Selain mengasihi Allah, salah satu syarat untuk memperoleh hidup yang kekal, menurut Yesus adalah dengan mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri kita sendiri (lih. Lukas 10:27). Tapi seorang ahli Taurat yang ada di dekat-Nya pada saat Yesus mengutarakan, bertanya untuk membenarkan diri, “Dan siapakah sesamaku manusia?”
Berbekal pertanyaan singkat itu aku merenungi Kabar Baik hari ini. Siapakah sesamaku manusia?
Sesamaku manusia, siapakah ia?
Adakah sesamaku manusia adalah yang benar-benar sama? Jika iya adakah dua orang yang identik sama meski kembar lahir sekalipun? Atau adakah sesamaku manusia itu berarti yang sepaham saja? Seagama saja? Sesuku dan sealiran? Sekota? Dan se-se-se lainnya?
Lantas kalau kesamaan itu dibangun berdasarkan persamaan ‘se-’, misalnya suatu waktu kita melihat ada seorang buzzer politik dari kubu sebelah tertabrak dan hampir mati, adakah kita tak tergerak untuk menolongnya semata karena kita tidak ‘se-‘ dengannya? Lalu kalau suatu waktu kubu sebelah yang selama ini kita benci berkoalisi dengan junjungan kita, adakah kita menyesal telah tidak menolong si buzzer hingga akhirnya meninggal dunia?
Kita ini sama dengan manusia?
Hari ini, alih-alih mencari siapakah yang bisa kita kategorikan sebagai ‘sesamaku manusia’ untuk kita kasihi, aku memberanikan diri bertanya justru pada diri sendiri sudahkah kita ini menjadi sama dengan manusia?
Lho Don, kita ini jelas-jelas manusia! Apa pula pentingnya bertanya pada diri sendiri? Nggak nyambung!
Benar, kita terlahir sebagai manusia. Tapi hingga kini apakah kita masih menjadi manusia yang sama? Adakah kita ini masih seturut citraNya atau jangan-jangan sudah menjauh dari gambaranNya?
Mengapa pertanyaan ini penting karena manusia yang menurut citraNya adalah manusia yang dalam konteks mengasihi (dan dikasihi) adalah manusia yang tak segan mengasihi dan rela mencintai siapapun dia karena Allah adalah kasih itu sendiri.
Sehingga di titik ini, memahami dan menyadari hakikat kita sebagai manusia yang adalah citra Allah adalah memahami bahwa mengasihi sesama itu tak perlu lagi mempertanyakan siapakah sesamaku manusia.
Tak perlu memastikan bahwa kasih yang kita beri hanya untuk yang seagama saja atau yang sealiran politik.
Allah mengasihi manusia tanpa memperhitungkan hal-hal tersebut kenapa kita harus memikirkan terlebih dahulu? Tak peduli siapapun yang jadi obyek kasih dan cinta karena yang lebih penting bagaimana merefleksikan kasih yang memancar dari dalam diri kita karena Allah adalah kasih itu sendiri.
Jadi, masihkah kita sama dengan ‘manusia’? Semakin kita sama semakin kita tak peduli lagi siapakah sesama yang harus dikasihi.
Sydney, 8 Oktober 2019
Tinggalkan Balasan