Martin Place mempertemukan George Street dengan Macquarie Street; sebuah pedestrian mall yang menjadi ?pusat segala pusat? bisnis di Sydney, Australia.
Dibuka sejak 1892 dan mengambil nama ?Martin? sebagai penghormatan terhadap Sir James Martin atas jasanya membawahi negara bagian New South Wales tiga kali berturut-turut, Martin Place menawarkan segalanya; kemewahan, kemegahan sekaligus keanggunan yang menyimpan kenangan abad-abad silam.
Bangunan yang bercokol di Martin Place sebagian masih mempertahankan bentuk aslinya. Kungkungan beton tinggi-besar dengan pilar-pilar menjulang berwarna kusam terakota yang gahar. Sebuah jam besar tergantung di gedung terbesar dan setiap seperempat jam selalu bergementang dan gelombang suaranya merambat terpantul-pantul dari dinding gedung yang berhadap-hadapan menimbulkan kesan anggun nan luhur.
Bersyukur aku dikirim oleh perusahaanku untuk bekerja di salah satu klien yang kantornya menempati tempat bersejarah itu.
Pagi itu, 20 Juni 2016 adalah hari pertamaku masuk kerja setelah seminggu sebelumnya aku berlibur ke Klaten untuk keperluan menghadiri acara 100 hari wafatnya Mama.
Dipeluk pagi yang dingin aku merasa perlu bersicepat menyeruput kopi susu nan hangat yang jadi langgananku beberapa pekan belakangan.
Segera sesudah meletakkan tas, aku turun ke lantai dasar lalu berjalan ke selasar gedung tempat coffee shop mungil tapi antrinya bejibun itu berada.
?Large latte?? tanya mbak bule penjual yang rupanya masih ingat pesanan favoritku.
?Yes??
?No sugar??
Aku menggeleng. ?No? no sugar!?
?Anything else??
Aku merasa lapar pagi itu. Seminggu belakangan, di Indonesia, aku dibiasakan untuk sarapan soto boyolali yang warungnya betebaran di Klaten padahal selama di Sydney, sarapanku tak lebih dari pisang dan susu cereal saja.
?Can I have a bannana bread, please??
?Toasted with?butter??
?Yup. Thanks!?
Yang kusuka dari mengudap banana bread bersama kopi adalah sesapan kopi yang merembes di sela-sela spon roti yang maha enak itu. Kopi yang pahit, aku tak suka gula, bercampur bermain dengan rasa manis nan legit campuran pisang dan terigu.
Lima menit menunggu (dan membayangkan enaknya), pesananku datang. Aku lalu berjalan ke deretan kursi panjang yang berjajar dan permukaannya masih dingin berembun. Kubuka kudapan, menyeruput kopi dan menikmati pagi untuk beberapa lama…
Pikiranku memburai ke seminggu yang lalu. Hatiku sembab, bukan karena jetlag tapi heartlag!
Separuh perasaanku seolah masih ada di penggalan jalan Jogja – Klaten mengingat betapa serunya hal-hal yang boleh kualami, perjumpaan-perjumpaan yang boleh kurasai dengan orang-orang, kawan, sahabat dan saudara.
Tiba-tiba ada perasaan suwung yang hanya ditingkahi derap sepatu berhak tinggi dan sesekali bunyi monoton dari tombol lampu hijau untuk pedestrian berjalan di sekitaran Martin Place.
Aku kehilangan suara deru motor dan mobil yang berseliweran. Teriakan tukang parkir memintakan jalan bagi kendaraan yang kutumpangi, suara radio yang diputar Ibuk yang menyiarkan wayang, tingkah celoteh lucu keponakanku Geo memanggilku, ?Adhe Onny (Pakdhe Donny)”” di pagi yang masih ranum, pisuhan ?Asu! Biangane! Bajingan!? dari teman-teman lama yang seolah lupa untuk menjadi tua dan masih banyak lagi..
Semua seperti menghilang ketika aku terlempar lima ribu kilometer jaraknya dari mereka?
Tapi hidup adalah hidup.
Ia berjalan tak kenal lelah meski melelahkan kita, terkadang. Hidup tak pernah menghilangkan sesuatu, ia hanya mengggantikan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya seperti juru cerita yang mengganti obyek yang diceritakan di depan para pendengarnya yang setia. Sejatinya, tak ada satupun kenangan yang pergi, ia ada di lubuk mimpi, hati dan benak kita sendiri.
…kopiku mendingin dan desiran angin masih sembribit karena terik matahari belum juga sampai menembus deretan tembok bangunan Martin Place.
Kusudahi permenungan ini. Setumpuk pekerjaan menunggu untuk dikerjakan cepat-cepat.
Inilah akhir dari serangkaian tulisan yang kubuat belakangan terkait masa berliburku di Indonesia, 10 – 17 Juni 2016 yang lalu. Semoga kalian menikmatinya kalau memang tak bisa memasukkan barang sehasta pun dari kisah-kisah itu untuk bekal hidup sehari-hari.
Penggal terakhir banana bread kukerat, kusesap kopi untuk yang terakhir kalinya pula. Aku berdiri, merapikan jas, membuang remah-remah makanan yang menempel di sana lalu berjalan kembali ke kantor.
Sambil mengunyah dan menyesap rasa butternya nan gurih terkena pahitnya gelontoran kopi, tiba-tiba aku teringat ketela goreng dan ketela rebus yang disuguhkan Suster Istati, para guru dan mas-mas alumni Maria Assumpta seminggu sebelumnya, di Klaten sana?
0 Komentar