Ma, di hari ulang tahunmu ini seharusnya aku berada di situ.
Di samping tempat tidurmu, mengelus punggung tanganmu dan mengecupnya seraya berucap, “Selamat ulang tahun, Ma!”
Mungkin juga aku membawa senampan cake beserta lilin yang menyala meski aku tak tahu apakah engkau masih sanggup untuk mencicipnya, men-dhulit-nya atau sekadar meniup lilinnya. Dan ini barangkali jadi yang terberat… menyanyikan lagu Panjang Umur di tengah kondisi kesehatan dan sakit yang kau derita saat ini. Mungkin aku tak akan sampai hati menuntaskan hingga kesudahan lagu itu?
Tapi sayangnya aku tak jadi? atau semoga lebih tepatnya belum jadi datang, Ma.
Aku mencoba untuk tak egois. Inginku tentu datang. Inginku tentu berada di sampingmu dan seperti yang kutulis di atas, mengelus punggung tanganmu dan mengecupnya seraya berucap “Selamat ulang tahun, Ma!”
Tapi kenyataan bahwa biaya pengobatan dan perawatanmu yang tidak sedikit adalah hal yang lantas membuatku berpikir dan memutuskan untuk tidak pulang.?Adalah tidak bijak kalau aku pulang demi meluapkan egoku untuk bertemu denganmu sementara aku tahu adikku, Chitra, berjuang keras untuk mengongkosi biaya perawatan dan pengobatanmu. Tidakkah akan jadi lebih baik jika aku mengirimkan saja uang yang seharusnya kupakai untuk mengongkosi kepulanganku itu kepadanya untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin?
Banyak pihak berujar, “Kenapa tak memaksakan pulang saja? Mamamu pasti akan senang!” Pendapat mereka tak bisa dibantah lagi kebenarannya tapi untuk saat-saat genting seperti ini, sesuatu yang benar bisa jadi bukan melulu yang terbaik, kan?
Walaupun untuk membatalkan rencana kepulanganku itu aku harus menanggung rindu dan risau. Aku merindumu sekaligus aku risau jangan-jangan tak akan pernah ada lagi hari untukku bertemu denganmu lagi terkait sakit dan keadaanmu akhir-akhir ini.
Tapi sejatinya aku tahu, Ma, kamu pasti bangga dengan keputusanku ini!?Bukan saja tentang apa yang kuputuskan, tapi juga karena aku tahu kamu pasti bangga karena anakmu berani mengambil sebuah keputusan yang tak ringan!
Ma, hari ini aku teringat pada Kamis sore hari, 15 Juli 1993.
Waktu itu sekitar pukul 5:30, di depan kantor travel Jogja – Kebumen, Bumen Jaya di Jalan Mataram Jogja. Engkau akan kembali pulang ke Kebumen setelah mengantarku ke Jogja.
Untuk pertama kalinya engkau melepasku dan merelakan kepergianku untuk merantau menuntut ilmu di sekolah yang kuimpi-impikan sejak lulus SD, SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
Aku masih ingat betul waktu itu aku hendak naik Bus Kota Jalur 7 untuk kembali ke asrama. Di depan pintu bus, engkau memegang pundakku, mengelus-elusnya dan berujar lembut, “Sing ngati-ati, Le (Berhati-hatilah, Nak -jw)!” Sesaat kemudian tangan kasar kernet bus menyorong punggungku untuk lekas-lekas masuk karena bus harus segera kembali dijalankan.
Kutatap wajahmu dalam-dalam saat itu dari balik kaca bus.?Tak ada air mata, meski wajah teduhmu mengisyaratkan pengorbanan dan kerelaan yang luar biasa!
Ucapan yang sama itu, “Sing ngati-ati, Le!” kau ucapkan lagi lima belas tahun kemudian, 31 Oktober 2008, ketika aku berpamitan hendak pindah ke Australia.
Di pelataran Cengkareng, ditemani oleh almarhumah adik kesayanganmu yang sekaligus orang yang begitu kuhormati, engkau melepasku. Setelah kucium punggung tangan dan kupeluk tubuhmu erat, engkau kembali berucap, ?Sing ngati-ati, Le!?
