Ketika tulisan ini kuterbitkan, tepat empat hari sudah aku membuang sepatu kesayanganku. Puma, namanya, karena begitu pulalah merknya.
Pada senin pagi yang sepi awal pekan ini, sebuah truk sampah yang datang terjadwal seminggu sekali, dengan tangan besi otomatisnya mengangkat dan membuang semua isi bak sampah termasuk sepatu kesayanganku tadi ke dalam baknya lalu pergi begitu saja menyisakan senyap.
Sayang memang, ia ditakdirkan menjadi benda tak hidup; bukan benda mati karena kalau mati ia pernah hidup. Kalau mati setidaknya ia pernah punya jiwa dan roh.
Aku bisa membayangkan bagaimana nasib selanjutnya sepatu kesayanganku tadi.
Bersama jutaan kubik sampah ‘non-recycled’ lainnya di Kota Sydney, ia dimampatkan dengan pressing machine lalu ditanam, menjadi onggokan dalam keabadian; untuk tidak mengatakan bahwa ia akan terurai dalam waktu 400 tahun sesudah sekarang sesuai teori yang dipercaya manusia!
Sayang memang, ia ditakdirkan menjadi benda tak hidup; bukan benda mati karena kalau mati ia pernah hidup. Kalau mati setidaknya ia pernah punya jiwa dan roh. Kalau pernah hidup, tentu aku akan telah mengadakan upacara tiga hari dan mempersiapkan acara tujuh hari, empat puluh hari dan selanjutnya layaknya bagaimana kita memperingati mereka yang telah pergi mendahului kita.
Ia kubeli dari gerai Glue di Parramatta Westfield pada desember 2009 silam.
Adalah Joyce, istriku, yang awalnya tertarik dan menganjurkanku untuk membelinya karena waktu itu aku memang butuh membeli sepatu baru.
Bentuknya unik. Selain sol yang terbuat dari karet, permukaannya adalah kulit berwarna perak; tak memiliki hak yang tebal dan yang paling penting adalah sepatu itu tak memiliki jenis pengikat tali seperti sepatu lainnya.
Ia tak memiliki tali-temali. Untuk mengenakannya cukup masukkan kaki lalu kaitkan velcro, done! Jadi aku tak perlu jongkok atau mengangkat kaki lalu berkonsentrasi mengikat tali; sesuatu yang menurutku menuntut konsentrasi tinggi dan membosankan!
Sejak pertama kali kubeli hingga sebulan sebelum kubuang, hampir tiap hari Puma kukenakan. Bekerja, hangout di akhir pekan, bahkan berlibur, sepatu itu selalu tak ketinggalan jadi penghias sekaligus pelindung kakiku.
Pujian terhadap sepatuku (ah sebenarnya pujian itu tentu datang untukku karena aku yang mengenakan) adalah sesuatu yang jamak kutemui sepanjang waktu hidupnya.
Seorang pria, kawan kerja tak henti-hentinya bilang bahwa sepatuku keren sekali. “You looks like an artist, Man!” katanya. Dalam hati aku bergumam, Yes, I do! Lain waktu ia, masih orang yang sama, bilang, “So awesome!” dan masih banyak lagi.
Tak hanya itu, suatu waktu pernah aku jalan di mall sebelah kantor, tiba-tiba seorang pramuniaga menghampiriku dan berucap hal, “I like your shoes!” aku hanya mesam-mesem saja dibuatnya. Oh iya, si pramuniaga itu (sayangnya) lagi-lagi pria.
Tapi yang namanya apapun yang diperkenankan hidup di dunia ini pada hakikatnya memiliki tanggal eksprirasi; tanggal kadaluwarsa demikian jugalah dengan sepatuku tadi. Dua tahun setengah setelah kubeli dan setiap hari selalu setia menemaniku, tanda-tanda penuaan kutemui ada padanya.
Awal mei ketika iseng memeriksa sepatuku satu per satu, kudapati solnya telah semakin aus dan daya rekat velcro mengendur.
Sempat kubawa ia ke tukang sol sepatu yang ada di mall-mall, tapi mereka bilang bahwa lekuk solnya terlalu unik untuk digantikan sol-sol yang mereka miliki patternnya.
Istriku lantas menganjurkanku untuk dibawa ke Indonesia siapa tahu bisa ‘diakali’.
Maka kubawalah ia dalam liburan bulan Juli lalu.
Harapan terakhir ada pada tetangga rumahku di Klaten yang kukenal bekerja sebagai tukang sol puluhan tahun lamanya.
“Wah, angel iki, Don!” (Wah, susah ini, Don!) ujarnya sambil menimang dan mengamati sol Puma-ku.
“Ngga bisa diakali sama sekali?” dan ia hanya terdiam, mulutnya yang kian hitam karena rokok itu terkatup menyisakan gelengan kepala belaka.
Aku tercenung; tanda-tanda perpisahan telah semakin tampak nyata saat itu.
Kembali ke Jakarta dari Jogja pada akhir Juli sebelum kembali ke Sydney, aku lantas memutuskan untuk mencari pengganti Puma-ku.
Sebuah NIKE, berbahan dasar kulit dan berwarna kurang lebih sama dengannya kupinang ketika aku masih pula mengenakannya.
Masa-masa akhir liburan itu lantas kumaknai sebagai masa-masa terakhirku mengenakan Puma-ku.
