Serial Tokoh Muda Jogja, behind the scene

9 Okt 2014 | Cetusan

blog_penutupJogja

Ide awal serial Tokoh Muda Jogja tercetus saat aku berkunjung ke restaurant Bu Ageng milik budayawan Butet Kertaredjasa di selatan kota Jogja akhir tahun silam.

Selain terpesona dengan cita rasa Lele Njingkrung dan Baceman Kambing yang dihidangkan di sana, aku terkesima ketika menatap dinding kayu di restaurant tersebut yang memaparkan frame-frame foto tokoh ‘lama’ Jogja seperti Pak Harto, Umar Kayam, Dr Yap, Basiyo, Bagong Kussudiarjo yang adalah ayah dari Butet dan masih banyak lagi. Dari situ lalu aku berpikir kenapa aku tak juga membuat sesuatu yang seperti itu tapi lebih ‘kekinian’; mengangkat tokoh-tokoh muda Jogja di blog?

Tapi ide itu untuk beberapa lama kugantungkan begitu saja hingga akhirnya seorang kawan, Iwan Pribadi (@temukonco) mengajakku berpartisipasi membantu mensosialisasikan acara Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) ke-26 yang berlangsung Agustus-September silam. Kebetulan, sosok yang pernah juga kutulis di sini itu adalah penanggung jawab medianya.

Lalu semuanya lantas terjadi begitu saja.
Aku juga melibatkan beberapa narasumber yang kuajak untuk berdiskusi tentang kepantasan tokoh ini dibanding yang lainnya, tokoh itu dibanding yang ini dan lain sebagainya. Dan berikut ini adalah catatan ‘behind the scene’ perburuan para tokoh itu…

 

Ari Wulu (klik di sini menuju artikelnya)

blog_wulu
Ari adalah tokoh pertama yang kuwawancarai dan harus kujadikan sebagai pembuka karena memang tujuan pertama pemuatan serial ini adalah dalam rangka menyambut event FKY-26 dimana Ari adalah salah satu ketua panitianya. Bagiku, ia sangat konsisten dalam dunianya seni dan budaya. Anak sulung seniman gamelan kontemporer Jogja (alm) Sapto Rahardjo ini adalah wakil generasi transisional antara seni budaya Jogja era 80-90an dengan era kini. Ari akrab dengan gamelan tapi ia juga adalah seorang DJ yang bergelut dengan digital music dan belakangan berkiprah juga sebagai pemerhati pengembangan bidang seni dan budaya secara general terbukti ya lewat kepemimpinannya dalam event FKY itu.

Secara personal aku pernah sangat dekat dengannya dan jadi kawan sepermainan beberapa waktu lamanya karena dia adalah adik kelasku satu angkatan di SMA Kolese De Britto. Hal ini tentu bukan jadi penghitung utama kenapa aku meloloskannya sebagai tokoh muda Jogja. Tapi yang pasti, kedekatanku dengannya dulu justru membawa kesulitan tersendiri karena selama wawancara, kami jadi lebih banyak menggunakan bahasa Jawa karena kebiasaan meski akhirnya untuk menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia tanpa kehilangan banyak ‘greget’ adalah hal yang tidak mudah.

 

Vindra (klik di sini menuju artikelnya)

blog_vindrasu
Orang berpikir aku menaikkan Vindra dalam serial ini untuk lucu-lucuan belaka hanya karena ybs memang benar-benar lucu terutama dalam tweetsnya di linimasa.
Padahal sebenarnya, ada hal-hal menarik yang lainnya yang patut diungkap dari Vindra yang membuatku berpikir bahwa dia memang layak dimasukkan dalam tokoh muda kota Jogja. Ia pernah dikenal sebagai stage manager termahal di Jogja yang akhirnya bisa berlogika bahwa ia jadi yang termahal pasti karena ia adalah yang terbaik! Dan nyata-nyata ada banyak event besar yang dikerjakan olehnya.

Selain itu, dan kupikir yang paling penting, ia bersama Bayu Pamura dan Handoko Wiyanto (Endoch) adalah pendiri PamitYang2an, sebuah digital radio (orang menyebutnya sebagai QWERTY radio) yang menurutku tak hanya mengubah cara pandang orang terhadap radio dari sisi teknologi tapi juga dari konten dan cara pengoperasiannya.