Perpisahan dan jarak tampaknya memang begitu akrab dalam hubunganku denganmu, Ma. Bisa dibilang, kita hanya diperkenankan dekat secara fisik sejak aku lahir hingga lulus SMP saja. Sesudahnya, aku hidup di luar rumah, menimba ilmu hidup dari kawan serta lawan dan kerasnya jalanan, beratus-ratus bahkan kini beribu-ribu kilometer jaraknya.
Tapi, pada kesempatan yang indah namun merisaukan ini, aku ingin berterima kasih padamu atas cinta dan kasih yang kau tuangkan dalam mantra singkat nan tak ringan, “Sing ngati-ati Le!”
Bagiku, mantra itu lantas menjadi perisai yang melindungi dari segala hal yang menginginkanku jatuh dalam kemalangan. Doamu, adalah hal terkuat yang menopangku dan itu pula yang menguatkanku untuk berkeputusan untuk tak pulang hari ini!
Sekali lagi tentang keputusan untukku tak pulang hari ini, aku sangat tahu resikonya, Ma.
Aku sempat menelpon salah satu adikmu, tanteku, sesaat sebelum aku mengambil keputusan ini. Ia bilang padaku, ?Resikonya satu, mungkin kamu tak pernah bisa bertemu lagi dengan Mamamu! Kuatlah!?
Hal itu mungkin terjadi, mungkin pula tidak. Bagiku segala kemungkinan adalah milik manusia tapi kepastian hanya dipunyai Tuhan. Oleh karena itu kupasrahkan segalanya pada Tuhan, Ma.
Tentang kesehatanmu,
tentang kekhawatiranku.
Tentang kerinduanku,
tentang kepanjangan waktu hidupmu.
Tapi jika memang kita tak sempat bertemu lagi, satu hal yang kupinta dalam nafas-nafas terakhirmu, bisikanlah mantra itu sekali lagi, ?Sing ngati-ati, Le!? dan selebihnya jangan pernah mengkhawatirkanku karena percayalah, anak lanangmu ini akan baik-baik saja!
Selamat ulang tahun, Ma!
Aku mencintaimu seumur hidupku!
Aku terharu baca postingan ini :(
Semoga mama segera disehatkan kembali. Semoga diberi kesempatan untuk bertemu, bercanda, ngobrol, dan menikmati kebersamaan bersama keluarga yang sangat sayang dengannya.
Selamat ulang tahun, Mamanya Mas Donny…
Salamin buat mamahnya mas Donny, selamat ulang tahun dan lekas sehat. Tuhan berkati mas Donny sekeluarga dimanapun berada.
kirim pulang dirimu dalam wujud harapan. dan doa doa kesembuhan. jangan pernah terputus. talikan dalam tiap hembusan nafasmu. langkahmu.
semoga Ibu lekas sembuh Don. sembuh!!
Yakin deh….nyokap lo pasti “mengerti lebih dulu” sebelum lo jelasin kenapa ga jadi pulang.
tulisan lo nguatin gw juga….thanks ya Don….ditengah kesibukan, kebingungan, kegalauan…apapun itu deh…lo tetep bisa menghibur orang lain….Tuhan berkati ya!
Happy belated birthday ya Tante….Tuhan slalu bersamamu!
*sukses mewek moco iki.*
aku melu ndonga kanggo mamamu, don!
Happy birthday tante!
hang on there ~~~
Selamat ulang tahun untuk mama Donny. Semoga sembuh lagi.
sampe terharu bacanya…
i can feel you…
I know exactly how it feels..doa, itu saja.
asem, aku mbrambangii :((
seperti halnya ibu ketika aku pamit pergi meninggalkan Solo untuk pergi ke Jogja dulu.
memang benar, doa orang tua adalah perisai tidak tampak untuk anak-anaknya. Dan saya yakin itu sampai sekarang.
mugi ibu enggal sehat, mas..
Gek nemu blog iki meneh setelah sekian lama ra bersua. langsung maca pas bagian iki..
Aku mbrebes mili….Your mom is supermom mate!!
Godspeed!