Setia hingga akhir

12 Sep 2013 | Cetusan

Sekitar dua minggu lalu, ketika sedang hendak menuntasi buang air besarku, iphone yang sengaja kuletakkan di atas flush tank terjatuh ke lantai. Kejatuhan itu bukanlah yang pertama, tapi bisa jadi itu adalah yang terburuk dari yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya.

Permukaan bagian belakang yang ternyata terbuat dari kaca pecah dan repihannya melukai jariku. Segera kuambil selotip dan membebat tubuhnya dengan beberapa lapis untuk menghindari serpihan kacanya melukai bagian tubuhku yang lainnya.

?Wow, keren kan?!? tukasku yang disambut kawan kerja yang kebetulan melihatku, ?Keren apanya? Bawa aja ke Chinatown, Mate! Gak mahal dan paling cuma nunggu 10 menit… and done!?

Aku menggeleng. ?Tak apa, biarkan begini saja! Malah tampak gagah dan kesannya garang!?

Eh, selang beberapa hari kemudian, masalah lain muncul!
Tombol power iPhone ngadat dan aku kesulitan mematikannya kecuali dengan menunggu auto off yang kustel tiap semenit sekali jika tak digunakan sama sekali. Ketika kubaca referensi di Google, hal ini memang lumrah terjadi terutama untuk iPhone uzur seperti milikku ini.

Tapi, gotcha! Kutemukan solusi lainnya! Memunculkan tombol virtual untuk mengakses power di layar dan kesulitan pun hilang. Awalnya tentu agak canggung, tapi lama-kelamaan biasa aja!

* * *

Sementara nyaris di setiap media kutemukan iklan handphone baru dengan feature yang lebih canggih, aku sedang belajar, tepatnya mencoba untuk tak selalu menuruti kemauan nafsuku untuk mengganti handphone usangku tadi dengan yang baru.

…seperti halnya benda lain dan kita sendiri melintasi takdir yang berpola sama, lahir, hidup lalu mati.

Aku yakin kalian juga yakin bahwa handphone, seperti halnya benda lain dan kita sendiri melintasi takdir yang berpola sama, lahir, hidup lalu mati. Tapi pernahkah kita mengikuti takdir handphone kita sendiri-sendiri hingga ia benar-benar mati dan tak bisa digunakan lagi? Atau justru, belum menunjukkan rusak sama sekali sudah harus digantikan atas nama gengsi?

Oleh karena itu, aku sedang belajar. Belajar mengerem nafsu, sekaligus belajar menghargai bagaimana sebuah alat bernama handphone berproses dan berdaur hingga mati.

Karena bagiku, menelantarkan handphone usang dan menggantinya dengan yang baru itu sama halnya dengan ketidakpuasan mereka terhadap satu istri lalu mencari satu atau dua lagi dengan alasan yang pertama tak memiliki ?fitur-fitur? yang diinginkan.

Agak berlebihan malah frontal sekali analoginya ya? Tapi semoga masih masuk di akal…

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. belajar mengerem nafsu. belajar untuk tidak mudah terganggu karena itu yang disebut tangguh. dan aku pun sekarang sedang berjuang menyelesaikan membaca 1 buku yang sudah kubeli, aku berikan ke yang membutuhkan sebagai syarat untuk membeli 1 buku baru. ngirit ruang untuk buku :)

    Balas
  2. Bener juga y, lahir hidup dan mati. Ada beberapa kali HP ku melintasi takdir dengan sempurna, namun ada kalanya, karena ada kalanya terpotong di tengah jalan dengan berbagai alasan.

    Balas
  3. Dalam urusan mengganti handphone, mungkin saya termasuk lebih sering dibanding beberapa teman dan kerabat disini. Tapi ya itu, saya selalu berusaha untuk bertanya ke hati kecil apakah saya yakin ingin berganti ke yang lain dan menanyakan alasan kepada diri sendiri. Sehingga setelah membeli saya tidak menyesal.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.