Secara pribadi, aku tak terlalu kenal dengan Vindra. Ketika aku masih tinggal di Jogja (1993 – 2008), banyak kawanku yang berkawan dengannya tapi sekalipun demikian tak pernah ada persinggungan yang membuatku kenal dengannya. Kami justru bisa saling akrab di linimasa Twitter dan pernah suatu waktu aku berkunjung ke Indonesia, Jogja, aku menemuinya di warung angkringan yang dulu pernah dikelolanya dan itu adalah kali pertama kami ngobrol secara nyata.

 

Adjie Silarus (klik di sini menuju artikelnya)

blog_adjieSilarus
Ada orang yang frontal menanyakan kepadaku kenapa aku menaikkan sosok Adjie Silarus ke serial ini, apa andilnya untuk Jogja?

Adjie bagiku adalah wakil dari sosok muda lulusan Jogja yang berani tampil beda. Dari sisi akademik, Adjie adalah sosok cerdas karena lulus cum laude dari Psikologi UGM. Tapi itu bukan segalanya terkait dengan pertimbangan yang membuatku memilih memasukkannya ke dalam serial ini sebenarnya terkait pada dua hal.

Pertama adalah pilihannya untuk mendalami ‘hening’ secara profesional.
Ia menulis buku, mengelola tim management pelatihan hingga tim social media, lalu secara aktif melakukan pendekatan-pendekatan terhadap issue-issue yang berkembang melalui ilmu yang ia dalami yaitu tentang ‘hening’ ini. Kedua, ia berada pada momen yang tepat! Saat tulisan tentang Adjie diluncurkan adalah saat-saat dimana kasus Flo (Florence Sihombing) mengudara begitu tinggi di langit-langit lini masa sehingga pendapat Adjie tentang ‘hening’ dan pengelolaan kepribadian sebagai pembanding atas kasus Flo tiu tadi.

Tapi meski demikian, mewawancarainya ternyata bukan hal yang mudah. Bukan karena aku belum pernah ngobrol secara langsung, tapi lebih karena aku sempat merasa selalu gagal memerangkapnya untuk ‘tunduk’ pada bayangan jawaban atas pertanyaan yang kuajukan. Tapi sekali lagi, semesta seolah benar-benar mendukungku atas pilihanku pada Adjie. Ketika kasus Flo jadi bahan pembicaraan, aku seperti mendapatkan amunisi baru untuk mengirimkan pertanyaan-pertanyaan terkait kasus Flo dan jadilah tulisan itu!

Eh, jadi kawanku yang frontal tadi, kalau kamu tanya apa andil Adjie terhadap Jogja, jawabanku adalah melalui tulisan ini, Adjie jadi lebih punya andil mewarnai Jogja :)
Kalau kamu? Apa andilmu?

 

Pepeng (klik di sini menuju artikelnya)

blog_pepeng
Jogja, pada awal tahun 2000an silam pernah mengalami masa yang kusebut sebagai musim semi bagi pertumbuhan coffee shop. Masa dimana hampir di setiap jalan, tak harus protokol, dipenuhi dengan coffee shop-coffee shop baru. Menyenangkan? Iya! Tapi lama-lama kita jadi tak tahu mana warung yang benar-benar berniat jualan kopi, mana yang cuma berniat untuk menjadi warung tempat nongkrong yang penting ada WiFinya yang penting ada smoking areanya, yang penting ada live musicnya, yang penting ada acara-acara nobar setiap ada even sepakbola ataupun kampanye presiden dan yang paling penting ada kawan-kawan seusia berkelamin lawan jenis yang bisa dikecengin di sana.

Nah, Pepeng dengan Klinik Kopi-nya seolah menjadi jawaban bagi coffeeshop-coffeeshop yang terlalu hedon atau yang ‘melenceng’ seperti kulukis di atas. Aku sendiri belum pernah ke Klinik Kopi meski beberapa teman dekat menganjurkanku untuk mengunjunginya suatu saat nanti.

Pepeng, sang pemilik, juga hitungannya adalah kawan lamaku. Aku kenal dia waktu dia masih aktif sebagai blogger, pertengahan dekade silam. Tak sulit untuk mewawancarainya, ia sangat terbuka pada setiap pertanyaan-pertanyaanku dan dijawabnya dengan baik dan yang terutama jujur.

