Serah Terima Rumah dan Pemugaran ‘Rumah baru’ Mama

3 Jan 2022 | Cetusan

Salah satu hal yang paling melegakan yang kulakukan tahun lalu adalah memugar makam Mama.

Sesuai hitung-hitungan Jawa, Mama yang meninggal pada 7 Maret 2016 seharusnya sudah bisa dipugar makamnya pada peringatan 1000 hari wafatnya yang jatuh sekitar Januari 2019. Tapi waktu itu aku dan Chitra, adikku, sepakat untuk tidak membangun makamnya karena kami berencana untuk menyatukan Mama ke dalam makam Papa yang sudah lebih dulu berpulang pada 7 April 2011.

Sesuai nasihat juru kunci makam, penyatuan makam sebaiknya diadakan setelah lima tahun seseorang berpulang dengan pertimbangan supaya jasad sudah makin sempurna dalam wujud tulang-belulang saja.

Saat aku berlibur ke Indonesia pada September 2018 silam, kami berunding tentang kapan waktu yang tepat untuk menyatukan makam kedua orang tua kami. Aku dan Chitra sepakat memilih waktu akhir tahun 2021. Selain aku punya waktu untuk menabung (karena pulang ke Indonesia itu tidak murah!) akhir tahun 2021 bertepatan dengan peringatan 25 tahun kelulusanku dari SMA Kolese De Britto dan kawan-kawan seangkatan sudah berencana mengadakan acara reunian secara meriah.

Tapi apa mau dikata, Covid mengubah semuanya!

Dunia dilanda pandemik berkepanjangan sejak awal 2020 dan acara asik-asikan di akhir 2021 pun buyar berantakan. Acara reuni 25 tahun tidak jadi diadakan secara meriah dan acara penyatuan  makam mama dan papa pun kami tunda. Satu hal yang sempat terlupa: makam Mama belum dipugar padahal rencana sudah ditunda.

Adalah Fajar, anak sulung Mas Sardjoko, tetangga kami di Klaten dulu yang secara tidak langsung mengubah jalan cerita.

Pertengahan 2021 Mas Sardjoko berpulang karena Covid-19 dan ia dimakamkan di makam yang sama dengan Papa dan Mama di Klaten sana.

Usai memakamkan bapaknya, Fajar juga nyekar Mama. Di laman Facebooknya dia bilang, “Sekalian nyekar Bulik Tyas!” Tyas adalah nama Mamaku. Di foto itu akupun terkejut melihat betapa makam Mama penuh dengan ilalang dan papan namanya pun sudah memudar warna dan lapuk pula kayunya.

Diskusi kembali kuadakan dengan Chitra.

“Jadi gimana ini Chit? Kita bangun makam Mama atau kita undur acara penyatuan makam Mama dan Papa, Chit?”

Di akhir diskusi kamipun berkeputusan melakukan keduanya; menyatukan makam Mama dan Papa ketika pandemik mereda dan sambil menunggu itu kita pugar makam Mama.

Rencana membangun makam Mama sempat tertunda karena kesibukan kami masing-masing hingga di awal Desember kemarin aku bilang ke Chitra, “Setidaknya sebelum Natal, makam Mama harus sudah kita jadikan yuk!”

Lalu kenapa sebelum Natal? Apa karena Natal? Ada dorongan lain untuk itu.

Rumah baruku di Sydney sudah selesai dibangun dan waktu itu, awal Desember, pihak developer bahkan sudah memberikan tanggal untuk penyerahan kunci sebagai tanda bahwa pembangunan telah resmi selesai dan kami bisa menempati bangunan.

Ketika tanggal yang ditentukan mendekat, tiba-tiba aku terusik; rumahku sudah jadi dan siap ditempati tapi bagaimana dengan ‘rumah’ Mama? Apakah masih layak ditempati? Foto makam penuh ilalang yang dikirim Fajar mengemuka di benak. Batinku jadi tidak tenang.

Dari situlah kemudian rencana memugar makam Mama semakin kukedepankan dan tak lagi kutunda-tunda.

Tanggal 22 Desember 2021 yang lalu pemugaran makam mulai dikerjakan. Ayok, adik iparku, mengabarkan bahwa proses pemugaran butuh dua hari. Tanggal 24 Desember sore Ayok mengirimkan foto tentang perkembangan pemugaran dan tepat di Hari Natal, Ayok, Chitra dan keempat anaknya pergi ke makam untuk nyekar dan dari foto yang mereka kirimkan makam Mama sudah selesai dipugar.

Malam harinya, akupun berangkat ke rumah baru yang telah kuterima dari developer dan untuk melanjutkan tradisi orang Jawa dalam pindahan rumah, untuk pertama kalinya aku menginap seorang diri.

Aku lega.

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.