Lebaran kali ini aku belajar memaafkan…
Sebut saja Mawar. Meski laki tapi baiklah kunamakan demikian karena tak ada pembuka yang lebih menarik untuk bercerita tentang sebuah anonimitas selain dengan ?Sebut saja Mawar…?.
Ia sepupuku, lima tahun lebih tua oleh karenanya kupanggil ia mas? Mas Mawar.
Mas Mawar pernah tinggal bersamaku selama dua tahun, diasuh Papa dan Mama setelah Eyang menitipkan, ?Aku titip putuku!?
Mas Mawar adalah saudara dan sahabat yang menyenangkan.?Aku tak perlu keluar rumah untuk mencari kawan dan daripadanya aku belajar banyak hal. Ia adalah penjawab yang baik untuk pertanyaan-pertanyaan ?dunia dewasa? yang untuk usiaku dulu, bocah kelas 5 SD, masih misterius.
Ia pandai melucu, otaknya encer dan suaranya saat bernyanyi bisa dibilang lumayan. Aku yang baru bisa main gitar saat itu, sering memintanya menyanyi supaya aku bisa mengiringi.
Hingga suatu saat, karena satu kesalahan ia diringkus petugas.?Aku tak bisa menceritakannya di sini tapi yang kuingat waktu itu, siang hari sepulang sekolah, pintu rumah diketok keras oleh seorang kawan Mas Mawar.
?Ibu ada, Don?? wajahnya tak seperti biasanya. Kaku, pucat, nafasnya tersengal satu-dua.
Aku memanggil Mama, tak lama kemudian Mama setengah berteriak mengagetkan. Segera ia menelpon Papa dengan suara tergetar setengah menangis.
?Kamu tunggu di rumah, jagain Chitra. Mama mau ngurus Mawar mungkin sampai malam!?
Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian tapi setelah itu aku hanya punya waktu tak sampai lima menit untuk berjumpa dengan Mas Mawar, tidak di rumah melainkan di kantor polisi, wajahnya lebam-lebam.
?Aku pamit, Dik Donny..? ujarnya.?Aku hanya mengangguk, tak tahu harus ngapain lagi selain mengangguk.
Sejak saat itu, hingga kini, aku tak pernah bertemu lagi dengan Mas Mawar.
Dalam tiap percakapan di rumah, Mas Mawar adalah nama yang dihindari. Kalaupun harus keluar, ia dijadikan umpatan, atau tujuan hal-hal buruk,
?Jangan seperti Mawar!?
?Emangnya kamu Mawar??
?Mau jadi apa kamu? Mawar?? dan sebangsanya?
Setiap kami mudik Lebaran ke Blitar, Mawar adalah nama yang juga dihindari dari percakapan untuk menjaga tone pembicaraan agar tetap penuh bunga, semerbak.?Pernah sekali waktu aku bertanya pada adiknya, ya sepupuku, tentang keberadaan dan kabar Mas Mawar tapi mereka angkat bahu dan menyisakan bisik, ?Hilang! Sssttt jangan bilang-bilang? lalu senyap?
Hingga akhirnya beberapa waktu lalu, ada yang memintaku untuk menambahkan namanya dalam lingkar pertemanan di Facebook. Aku tak tahu siapa, tapi ketika kulongok foto profilnya? MAWAR!
Rautnya menua tapi gambarannya masih sama, MAWAR!
?Dik Donny, ini aku, Mawar! Aku tolong di-add ya. Pengen ngumpulin keluarga besar nih..?
Mendadak aku jatuh iba. Niatnya baik ingin mengumpulkan keluarga besar tapi aku tak tahu apakah keluarga besarnya ingin memungutnya kembali ke dalam lingkaran.
Tapi aku tak menanggapi.
Aku belum bisa memaafkan apa yang pernah ia perbuat dulu. Lagipula apa gunanya memaafkan? Aktualkah? Tidak! Biarlah terpendam di belakang tanpa pemaafan.
Tapi hatiku larut hari ke hari sesudahnya.?Sesekali pikiran tentang Mas Mawar berkumandang, menggeliat, tak jenak.
Membayangkan menjadi dirinya, anak-anaknya, yang terbuang, yang tersingkirkan nan terkucil terlepas dari sebesar salah apapun yang pernah ia lakukan tentu sama sekali tak menyenangkan.
