itu sesaat setelah keluar dari taksi.

Orang-orang di sana bagai ikan asin dikeringkan, kleleran dimana-mana.

Orang-orang di sana bagai ikan asin dikeringkan, kleleran dimana-mana.
Ada yang duduk di lantai, berdiri, dan tiduran di sana-sini. Ada yang berdandan parlente, kemayu bak artis, tapi ada juga yang sangat sederhana. Ada yang agak bisa antri, tapi lebih banyak yang sama sekali tak menghargai cara berantri. Hilang sudah image bandara yang selalu luks dan tertib ketika menyaksikan semua ini.

Tapi untunglah, setelah mendesak sana, menghimpit sini, akhirnya sampai juga aku di depan meja check-in tepat pada waktunya. Lalu setelah menyelesaikan segala urusan administrasi, iseng kubertanya pada petugas saat itu, ?Telat nggak, Mbak??

Jawaban standard yang sangat santun pun kuterima, ?Tidak, Bapak! Jadwal boarding masih jam 8:35?

Ah, syukurlah. Hingga tahap ini, sejarah panjang keterlambatan Si Raja Hutan terpatahkan; at least aku jadi harus mengamini omongan travel agent tempatku membeli tiket pesawat kemarin, ?Kalau pagi, biasanya nggak telat kok Pak!?

Tapi baru melangkah sekian langkah menuju ke ruang tunggu, aku berpikir, ?Haruskah aku mempercayainya?? ?Berapa orang yang percaya dan berapa yang berpikir bahwa si mbak penjaga check in tadi bisa saja bohong??

A-ha! Pikiran nakal menggelitikku. Aku memutuskan mampir ke toko buku, meraih Tempo terbaru. Dalam hati kuberpikir, ?Ayoh.. internet kumatikan, habis berapa lembar halaman sampai pesawat datang? Atau jangan-jangan sampai tandas kubaca dari halaman depan sampai Catatan Pinggir-nya Gunawan Muhamad di halaman terbelakang dan pesawat masih datang juga??

Dan waktu pun bergulir.
Sudah lebih dari lima belas menit sesudah waktu yang telah ditentukan untuk boarding dan belum ada pengumuman untuk para penumpang masuk ke dalam pesawat. Calon penumpang di sekitarku mulai gerah meski yang lain tampak biasa barangkali karena memang benar-benar terbiasa dengan keadaan yang tak menentu ini.

Menjelang pukul 9, pengumuman didahului dengan permintaan maaf mengabarkan pesawatku ditunda hingga satu jam!

Nah! Beneran!
Penumpang gaduh, mendatangi meja petugas bertanya sana-sini dan petugas hanya seperti monyet kena sambit, tak tahu apa yang harus dilakukan selain mencampurkan ekspresi kebelet boker dan senyum yang harus dikembangkan demi keramahan.

O well, aku berusaha menghibur diri, “lumayan, satu janjian kubatalkan!” ujarku sambil segera menghubungi salah seorang kawanku untuk minta maaf karena harus membatalkan janji ketemuan siang itu dan menundanya untuk waktu kunjungan berikutnya yang belum terencana.

Sejam berlalu dari pukul 9 pagi dan sekali lagi, tak ada pengumuman tentang keberangkatan apakah mau diberangkatkan atau dibatalkan sama sekali.

kami tahu bahwa kami benar-benar harus menambah sabar untuk pesawat super ngaco yang tak tepat waktu ini.

Sekitar jam 10:15, pengumuman dikumandangkan lagi dan? bahkan sejak pertama diucapkan kata ?maaf?, kami tahu bahwa kami benar-benar harus menambah sabar untuk pesawat super ngaco yang tak tepat waktu ini.

Penumpang kian belingsatan.
Seorang pemuda yang usianya kurang-lebih 30 tahun yang duduk di sebelahku dan semula mengira aku adalah seorang DJ hanya karena aku mencantelkan headphone di leher dan sesekali mendengarkan musik menggunakanya, tampak emosi lalu maju ke meja petugas.

?Apa-apaan ini! Mau tunggu berapa lama lagi!? hardiknya khas dengan logat ?daerah?. Sementara para monyet yang kena sambit tadi pun beringsut dari mejanya; menyingkir ketakutan. Sementara orang masih mengerubung meja petugas dan aku melamun memikirkan semua itu.

?Masih mending ini, Pak! Pas libur lebaran lalu, dari Kalimantan saya harus nunggu lima jam karena pesawat telat datang menjemput penumpang!? tukas orang yang lain lagi di sebelahku yang tampaknya justru heran kenapa aku sebegitu sabar.

?Pernah juga saya dari Bali mau ke Jakarta, sampai tengah malam tiba-tiba dibilang pesawat dibatalkan terbang hingga besok pagi! Kami protes, kami ancam, akhirnya diterbangkan juga!? tutur ibu-ibu yang matanya seperti hendak keluar karena saking emosinya!

?Tapi mereka itu licik! Bapak kan lihat mereka telat begini, tapi sekalinya kita telat check-in, mereka jual tiket kita ke orang lain!? tukas yang lainnya lagi yang tak sempat kuingat wajahnya karena terlalu banyak orang di sekitarku.

Inilah pemandangan yang khas di negara dengan pemerintahnya yang tampak terlalu sibuk entah dengan apa dan semoga sedang tidak memikirkan apa yang bisa dikeruk dan dijadikan penyumpal perut dengan lemak yang beribu-ribu miligram beratnya!

Jadi boro-boro peduli dengan jelata, untuk mereka yang sanggup membayar jasa seperti para pembeli tiket pesawat pun; mereka seolah tak ada! Tak melindungi kecuali dengan aturan-aturan yang tertulis indah dan kedengaran bagus menenangkan tapi pelaksanaannya ya entahlah?

Sosok mas-mas yang mengira aku adalah seorang DJ tadi akhirnya kembali ke kursi sebelahku. Ia tampak lelah, tangannya menggamit sekotak makanan dan segelas aqua yang disediakan para petugas yang telah kembali dari ?pelariannya? tadi.

?Mas, nggak ambil nasi kotak?? tanyanya padaku sambil mulai melahap makanan.

?Hmm nggak, Mas!?
?Kenapa? Kita kan rugi kalau nggak ambil, Mas?? nadanya begitu riang, amarahnya hilang.

?Saya sudah sarapan dan lagipula saya nggak selera! Saya nggak mau kekecewaan dan energi saya yang terbuang sejak pagi karena menunggu pesawat nggak datang-datang bisa diganti seenak jidat hanya dengan makan makanan yang disediakan dalam kotak dan air mineral itu, Mas!?

Parasnya agak sedikit berubah, hampir saja ia tersedak ketika mulutnya masih penuh makanan…

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. Lho… Saya kira ceritanya masih berlanjut, sampai tidak sadar saya sudah berada di paragraf terakhir.

    Beberapa kali naik pesawat, seingat saya cuma sekali (atau dua kali) saya naik si raja hutan. Selainnya, saya usahakan minta Garuda Indonesia karena untuk tugas dinas kita memang bisa menggunakan Garuda Indonesia.

    Balas
  2. Lha sidane mangkat jam piro, Don? Nggak kebayang deh mesti nunggu-nunggu nggak jelas kaya gitu. Btw aku suka ucapan yang kamu lontarkan ke mas-mas itu. :)

    Balas
  3. Harusnya sih, para penumpang menyadari bahwa harga yang mereka bayarkan untuk tiket sudah termasuk paket delay-nya.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.