Sengsu*

25 Jun 2015 | Cetusan

blog_sengsu

Linimasa facebook akhir-akhir ini tak menarik untuk kuikuti karena orang ramai bicara dan menyebarkan foto-foto terkait soal Yulin Dog Meat Festival, festival makan daging anjing di Yulin, China dalam rangka menyambut summer soltice, dimana orbit matahari mencapai titik terjauh dari garis khatulistiwa.

Konon kabarnya lebih dari 15 ribu anjing dibunuh dengan cara yang mengenaskan, dikuliti hidup-hidup, dibakar bahkan ditusuk lehernya lalu dipertontonkan sebelum akhirnya dibunuh, dimasak dan dagingnya dimakan.

Yang menarik dari fenomena ini, dari kalangan dekatku, kecaman terhadap festival ini terbelah dua. Pertama adalah mereka yang mengecam daging anjing dikonsumsi karena menurut mereka anjing adalah binatang yang loveable. Kedua, mereka yang tak mempermasalahkan dagingnya tapi meradang karena penyiksaan yang diterimakan pada binatang ?rumahan? ini.

Pada golongan pertama, protes berdatangan dari pecinta binatang jenis lainnya. ?Bagaimana dengan babi? Kelinci? Kucing? Sapi? Kambing? Ayam? Itik? Mereka loveable juga!?

Sedangkan pada golongan kedua, pertanyaan datang begini, ?Memangnya kamu tahu model pembunuhan terhadap binatang yang seperti yang yang tidak dianggap menyiksa? Memangnya kamu pernah jadi binatang jadi tahu mana yang menyiksa dan mana yang tidak? Bagaimana penyembelihan sapi di tempat jagal di Indonesia yang konon menyeramkan itu??

Tapi terlepas dari semua protes dan kutukan yang mengepung, Festival Yulin tetap berlangsung minggu lalu dan gelombang protes kuperkirakan akan menurun hingga festival Yulin berikutnya datang, tahun depan.

Aku sendiri lebih tertarik membawa persoalan ini untuk menjadi bahan introspeksi bahwa sejatinya untuk sekadar memuaskan nafsu, kita ternyata begitu banyak mengorbankan kehidupan lain.

Dalam kasus Yulin Festival, untuk membuat puas dalam pemenuhan nafsu untuk melaksanakan tradisi dan nafsu makan, ada sebegitu banyak anjing yang dikorbankan. Tak hanya itu, kita tak bisa menghitung ada berapa banyak perasaan manusia yang dikorbankan karena rasa iba melihat anjing yang diperlakukan seperti itu?

Dulunya, akupun penikmat daging anjing yang dilihat dari frekuensi menyantap mungkin tergolong tinggi. Setidaknya seminggu sekali, aku selalu makan dagingnya.

Buat yang belum pernah menyantap, daging anjing itu harus diakui memang sangat nikmat. Dibandingkan dengan daging babi memang masih kalah kelas, tapi ia berada di level sejajar dengan daging sapi, kambing maupun ayam.

Aku mulai mengidolakan kenikmatannya sejak duduk di bangku kelas 1 SMA Kolese De Britto. Dulu hampir tiap malam minggu, kawan-kawan di asrama pergi ke warung makan ?Bang Ucok? di Condongcatur untuk membeli ?saksang B1?. B1, dalam istilah ?kalangan sendiri? adalah daging anjing sedangkan B2 adalah daging babi.

Selepas dari asrama, aku semakin melanglang buana untuk mencari kenikmatan daging anjing dengan aneka rupa jenis cara mengolah. Karena Jogja adalah Indonesia mini, mencari jenis masakan daging anjing berdasarkan dearah di Indonesia itu tak susah! Seperti kusebut di atas, saksang B1 adalah model olahan Batak, Rica-rica B1 adalah jenis olahan Manado, sedangkan dari daerah Jawa, yang menjadi jawara adalah sengsu alias tongseng asu. Rasa manis dari kuah yang sangat pekat dipadukan dengan daging yang dibubuhi merica nan pedas disantap dengan nasi panas dan cocolan sambel serta ditemani teh hangat manis adalah surga terdekat yang bisa kita akses dengan cepat!

Selain yang sifatnya kedaerahan, masakan daging anjing yang dulu sering kusantap adalah jenis goreng tepung mirip model ?fried chicken? tapi karena bahan bakunya anjing, maka kami menyebutnya sebagai ?snoopy goreng tepung? atau SGT.

Saking hobinya, dulu aku sampai punya lingkaran pertemanan yang sering berkumpul karena dipersatukan hobi yang sama yaitu ?hunting? warung penjaja daging anjing olahan. Jarak bagi kami tak masalah, asal ada warung daging anjing baru, kami berbondong-bondong ke sana.

Ketika sedang tak ada warung baru untuk didatangi, kami sering mengumpulkan uang untuk membeli anjing hidup-hidup lalu disembelih dagingnya kami makan beramai-ramai?