 

Rony ‘Lantip’ (klik di sini menuju artikelnya)

blog_ronilantip
Sebagai mantan makhluk IT Jogja, aku berkeras tak melewatkan satupun tokoh IT muda Jogja dalam deretan tulisan-tulisanku.
Pertanyaan terbesarnya, siapa yang paling pantas untuk dimasukkan ke sini?

Aku jatuh dalam banyak pilihan dan tiap-tiap tokoh yang masuk ke dalam listku, punya keunggulan yang patut dipertimbangkan. Tapi pilihan akhirnya jatuh ke Rony ‘Lantip’ karena ia menurutku adalah cerminan warga Jogja yang sangat nJogjani dan kebetulan berprofesi sebagai IT developer. Ia bukan seorang warga Jogja yang lantas berprofesi IT developer tapi karena ‘status’ yang high-tech lantas membuat ke-jogja-annya hilang. Ia bukan pula seorang IT developer yang kebetulan tinggal di Jogja :) Rony juga tipikal seorang developer yang tumbuh besar dalam komunitas yang ia hargai dan otomatis iapun diberi penghargaan yang tak main-main dalam komunitas itu sendiri.

Aku ‘mengamati’ Roni sejak lama meski sama halnya dengan Vindra, aku tidak kenal secara personal dengannya ketika aku masih tinggal di Jogja.

Mewawancarainya adalah hal yang tak sulit meski untuk menentukan waktu yang sama-sama enak bagi kami itu sangat sukar. Jam hidupnya berbeda dengan jam hidup orang Indonesia kebanyakan dan otomatis berbeda pula dengan jamku yang waktu itu selisih tiga jam di belakang waktu Sydney.

 

Dab Genthong (klik di sini menuju artikelnya)

blog_dabgenthong
Sama halnya dengan Adjie, ada keraguan dari seorang nara sumber yang kutanya pendapatnya tentang kepantasan pria bernama asli Triyanto Hapsoro ini untuk kuangkat sebagai tokoh muda Jogja di blog ini.

“Karya Genthong mana yang bagus?” begitu tukasnya.
Tapi aku punya pandangan lain tentang karya dan bagus tidaknya ia dianggap dan disimpulkan. Bagiku, kita selama ini terlalu terperangkap pada hitungan-hitungan ‘duniawi’ atas bagus-tidaknya sebuah karya seperti misalnya total audiense yang bisa didapat dari presentasi karyanya, berapa ongkos pembuatannya dan sedekat apa ia berjarak pada mainstream.

Bagiku sebuah karya itu sama halnya dengan masing-masing dari kita yang adalah manusia. Terlepas dari bagus atau tidaknya, kita adalah sebuah kreasi yang dihasilkan dari visi serta konsep penciptanya dan melalui proses yang menarik.
Nah, karya Genthong, terlepas bagus atau tidaknya menurut hitungan-hitungan yang memerangkap kita tadi, ia akan tampak menarik ketika kita tahu apa ide dan konsep yang melatarbelakangi proses penciptaannya.

Simak saja karyanya yang menurutku monumental, Sebelum Serangan Fadjar.
Mungkin karyanya tak akan didengar lantang di media-media ibukota atau kota-kota besar lainnya. Karyanya juga tak masuk dalam bioskop-bioskop megah berparfum ruangan nan mahal, tapi kenapa Genthong memutuskan untuk memproduksi film yang konon merupakan revisi dari dua film legendaris, Janur Kuning dan Serangan Fajar terkait peristiwa Serangan Oemoem Satoe Maret 1949 itu adalah kunci yang membuatku tertarik.

Aku belum pernah bertemu muka dengan Genthong tapi aku bisa mengira kakak kelasku di SMA Kolese De Britto ini adalah pribadi yang sangat terbuka. Terbukti dari wawancara yang kulakukan bersamanya, praktis yang kutayangkan hanyalah sekitar 35% dari keseluruhan materi wawancara. Lainnya, bukannya tak menarik, tapi justru terlalu menarik untuk diunggah dalam tulisan ini karena saking terbukanya. Takutku, akan ada begitu banyak orang yang tak suka lalu terluka kalau semua kuunggah dan itu hanya akan membuat konsep berbagiku dalam blog ini bisa tercederai begitu saja.

