Semakin berani semakin diberi

31 Jan 2019 | Cetusan

Jika kita membaca Kabar Baik yang ditulis Markus hari ini, ada penggalan ayat yang amat membingungkan untuk kupahami.

Ayat itu adalah,
Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil dari padanya.” (Markus 4:25)

Apa yang dipunyai? Apa pula yang diberi? Kenapa yang dipunyai justru diberi dan yang tak dipunyai justru akan diambil?

Kepunyaan

Yang jelas kepunyaan itu bukan harta karena kalau demikian adanya, dunia ini akan jadi semakin tidak adil. Yang miskin tambah miskin, yang kaya tambah kaya.

Yang lebih tepat menurutku adalah keberanian untuk mewartakan iman. Hal ini sesuai dengan konteks pembicaraan Yesus sebelumnya mengenai pelita. (lih. Markus 4:21-25)

Iman diumpamakan sebagai pelita. Iman yang tidak berani diwartakan oleh pemiliknya  adalah seperti pelita yang ditutup gantang lalu disembunyikan di bawah tempat tidur, ia tak berguna sama sekali. Sedangkan Iman yang berani diwartakan adalah layaknya pelita yang digantung di kaki dian sehingga sinarnya mampu menerangi seisi ruangan.

Semakin berani

Keberanian mewartakan iman muncul dalam hidup sehari-hari. 

Misalnya kamu menemukan sebuah praktek pidana korupsi dalam sebuah instansi. Seorang yang beriman tapi tak berani mewartakan akan memilih diam atau malah memanfaatkan celah itu untuk nyogok supaya urusan perijinan bisnisnya cepat selesai.

Sebaliknya, orang yang berani mewartakan iman, ia akan berusaha menghentikan praktek korupsi mulai dari dirinya sendiri. Memilih jalan formal pengurusan meski harus mengantri lama dan berbelit-belit ketimbang nyogok tapi menyalahi imannya.

Lalu kalau demikian apa yang ditambahkan dan diberikan oleh Tuhan ketika kita telah berani mewartakan iman? Menurutku ya iman itu sendiri.

Orang yang berani mewartakan iman dan mampu bertahan dalam keberaniannya akan semakin ditambahkan imannya. Yang tidak berani ya makin kecil imannya.

Orang yang terbiasa menyuap, kian lama akan kian sulit untuk mengakui bahwa menyuap itu adalah kebiasaan buruk. Kenapa? Takut kalau nggak nyogok maka ngurus ijinnya akan panjang dan berbelit! Takut kalau nggak nyogok nanti bisnisnya kacau dan ia jatuh miskin. Mereka takut kehilangan rasa nyaman yang sejatinya tak pernah dimilikinya.

Sebaliknya, mereka yang konsisten untuk berani melawan kenyamanan demi pewartaan iman misalnya dengan tidak menyuap, adalah mereka yang kian hari kian menemukan makna bahwa tidak ada yang lebih berarti ketimbang Tuhan saja! Semakin ia berani menyandarkan diri pada Tuhan semakin ia tak takut kehilangan rasa nyaman semu yang ditawarkan dunia karena Ia memiliki dan dimiliki Tuhan!

Sydney, 31 Januari 2019

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.