Nah, perkara bagaimana menyembelih anjing ini pun ternyata ada ?seni? nya?

Seperti sudah menjadi hukum tak tertulis, cara menyembelih anjing terbaik adalah dengan tidak membuatnya berdarah, karena kalau sampai demikian, bau dagingnya konon akan menjadi amis.

Nah, metode yang paling umum untuk itu adalah dengan memukul batok kepalanya dengan palu. ?Sekali pukul langsung KO? paling cuma ?kaing? sekali!? ujar kawanku.

Tapi konon memukul batok kepala dengan palu itu tetap beresiko mengeluarkan darah, jadi ada metode lain yang diutarakan kawanku yang lainnya. ?Dicekik lehernya pakai kabel! Sekali tarik? sreeetttttt, asalkan kuat, paling cuma bunyi ?Ngik? ngik? lalu sudah??

?Atau disetrum!? sergah kawanku yang lainnya lagi. Tapi metode-metode itu tak ?seberapa? dibanding dua metode lainnya yang kudapat dari kawanku yang lainnya lagi, ?Dibenamkan hidup-hidup di air? atau dikubur hidup-hidup sepuluh menit lamanya!?

Bersyukur dalam karirku sebagai pecinta daging anjing dulu, tak sekalipun aku mau diajak untuk menyembelih atau bahkan menyaksikan bagaimana anjing dibunuh barang sekali saja. Aku lebih suka yang ?tahu jadi? dan siap santap!

Mungkin kalian bertanya, bagaimana mungkin aku bisa makan daging anjing kalau aku tahu cara membunuhnya yang ?biadab? seperti itu? Jawabku waktu itu sederhana, ?Kenikmatan dagingnya membuatku lupa!?

Tapi ada satu kejadian dimana aku sempat berpikir untuk berhenti makan daging anjing. Waktu itu sekitar akhir 90an, di sebuah warung ?sengsu? langgananku di Klaten, ketika aku sedang makan, tiba-tiba seorang pemuda datang membawa seekor anjing hidup berbulu lebat.

Anjing itu berjalan pelan-pelan dan rileks membuatku berpikir tentu ini bukan anjing hasil curian karena kalau hasil curian tentu ia akan berontak. (Beberapa kali melihat orang menjual anjing hasil curian, mereka selalu memasukkan anjing ke dalam karung beras/goni).

Kepada penjual sengsu, si pemuda tadi bilang, ?Rong puluh ewu! Lemu iki! (Dua puluh ribu, anjing ini gemuk lho! – jw)?

Tak lama kemudian transaksi terjadi, si pemuda menerima selembar duapuluh ribu rupiah lalu pergi sementara anjing diikat ke salah satu cagak warung.

Aku semula tak bergeming tapi lantas tertarik untuk bertanya, ?Dinggo sesuk? (dagingnya anjing ini untuk bahan baku masakan besok? – jw)?

Si penjual yang sudah kukenal menjawab ?Mungkin minggu depan. Yang buat besok udah kubunuh tadi sore dan udah siap. Yang ini biar diajak main-main dulu sama anakku di rumah..? Ia mengelus-elus anjing itu.

Aku mengangguk.
Sesaat ketika aku hendak memasukkan santapan yang ke sekian ke mulut, tiba-tiba anjing itu menyandarkan kepalanya ke kakiku dan merintih serta mendenguskan nafas panjang seolah tahu akhir hidupnya akan segera tiba, dibunuh dengan cara yang entah bagaimana, lalu dimasak dan disantap oleh orang-orang sepertiku.

Saat itu juga aku berhenti makan, membayar lalu pulang. Sebulan lebih aku memutuskan tak makan daging anjing karena aku tak bisa tidak membayangkan dengusan dan rintihan anjing tadi? Setelah lepas sebulan, aku sudah lupa kejadian itu dan aku kembali menyantap daging anjing lagi.

Tahun 2002 adalah tahun yang akhirnya begitu berharga karena aku memutuskan untuk berhenti makan daging anjing dan semoga untuk selamanya.

Adalah Pluto, anjing pertamaku yang mengubah pandanganku terhadap makan daging anjing.

Kami memelihara Pluto sejak ia berumur seminggu. Sebagai anjing teckel yang memiliki ras campuran dengan beberapa yang lain, Pluto begitu lucu. Perhatianku dan keluarga beralih padanya. Aku jatuh cinta pada Pluto dan hal ini cukup membuatku yang semula paling malas untuk mudik ketika akhir pekan tiba, hampir tiap hari selalu ingin pulang ke Klaten karena ingin meluangkan waktu bermain-main dengannya.

Lalu semuanya berjalan seperti yang kalian kira. Sejak pertama kali mengenal Pluto aku lantas memutuskan untuk tidak makan daging anjing lagi. Beberapa tawaran kawan untuk hunting masakan daging anjing kutolak dan semua berjalan begitu mudah hingga sekarang aku tak makan daging anjing lagi. Tak pernah lagi.