Lalu, pagi, sesampainya aku di Sydney, ketika melepas Puma di rak di depan garasi, aku tenggelam dalam perasaan yang tak seharusnya kuberikan pada sebuah benda tak hidup yang bernama sepatu.
Saat itu kupercaya adalah saat terakhirku untuk mengenakannya. Seumur hidup dalam sisa umurku aku tak kan lagi memakainya karena sepatu itu saat itu sudah kurencanakan akan kubuang.
Perlahan ia kulepaskan, kuusap permukaannya, kuucapkan terimakasih yang begitu banyak kepadanya tanpa sekalipun aku tertarik untuk memeriksa keadaan solnya karena aku ingin mengenangnya sebagai sepatu Puma ku yang perkasa.
Lalu semuanya tinggal menetapkan hati kapan aku bisa tegar membuangnya.
Tuhan menentukan hari. Senin kemarin, empat hari yang lalu, semua terjadi begitu saja.
Di satu sisi aku begitu bersedih. Tapi di sisi lainnya aku lega.
Satu hal yang harus kulakukan dalam rangka melanjutkan hidup ke depan dengan membuang yang memang seharusnya kubuang ke belakang telah kulakukan dengan seksama dan aku begitu menghayati prosesnya.
“…hidup tanpa sensitivitas adalah seperti tidur tanpa bantal dan kasur”
Dan catatan ini adalah sebuah penghormatan yang lintas batas. Batas kebendaan termasuk sifat hidup-tak hidupnya. Sesuatu yang mahal yang kuyakin tak bisa didapati di setiap hati banyak orang.
Kalian boleh bilang aku sensitif, terlalu sensitif.
Tak mengapa! Meski bagi sebagian dari kalian, sensitivitas adalah penghalang, tapi bagiku ia justru adalah daya hidup.
Laksana kita yang setiap hari memerlukan tidur, hidup tanpa sensitivitas adalah seperti tidur tanpa bantal dan kasur; tetap bisa tidur tapi apa bisa nyenyak?
sepatu kesayangan yang membuat dirimu di kagumi para laki laki… :)
baru inget ya, kalau di aussie itu kemana mana pake sepatu ya..
kalau di sini aku tidak pake sepatu lagi hehehehe sandal japit lebih enak…
Bendera, Mas. Kalau di sini, mending pakai sandal. Sepatu paling dipakai buat disimpan di rumah. :) Kayak sepatu Roobek-ku :)))))
aku punya perasaan yang agak mirip dengan itu saat berhubungan dengan sepatu sandalku yang sering kupakai sekarang. belum pensiun sih, tapi suatu saat pasti pensiun.
ya, barangkali kalau sepatumu itu punya nyawa, mungkin kamu perlu beli kemenyan don buat dibakar selama minimal 3 hari. :D :D
begitulah dunia. ada yang datang, ada yang pergi.
otsukaresamadeshita!
Kamu orang Jepang Don! Hanya orang Jepang yang punya sensitivitas/ sense of belonging yang begitu tinggi terhadap manusia/barang ….benda hidup dan benda tak pernah hidup. “Otsukaresamadeshita” adalah ungkapan dalam bahasa Jepang yang menyatakan penghargaan atas usaha yang sudah dilakukan (You’ve done your best).
Manusia yang memiliki sensitivitas tinggi itulah yang disebut berbudaya tinggi :D Cerita ttg sensitivitas semacam itu bisa kamu baca di sini : http://imelda.coutrier.com/2010/03/31/pohon-keramat/
aku jadi ingat sepatu pumaku, dengan sol seperti tentakel gurita jaman aku SD :D
bentuknya emang unik banget ya mas dony.. tapi mana sepatu barunya kok gak difoto juga? ;)
btw.. aku tertarik dengan pengangkut sampah yg dtg seminggu sekali.. jadi selama seminggu sampah kita simpan sendiri gt dirumah?
wah kalo aku berpikirnya bahwa dirimu terjerat kemelekatan…dulu aku pernah posting yang mirip2 denganmu disini http://boyindra.com/2009/06/22/lepas-dari-kemelekatan/…sejak saat itu semua barang yang aku punya tidak pernah punya arti khusus….
dulu juga pernah ngerasaian hal sama mas..
Mungkin kurang lebih sama seperti perasaan saya ketika memutuskan menjual motor Honda Prima saya di tahun 2005 dan memutuskan mengganti dengan motor baru.
Puma-mu itu keren Don. Unik memang, panteslah banyak yang memuji. Tapi kalau yang memuji perempuan juga aneh, kan dia gak pakai sepatu laki2 jadi dia gak akan tertarik meski dia lihat bagus.
Aku sih jarang membuang sepatu, mungkin karena sering gonta ganti jadi ya sepatu yg sudah gak dipakai atau bosan aku simpan (karena belum rusak juga hueheue)….
emang keren sepatunya Don…
Salam,
maaf mas,sepatunya beli dimana?saya dulu juga punya,sekarang mau beli lagi..,tau gak tempat jualnya..
Bang saya mau tanya itu puma yang abang pake di gambar namanya puma apa, saya juga pernah pake waktu sma tapi gak inget namanya apa, niatnya pengen cari lagi.
Itu nama puma nya tipe apa ya, saya dulu pernah pake waktu SMA pingin cari lagi tapi lupa nama jenis puma nya apa.