Kemarin, Rabu 13 Februari 2013 adalah hari ulang tahun ke-3, anak sulungku, Odilia. Namun tak hanya itu yang menjadikannya istimewa. Untuk pertama kalinya, hari itu, Odilia pergi ke sekolah yang letaknya sebenarnya tak terlalu jauh dari rumah.
Sebelum tiba hari kemarin, aku tak pernah menyangka bahwa ternyata melepas anak untuk pertama kalinya pergi ke sekolah adalah perjuangan yang benar-benar tidak ringan. Menyaksikan bagaimana ia memunggungi kami (aku dan istri serta Elodia, anak keduaku) ketika masuk ke gerbang sekolah seolah seperti kembali mengulas apa yang terjadi tiga tahun belakangan; ia dilahirkan, dipeluk dan gendong sana-sini, menghabiskan waktu sehari-harian bersama Mamanya (lalu sejak 2 bulan silam bersama adiknya pula) dan kini tiba-tiba ia sudah bersekolah, menghabiskan seperempat hari (enam jam) bersama orang-orang yang benar-benar baru; bukan sedarah dan bukan pula orang tua ataupun saudaranya.
Kekhawatiran perihal akankah dia bisa mengikuti pelajaran, bisakah ia bergaul dan tidak nakal serta tidak dinakali kawan-kawannya awalnya ada di peringkat pertama. Tapi setelah diyakinkan oleh guru-gurunya dan juga banyak kawan lain yang sudah pernah berada di posisiku, kecamuk pikiran lantas beralih pada kenyataan bahwa sepagi ini, hanya tiga tahun dan aku harus menyerahkan anakku pada sistem yang sudah sangat uzur bernama pendidikan formal?
Sadarkah kalian bahwa cepat atau lambat, kita yang tinggal di negara yang beradab akan menyerahkan anak-anak kita pada institusi pendidikan formal yang lamanya paling cepat adalah 12 tahun dari kelas 1 sampai kelas 12. Sesudah itu dilanjutkan dengan studi di universitas, lalu katakanlah setelah selesai dari sana, akankah mereka kembali kepada kita, orang tuanya?
Jawaban terbesar kuyakin “Tidak!”, mereka tidak akan kembali kepada kita, orang tuanya. Mereka akan melakukan hal yang sama dengan apa yang telah kita lakukan sebelumnya, meninggalkan orang tua dan keluarga asal pergi ke tanah dan lahan yang baru, berjuang keras untuk menaklukkan hidup dan membuat hal yang lagi-lagi sama dengan kita, membentuk keluarga dan berketurunan!
Aku jadi ingat bagaimana aku pergi ke sekolah pertama kali. Sebagai anak kampung, aku memang hanya sekolah TK di kampung sebelah. Tak kuingat bagaimana ekspresi Mamaku melepasku karena semata waktu itu aku tak peduli; barangkali sama dengan ekspresi Odilia kemarin pagi yang dengan santainya melenggang, melambaikan tangan dan memberikan kiss-bye pada Mamanya yang sudah tak mudah lagi menahan air mata supaya tak jatuh.
Kemarin pagi aku juga jadi ingat kejadian yang terjadi tahun 1993 ketika aku memutuskan untuk pindah sekolah ke Jogja, merantau meski hanya berjarak 114 km dari Kebumen, kota asal dan kota tempat orang tuaku tinggal waktu itu. Aku ingat, bagaimana Mama dulu mengantarku ke Jogja lalu ketika hendak berpisah, ia berujar, “Ati-ati, Le!” melepasku naik bis kota jalur 7 dari depan pool travel Bumen Jaya yang hendak mengantarkannya pulang ke Kebumen sementara bis itu membawaku pergi ke asrama, tempat dimana akhirnya aku bertemu dengan kakak kelasku, Applaus Romanus yang juga blogger itu.
Aku bisa memotret runtuhnya hati Mamaku ketika itu, melepas anak yang baru lulus SMP untuk nekat sekolah di kota lainnya.
Kemarin pagi, dalam bayanganku sendiri aku juga jadi kebanjiran wajah-wajah orang tua lain yang pasti juga tak mudah melepas anaknya untuk ikut dalam pusaran arus bernama pendidikan formal ini. Bukannya hendak menyayangkan apalagi menyalahkan adanya pendidikan formal, tapi justru aku curi-curi belajar hal yang baru yang lainnya lagi yaitu bahwa hidup adalah sebuah putaran yang seharusnya dijalankan tanpa kelekatan. Kita sejatinya tak pernah diijinkan untuk lekat pada sesuatu/seseorang pun termasuk itu orangtua, anak, suami, istri, siapapun bahkan tubuh kita sendiri, sesuatu yang pada akhirnya akan hancur oleh rayap dan banyak macam mikroba yang hidup di dalam tanah.
Hidup adalah sejatinya karang, semua menghadapi semuanya seorang diri. Hanya kecenderungan pikira kita lantas memberi atmosfir lain yang seolah menjadikan orang lain sebagai bagian dari diri kita sendiri, tapi pagi ini aku kembali membuktikan bahwa itu semua adalah ilusi.