Ia punya hidup baru, hidup dalam keterasingan, tapi sepandai-pandainya orang menekan tombol reset dalam hidup, sejatinya itu hanya ilusi karena tidak ada yang bisa terhapus meski ingatan kita tak panjang.
Aku lantas berpikir untuk menghubunginya. Tapi sebelumnya kutanya dulu kepada adiknya tentang pendapat ini.
?Jadi gimana, Mas? Apa perlu ku-add? Bahaya nggak??
?Kok??
?Ya aku takut nanti dia ngaco lingkar pertemanan dan keluarga kita??
?Hmmm??
?Kamu juga belum nge-add dia kan? Aku nggak liat nama kamu ada di sana soalnya.?
?Iya? Ya udah, kalau niatnya cuma buat silaturahim gak papa tapi kalau dia ngaco ya tinggal di block!? tutupnya.
Aku berpikir keras.
Resiko tetap ada jika aku memaksa untuk memasukkan ke dalam lingkar pertemanan, siapa yang tahu tabiatnya. Tapi memaafkan, apa resikonya?
Aku memutuskan untuk menghubunginya. Setelah sekian lama pesannya tak berbalas, semalam kutulis, ?Hi, Mas Mawar! Apakabar? Iya, aku Donny Verdian!?
Keadaan menjadi cair. Kami banyak bicara tentang masa silam yang menyenangkan. Ia juga menceritakan keadaannya saat ini. Dikaruniai tujuh anak, terkucil di area terpencil dan tak satupun sanak saudara menghubunginya, hidup tentu tetap menyenangkan.
?Tante apakabar Dik? Aku dengar Om sudah meninggal ya 2011 silam??
?Mama meninggal juga, Mas. Maret kemarin? Aku dan Chitra yatim piatu sekarang??
?Oh??
Pembicaraan terhenti saat aku belum sampai di inti persoalan tentang memaafkan.
Sebelum tidur aku berdoa untuknya, untuk Mas Mawar. Seperti biasa, doa intensi kututup Bapa Kami. Tapi kali itu aku tak kuasa melanjutkan setelah menginjak penggalan ini:
?…and forgive us our trespasses as we forgive those who trespass against us (ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami)?
Sudahkah aku memaafkan Mas Mawar?
Bukan urusanmu, Donny! Itu urusan Papa Mamamu, mereka yang seharusnya memaafkan, bukan kamu!
Betul, bukan aku. Tapi aku anak sulung orangtuaku. Jiwaku tertali dengan jiwa mereka hingga kapanpun maka sudah selayaknya ketika aku bersikap, hal itu mewakili sikap mereka pula.
…dan aku belum bisa memaafkan Mas Mawar jadi kusudahi saja doa Bapa Kami dalam keadaan terpenggal nan tak terselesaikan.
Pagi tadi, pagi Idul Fitri.
Di dalam perjalanan menuju kantor, aku membaca ulang tulisan yang kutulis lima tahun lalu. Aku ingin merasakan nuansa Idul Fitri waktu Mama dan Papa masih ada, waktu kami setiap tahun selalu mudik ke Blitar untuk sungkem ke Eyang dan para Budhe serta para Pakdhe. Sosok Mas Mawar ada dalam cerita itu meski tak ternamai. Ia lebur dalam heningku memaknai Idul Fitri tadi pagi.
Akhirnya aku berkeputusan. Selepas turun di Wynyard, aku menepi sebentar. Mengeluarkan mobile phone, membuka jendela pesan yang semalam terputus dengan Mas Mawar.
?Selamat Hari Raya, Mas! Salam dan doaku untuk keluargamu!??Aku berjalan. Tak seberapa lama, kantongku bergetar, sebuah pesan masuk darinya.
?Maaf Dik, semalam pulsaku sibah (habis) nggak bisa jawab! Aku lalu ikut bantu-bantu di mesjid sebelah untuk persiapan Sholat Ied pagi ini.?Makasih ucapannya, Dik! Aku yang banyak salah. Banyak banget ke kamu, om, tante dan Dik Chitra. Kamu mau memaafkan??
?Tak ada yang tak bisa dimaafkan. Semua baik, Mas Mawar?? aku memasukkan mobile ke saku lagi.
Cuaca dingin kota Sydney yang beku pagi tadi sontak kurasa menghangat, amat hangat.
Selamat Lebaran! Selebar apa maafmu?
Untuk RY di pelosok utara Kalimantan. Tuhan sertamu!
*jempol*.
Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”
all the best.