 

Bayu Pamura (klik di sini menuju artikelnya)

blog_pamura
Ketika aku bertanya pada narasumber-narasumberku tentang siapa yang layak kuinterview untuk mewakili tokoh muda Jogja yang bergerak dalam dunia wirausaha, ada begitu banyak nama bermunculan.
Ada yang menawarkan nama seorang designer yang sedang meroket di Jogja, nama seorang bos distro yang melegenda, beberapa nama pengusaha produk makanan baik itu tradisional maupun berkonsep modern tapi pilihanku lalu jatuh ke Bayu Pamura.

Alasan yang paling simple adalah aku ingin mengangkatnya karena memiliki hubungan dengan alur yang telah kubangun bersama Vindra, tentang PamitYang2an Qwerty Radio karena Bayu adalah salah satu pendirinya juga. Alasan yang lebih dalam dari itu, konsep bisnis dan keinginannya untuk terus berinovasi dalam bisnis yang ia jalani mmebuatku memilih Bayu.

Bayu adalah salah satu pendiri dan bos NOKN Bag; sebuah tas yang menurutku dikemas secara modern dan memiliki semangat modularity (bisa dilepas-pasangkan) yang tinggi. Eksposure-nya pada jalur web untuk memasarkan produknya juga tak main-main, selain webnya lumayan canggih, dinamika konten di sana-sini menunjukkan bahwa Bayu memang sedang tidak main-main.

Mewawancarai Bayu yang belum pernah kutemui sekalipun sebelumnya tidaklah susah meski sebenarnya agak njelimet juga karena jawabannya kadang terlalu lebar dan butuh penelaahan khusus dan penyisipan pertanyaan-pertanyaan imajiner di sela-selanya. Tapi aku toh tetap bersemangat untuk terus menanyainya dan akhirnya jadi tulisan meski ini tentu bukan didorong oleh rencananya memberikan tas gratis dengan custom design yang kumau saat kunjunganku berikutnya ke Jogja nanti hehehe…

 

Ria ‘Papermoon’ (klik di sini menuju artikelnya)

blog_ria
Ketika serial Tokoh Jogja telah berjalan beberapa lama, seseorang kawan bertanya kepadaku, “Kenapa cowok semua?”

Aku bukanlah seorang yang punya sentimen terhadap gender dan saat kawanku tadi bertanya aku memang sudah mengincar beberapa tokoh berkelamin wanita dari Jogja yang hendak kuwawancarai.
Tapi sungguhpun demikian, aku tak berani menjawab pertanyaan kawanku tadi dengan sesuatu yang sifatnya, “Ada kok nanti ya tunggu dulu!” karena kebetulan tokoh-tokoh yang kuincar konon kabarnya adalah tokoh-tokoh dengan tingkat kesibukan tinggi karena pekerjaannya. (Dan ini terbukti pada seorang tokoh lain yang tak bisa kusebutkan namanya yang akhirnya harus kutinggalkan karena aku tak kunjung mendapatkan waktu untuk mewawancarainya)

Begitu juga dengan Ria ‘Papermoon’ ini.
Ketika mendapatkan namanya, aku bertanya pada narasumberku, “Gimana menurutmu?” Dia yang kebetulan juga mengenal Ria pun menjawab, “Apik banget sih! Tapi Ria itu sedang sibuk banget, Bung… coba cari yang lain…”

Nasi sudah menjadi bubur dan niatku untuk mendapatkan Ria sudah kepalang tanggung di ubun-ubun. Aku segera mengirim email pada Ria.
Sekian waktu tak dijawab, aku mulai seide dengan nara sumberku tadi bahwa Ria memang mungkin terlalu sibuk jadi ia tak bisa menjawab emailku secara cepat. Tapi tak dinyana, beberapa waktu kemudian kuterima jawaban itu. Ia menyatakan persetujuannya untuk diinterview dan tak lupa ia pun membubuhkan beberapa link berisi hasil wawancara media-media (nasional dan asing) terkait diri dengan karyanya.