Pada saatnya nanti, seperti halnya aku dilepas orang tuaku, aku dan istriku, kamu dan istrimu, kamu dan suamimu akan melepas anak-anak kita ke kehidupan yang semoga lebih baik dari apa yang pernah kita alami dan aku mulai belajar melakukannya kemarin pagi.
Hanya dengan seperti itulah hidup ini berjalan ke depan, bukan statik dan tidak ke belakang.
Iya… aku sudah alami melepas Riku sejak dia usia 6 bulan, dan Kai waktu 1 tahun. Tapi berkat (kunamakan berkat karena kurasa positif) di playgroup itu, mereka bisa bergaul dengan teman lain, orang lain, selain papa dan mamanya. Yang pasti mereka di usia muda itu bisa berdikari, bisa makan sendiri tanpa disuapi.
Dan satu lagi…. aku alami waktu melhat jenazah mama kaku terbujur. Dia mati sendiri…. meskipun sebetulnya dia punya suami dan anak cucu. Tetap saja pada akhirnya…sendiri menghadap Bapa.
Sejatinya kita memang sendirian…dan karena itu kita sering merasa kesepian :)
untuk Odilia selamat ulang tahun dan selamat menikmati masa – masa sekolah, hehehe
melepas anak dan menyaksikan mereka bermain di sekolah bersama teman temannya memiliki keharuan tersendiri. Ada perasaan yang lain..
Sama seperti ketika sudah beranjak sma dan memutuskan untuk sekolah ke Yogya dan bertemu dirimu di asrama. :) Berpisah dengan mamahku juga anteng anteng.. buat mamahku mungkin itu berat sekali. Ah diriku juga pernah menuliskan ini.
Ya akhirnya kita memang akan berakhir sendirian..
aku belum pernah mengalami melepas anak ke sekolah, don. tapi aku bisa ikut merasakannya. aku jadi terbayang ketika TK dulu aku diantar ibuku, lalu ketika kulihat ibuku pulang, aku berlari mengikuti ibuku. waktu itu bagaimana ya perasaan ibuku?
tapi memang hidup ini harus dijalani sendiri. paling terasa saat aku memejamkan mata dan mengamati diriku.
yah begitulah, pada saatnya nanti, aku akan benar2 bisa merasakannya sebagai seorang ibu yang “ditinggal” anaknya sekolah…
Pengalamanku yang paling berat adalah ketika melepas Satira masuk pesantren. Perperangan batin yang sangat dahsyat kualami ketika itu..
Selamat ulangtahun buat Odie..
Semakin cantik dan pintar ya.. :)
bukannya sendiri, anak ataupun kita-kita hanyalah titipan..
Usia anak pertama kita beda dikit ya mas.. Putri saya beberapa hari lagi 3 tahun. Beberapa bulan lagi dia akan masuk playgroup, saya belum bisa membayangkan perasaan cemas tentang bagaimana adaptasinya nanti di sekolahan. Mudah2an lancar.
Ah betul sekali itu Don.
Melepas anak untuk sekolah, dan akan terus sekolah sementara orang tua banting tulang agar dia bisa sekolah, selalu menyesakkan hati….
Memang sejatinya kita sendirian. Saat lahir ke dunia sendiri, maka nanti pun akan mati juga sendiri….
Selamat ulang tahun Odlilia…! Selamat sekolah.
Kalau diikuti pemikirannya memang kita sebenarnya sendiri secara fisik. merasa ada keluarga itu hanya secara fikiran karena kalau dihitung waktunya. bersama keluarga selalu kurang dari setengah hari.
Selamat ulang tahun buat putri sulungnya. Smg bertumbuh dan berkembang dlm kasih sayang selamanya. Iya Donny, sy jg menyiapkan hati dlm hati bgt anakku lulus SD pasti dia ‘bukan milikku’ lg. Klo TK n SD mungkin masihlah ga malu dipeluk n jalan sm aku :) Sbg mantan guru TK bule di Kemang dl sy jg sering menyaksikan pemandangan hari pertama sekolah. Percayalah kami guru2 TK amat sayang dan perhatian pd setiap individu anak yg dtg bersekolah… Smp klo mrk lulus TK km jg sangat kehilangan. Dan itu hrs dialami setiap tahunnya :)
lho, kok aku baru baca yg ini ya? wow! keren, don! :D
Suwun! :)
jadi pengen curhat…odilia 3 thn mulai sekolah …6 jam berpisah sama keluarga dan berbaur sama orang asing..kau merasakan seperti ini..lah aku..meninggalkan anakku..my 20mos little girl…di daycare..8 jam lamanya…hanya bisa memandang botol susu yg selalu ku taruh disamping monitor komputerku di meja kerja…dengan penuh perasaan bersalah…hanya satu “pembenaran”ku ..semoga dia bisa lebih tegar dan mandiri di esok hari… *mbrebes mili*
Ya, kami sengaja nggak ngirim Odilia ke daycare waktu dia masih di bawah tiga tahun tapi mungkin adiknya, Elodia, akan kami kirim ke daycare.
Itu tantangan kita, Nduk, sebagai orang tua di jaman yang tak seindah masa orang tua kita dulu dimana bapak dan ibu harus bekerja dan anak-anak harus dengan tegar hati kita tumpangkan ke daycare. Whatta life?!:)