Setelah Pluto aku mengenal Prita, anjing perempuan yang kuberikan untuk menjadi teman Pluto. Prita tak berumur panjang karena sakit lalu meninggal. Sebagai gantinya, aku membeli Ellen, teckel coklat berbulu lebat dan bermata biru yang cantik yang juga sudah meninggal beberapa tahun karena kanker payudara yang dideritanya. (Simak tulisanku tentang Ellen)

Ketika pindah ke Australia, 2008, aku mengenal Simba, anjing peliharaan istriku sejak 2002, tahun yang sama dengan ketika aku mengenal Pluto dan memutuskan berhenti untuk makan daging anjing.

Simba menjadi sahabat bagiku bahkan ia sering kuajak tidur di ranjang sebelah-menyebelah dengan istriku hingga anak pertamaku, Odilia, lahir 2010 silam.

Simba dan Pluto akhirnya pergi juga termakan usia.?Ia?kami ‘tidurkan’ pada Oktober 2013 karena sakit ginjal sedangkan kisah Pluto berakhir tahun 2014 lalu karena sakit perut, muntah-muntah lalu meninggal.

(Simak tulisanku tentang Pluto yang kubuat sesaat setelah ia meninggal. Simak juga tulisan yang kupersembahkan untuk Simba saat ia ditidurkan – oh ya, siapkan tissue untuk mengelap air matamu ya…)

Meski saat ini aku tak memelihara anjing lagi tapi itu bukan alasanku untuk kembali menyantap daging anjing. Karena meski dagingnya begitu lezat nan nikmat, tapi kenikmatan cinta yang kudapat ketika bersama Pluto, Prita, Ellen dan Simba adalah sesuatu yang nikmatnya jauh melebihi olahan daging anjing terbaik sekalipun!

Hingga saat tulisan ini kurawi dan terbitkan, aku masih menyantap daging binatang yang lainnya. Aku masih sangat doyan makan steak sapi, ikan asap apalagi babi!

Aku belum berpikir untuk menjadi seorang vegetarian tapi setidaknya apa yang kuputuskan pada 2002 silam untuk berhenti menyantap daging anjing dan kupertahankan hingga kini adalah salah satu usahaku untuk mengurangi pengorbanan yang harus diadakan demi memuaskan nafsuku?

Untuk Pluto, Prita, Ellen dan Simba,
Untuk semua anjing yang pada festival Yulin kemarin dikorbankan,
Untuk semua anjing yang saat ini sedang tepekur dan merintih di kandang-kandang sempit dan karung goni yang apek nan pengap menunggu saat dibunuh dengan cara sekeji maupun sehalus apapun karena mulut-mulut manusia yang sudah kerepotan menahan air liur untuk menyantap dagingnya telah mengantri di muka warung dengan tak sabar?

*sengsu: tongseng asu

Sebarluaskan!

5 Komentar

  1. Ada yang bilang gini “diperlukan sebuah kematian demi kehidupan lain”. Tak cuma hewan tapi tumbuhanpun sesungguhnya bernyawa, jadi kalaupun menjadi vegetarian bukan artinya tidak membunuh kehidupan lain.
    Memilih untuk tidak membunuh suatu jenis mahluk hidup lainnya adalah sebuah pilihan pribadi.

    Aku menyesal pernah hidup biadab dengan memakan anjing yg notabene adalah penghuni rumahku. Teringat bertahun lalu saat sedang chating dengan Donny, tiba-tiba dikabari anjing kesayanganku hilang. Anjing yg setia menungguku pulang meski sudah larut malam, kawan sepermainan dipagi hari sebelum memulai aktivitas. Entah kebetulan atau tidak, anjing itu hilang 3 hari setelah aku makan sengsu -yang tidak pernah aku lakukan sejak belasan tahun sebelumnya-. Serasa patah hati.

    RIP Bonbon, Ariel dan Zozo

    Balas
  2. Pernah makan sekali karena diapusi. Emang enak rasane, tapi begitu tahu ga lagi lagi

    Balas
  3. Temanku pernah membunuh anjing untuk dimakannya dengan cara ditusuk lehernya sampai kehabisan darah dan mati. Darahnya dicampur garam didiamkan sampai mengental lalu dia makan. Hal itu membuat saya kehilangan selera makan selama seminggu.

    Balas
  4. dulu aku pernah makan sengsu. nggak sering. hanya nebeng makan kalau kakakku beli. tapi aku nggak pernah niat beli sendiri.

    don, tapi benar katamu: untuk sekadar memuaskan nafsu, kita ternyata begitu banyak mengorbankan kehidupan lain. ini jadi bahan introspeksiku juga.

    Balas
  5. perkenalkan mas donny
    nama saya teguh teja

    luar biasa untuk pengalamannya
    mas donny tentang daging B1

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.