Baginya mungkin ini baik karena berarti pemberian referensi tentang dirinya yang siapa tahu bisa membuatku memiliki pertanyaan yang berbeda. Tapi bagiku, aku sempat menerjemahkannya sebagai beban karena dengan embel-embel ‘media asing’ dengan ketajaman pertanyaan yang tingkat dewa, aku bisa bikin yang lebih tajam lagi seperti apa?

Tapi akhirnya aku pasrah saja denga mencoba jujur pada diri sendiri dan Ria bahwa aku tidak ingin banyak bertanya tentang latar belakang karya demi karyanya, tapi aku simply hanya ingin ngobrol soal jogja dan kaitannya dengan caranya berkarya di kota yang sama-sama kami cintai itu.

Ternyata pertanyaan-pertanyaanku dijawab dengan baik dan gamblang oleh Ria. Dalam sebuah status di laman facebooknya, ia mengapresiasi pertanyaan-pertanyaanku sebagai sesuatu yang berbeda dari apa yang ia dapatkan selama ini dari wartawan-wartawan yang kerap menanyai karya-karyanya.

 

Anton Kurniawan (klik di sini dan di sini untuk menuju artikelnya)

blog_anton2
Anton Kurniawan, eks-manajer Sheila on 7 itu awalnya tak masuk dalam listku, bahkan terlintas dalam pikir pun tidak. Keputusan untuk pada akhirnya memasukkan namanya dalam serial ini bermula dari kejadian yang tak disengaja.

Beberapa saat setelah merilis tulisan tentang Pepeng, tiba-tiba Anton yang saling terkait dengan Pepeng di Twitter, mentweetkan tulisan itu dan tak lama kemudian ia pun mem-follow akunku, @dv77.

Pepeng lalu menyarankanku untuk mewawancarainya. Awalnya aku tetap tak tertarik. Bagiku, aku tak pernah terpikir untuk mau mendekati sesuatu yang sifatnya mainstream dan menurutku Sheila on 7, dengan segala kebesaran nama dan sejarahnya adalah bagian dari mainstream itu.

Tapi lantas aku berubah pikiran, apa jadinya kalau Anton mau menceritakan detail kenapa dulu ia keluar dari manajemen Sheila on 7, tentu akan jadi sesuatu yang menarik karena sejauh yang kutahu ia belum pernah menuliskannya untuk media lain manapun dan apapun itu.

Email pun kulayangkan dengan penuh rasa pesimisme, “Siapalah Donny Verdian ini?” pikirku. Tapi jawaban Anton kemudian adalah sesuatu yang tak kusangka-sangka, ia setuju untuk bercerita dan hal ini terus terang malah membuatku sempat berpikir, “Kenapa dia mau ya?

Aku sempat berpikir jangan-jangan ini jebakan batman? Tapi modalku hanya jujur dan lugas. Aku tak punya intensi lain selain menulis. Hal itu tampaknya melandasi proses interview yang mengalir lancar dan saking panjangnya lantas kupublikasikan hingga dua seri. Pada sesi pertama, Anton kubiarkan bercerita banyak tentang Sheila on 7 sementara itu pada tulisan kedua, Anton banyak bicara soal kota Jogja dan pandangannya terhadap perkembangan industri kreatif di Yogyakarta khususnya musik.

Tanggapan publik ternyata luar biasa!
Selain penggemar Sheila on 7 atau yang lebih dikenal dengan sebutan SheilaGank membanjiri halaman, para pengamat musik lokal Jogja yang beberapa kukenal pun ramai memperbincangkan tulisan itu.

 

Munir Kusranto (klik di sini menuju artikelnya)

blog_munir
Munir Kusranto adalah seorang tattoo artist, pemilik Toxic Tattoo Park.
Aku kenal Munir sejak lama dan boleh kubilang hubunganku dengannya secara personal adalah yang terdekat dibandingkan hubunganku dengan tokoh-tokoh muda lainnya. Ia adalah satu-satunya tattoo artist yang menggarap seluruh tattoo yang kumiliki, setidaknya hingga saat ini.

Namun keinginanku untuk mewawancarainya tentu bukan berdasar atas kedekatan itu saja tapi juga pada kenyataan bahwa ketika orang Jogja bicara soal tattoo, eksistensi dan gempuran karya-karya apiknya membuat Munir adalah tokoh yang layak diperhitungkan.

Aku berhasrat mewawancarainya sudah sejak lama. Saat aku menuliskan semua kisah dibalik pembuatan tattooku dulu (baca serial Hikayat Tattoo-ku di sini) aku telah merencanakan satu sesi wawancara tapi rupanya waktu memang belum mengijinkan.

Akhirnya kemarin, saat aku melepas tulisan tentang Anton, aku menghubungi Munir via WhatsApp dan mengajaknya wawancara. Ajakan bersambut meski mungkin karena saking akrabnya, kami sebenarnya tak pernah benar-benar bisa serius dalam berwawancara. Sedikit-sedikit yang dibicarakan malah lari ke urusan personal.

Akhirnya aku mengubah strategi.
Aku mengirimkan email kepadanya dan menghindari WhatsApp karena pikirku dengan email, hubungan yang lebih langsung itu bisa teredam karena ada jeda antara balas-membalasnya. Dan benar saja, meski agak lama menantikan jawaban karena kesibukannya mentattoo, aku akhirnya mendapatkan jawaban darinya tepat waktu.

 

Harry Van Jogja (klik di sini menuju artikelnya)

haribecak
Mas Harry Van Jogja adalah seorang yang akhirnya kuloloskan untuk masuk dalam serial Tokoh Muda Jogja meski usianya sudah melebihi dari kriteria yang kususun sendiri, 40 tahun.
Kakak kelas di SMA Kolese De Britto beda sembilan angkatan ini tak bisa tidak harus kuwawancarai karena menurutku dia adalah tukang becak fenomenal yang tak hanya terkenal karena sifat melek teknologi-nya, tapi lebih dari itu, pada masa kampanye Pilpres yang sangat riuh rendah itu, ia bersama Pak Abu seolah menjadi wakil dari suara akar rumput yang membela pasangan Jokowi-JK dengan gebrakannya mengayuh becak dari Jogja ke Jakarta.

Tantanganku untuk mewawancarainya terletak pada perkara waktu. Aku tahu betul ritme kerja tukang becak seperti dia di Jogja pasti sangat tinggi. Dalam artian, setiap ada peluang dari konsumen, hal itu akan diraihnya serta merta. Aku sempat mengajaknya bercakap-cakap via Facebook messenger tapi ternyata gagal karena terlampau sibuk.

Harapan terakhir adalah mengirimkan email berisi daftar enam pertanyaan. Dua hari kemudian, email pun dibalasnya tapi hanya tiga pertanyaan yang dijawab dan tiga lainnya digantung begitu saja. Waktu publikasi tulisan makin mepet dan tidak ada jalan lain, akupun menelponnya melalui jaringan telepon internasional! Hasilnya? Ya simak saja. Aku selalu berpikir, usaha yang maksimal akan berbuah manis. Bukan begitu?

 

Herry Zudianto (klik di sini menuju artikelnya)

blog_herry
Tentu aku tak memasukkan Pak Herry Zudianto dalam deretan tokoh muda Jogja karena secara usia, beliau sudah cukup senior meski aku tak suka mengistilahkannya sebagai tua.
Ia kujadikan penutup pada sesi pertama penayangan tulisan-tulisan ini karena kupikir ia pernah jadi seorang walikota yang keren yang menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tak hanya pro-rakyat tapi juga pro-lingkungan seperti perluasan taman kota dan kegiatan bersepeda tiap Jumat untuk ngantor dan sekolah atau yang biasa dikenal sebagai Sego Segawe.

Menghadirkan sosok Pak Herry seolah juga terbaca sebagai suatu perbandingan antara Jogja yang dipimpinnya dan Jogja dibawah naungan Haryadi Suyuti. Aku tak bisa menampik adanya fenomena itu meski aku mencoba jujur bahwa bukan itu tujuannya.

Menghubungi Pak Herry yang super sibuk itu ternyata tidak sesulit yang kubayangkan.
Aku mengirimkan email berisi pertanyaan, iapun menjawab dengan gamblang. Mengedit tulisan tentang Pak Herry adalah yang paling mudah karena hanya sedikit sekali jawaban-jawabannya yang kupangkas, sisanya kubiarkan mengembara dalam blog ini begitu saja.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.